*
Gio Sr. mengerjapkan mata. Berusaha kembali merasakan aura kehidupan dari dunia. Ia sudah dapat bernafas dengan leluasa. Sekujur tubuhnya pun walau terasa masih cukup tidak karu-karuan. Ia rasa saat itu jauh, jauh, jauh lebih baik. Timbang kenangan rasa pada ingatan terakhir yang ia punya.
Ia edarkan pandangan ke sepenjuru ruangan dengan tubuh yang masih ada dalam posisi tiduran. Ranjang tempat ia berbaring menghadap langsung ke arah jendela menuju halaman belakang. Ia tidak lagi melihat kekacaubalauan di latar pemandangan yang cukup ”indah” itu.
”Kamu sudah sadar, Tuan Gio?” tanya Romo Bartolomeus yang tengah duduk di sebuah kursi berwarna hijau toska dengan pinggiran berornamen emas yang berada tidak jauh dengan tempat tidur pria itu dengan menyematkan honorifiks.
Gio Sr. reflek langsung menggerakkan wajah ke arah suara itu berasal. Ia membalas, ”Untung saja mereka mengingat pesanku yang satu itu.”
Romo Bartolomeus mengangkat secangkir teh Hitam Kayu Aro hangat yang baru saja dihidangkan oleh salah satu pelayan pria di atas ranjang. Ia goyang-goyangkan cangkir teh di tangannya yang terlihat sangat elegan. Ia nikmati aroma teh hitam terbaik di dunia yang berasal dari kaki Gunung Kerinci di daerah Jambi itu.
Setelah merasa cukup menikmati aroma serta rasa teh. Ia melontarkan pertanyaan, ”Apa kamu punya rencana lain yang bisa dilakukan jika sampai aku tidak datang?”
Gio Sr. menjawab, ”Tidak ada.” Ia angkat satu tangan dan digunakan untuk menutupi kedua mata. ”Hal seperti itu sampai terjadi saja sebenarnya sangat di luar rencana. Aku tidak tau apa yang saat ini tengah mereka rencanakan,” lanjutnya.
Romo Bartolomeus meletakkan cangkir teh di atas sebuah meja minum teh berbentuk lingkaran dengan diameter kecil yang terbuat dari batu marmer putih di dekatnya. Berkata, ”Sebaiknya kamu tidak terlalu gegabah dalam menyimpulkan sesuatu, Giorsal. Belum tentu yang melakukan hal ini adalah mereka yang ada dalam bayanganmu.”
”Lalu, menurut kamu sendiri siapa lagi yang bisa melakukan hal seperti itu pada Si Junior?!” tanya Gio Sr. menaikkan oktaf suara. Walau tidak serta merta membuat suaranya jadi terdengar kencang. Karena ia sendiri memang masih sedang sangat lemah.
Romo Bartolomeus menaruh kedua sikut di lutut. Ia satukan kedua telapak tangan dengan jari-jari yang saling menyilang. “Ada banyak opsi yang bisa membuat kamu sampai mengalami hal seperti kemarin, Giorsal. Terlebih apakah kamu masih rutin menjalani ritual di rumah itu?” tanyanya.
Gio Sr. menjawab, ”Tentu saja masih. Aku tidak pernah satu kali pun lalai mengenai hal itu. Keselamatanku juga Si Junior bisa ada di ujung tanduk sampai lupa satu kali saja.”
Romo Bartolomeus menyenderkan punggung yang kaku ke senderan tempat duduk. Ia dangakkan kepala dengan rongga mulut sedikit terbuka. Tidak begitu yakin melontarkan respon dari keyakinan pria di dekatnya.
”Sudahlah,” ucap Gio Sr. pada akhirnya. Ia melanjutkan, ”Bagaimana dengan keadaan Si Junior sendiri saat ini?” tanyanya.
Romo Bartolomeus menjawab, ”Dia ada di dalam kamarnya. Ruangan itu sudah aku beri penghalang baik di jendela maupun pintunya agar tak biasa disusupi oleh hal buruk. Kondisinya belum begitu baik. Mungkin karena pertahanannya masih sangat lemah. Apa tidak kau beri anak itu pengaman, ajian, atau pengetahuan apa pun soal itu? Soal mereka?” ia bertanya balik.
Haahh. Gio Sr. menghembuskan nafas pendek tanpa suara. Jauh di dalam lubuk hati ia tau kesalahan yang telah ia lakukan. Sikap pengabaian yang tidak seharusnya terjadi. Tapi, di saat yang sama… ”Aku tidak ingin anak itu mengetahui siapa diriku sebenarnya. Juga partikel kegelapan yang mengisi udara di sekitarnya. Aku menghendaki ia hidup dalam dunia normal tak ubahnya seorang manusia biasa.”
”Dan yang terjadi adalah keinginan naifmu itu yang malah membuat semua berkembang jadi jauh lebih buruk serta sulit untuk ditangani. Begitu?” respon Romo Bartolomeus.
Gio Sr. menggelengkan kepala lemah. Berkata lagi, ”Aku percaya semua sudah berakhir. Tidak akan ada lagi hal buruk terjadi. Aku percaya pada hal itu,” ucapnya percaya diri.
Romo Bartolomeus membalas, “Baguslah kalau itu yang kau percaya. Yang jelas aku tidak yakin bisa memberi bantuan lagi sampai hal seperti ini terulang untuk yang kedua kali. Serangan mereka itu walau baru pembuka sekalipun sudah sangat luar biasa.”
Gio Sr. tersenyum tipis ke arah Romo Bartolomeus. Berkata, “Tenang saja. Untuk yang selanjutnya akan aku tangani sendiri. Aku akan meningkatkan pengamanan beberapa kali lipat. Juga untuk Si Junior.”
”Apa kau yakin bisa menghadapi semua tanpa bantuan mereka?” tanya Romo Bartolomeus tiba-tiba.
”Kenapa harus tidak?” tanya Gio Sr. balik tanya.
”Lagi-lagi kau bersikap naif, Tuan Gio,” balas Romo Bartolomeus sembari menepuk dahi lembut dengan punggung tangann. ”Padahal sudah satu kali kecolongan dengan ’sok’ membuat Si Junior jadi anak dengan kehidupan seorang manusia biasa. Sekarang mau diulangi lagi,” tegurnya.
”Si Junior itu adalah seorang anak yang sangat lemah, Gili. Dia tidak akan bisa menghadapi hal yang serupa dengan yang papanya ini hadapi saat masih seusiaan dengannya. Dia juga terlihat sama sekali tidak menyukai aku,” alasan Gio Sr. Membuang muka.
”Bukankah karena anak itu lemah. Itu mengapa kau harus memberi ia kekuatan untuk bertahan hidup?” tanya Romo Bartolomeus, ”Atau kau akan tetap mengurung ia di dalam dekap keamanan fiksimu itu? Sampai kapan kau pikir kau mampu bertahan dalam kebenaran?”
”Aku tidak ingin membicarakan soal ini lagi. Sudah cukup,” tolak Gio Sr. halus akan nasihat pria di dekatnya. Nasihat yang ia rasa dan percaya tak akan pernah berguna.
Romo Bartolomeus pun menyerah. Saat ini ia memang sama sekali tidak miliki hak untuk lontarkan apa yang baru saja ia utarakan. Ia hanyalah seorang ahli agama yang hidup di jalan kebenaran. Di jalan cahaya yang diberkahi oleh Tuhan.
Sama sekali bukan yang lain.
”Bagaimana caramu mengalahkan makhluk itu?” tanya Gio Sr. tiba-tiba seraya memegang kepala. Ia seolah baru teringat oleh sesuatu.
”Apa yang kau maksud? Semua ya biasa saja,” balas Romo Bartolomeus. Pura-pura lugu, “Hanya pengusiran setan seperti yang biasa kau saksikan di dalam film horor atau yang semacam itu.”
Gio Sr. semakin meremas rambut yang ada di sekitar pelipis. Kembali berkata, “Sangat samar… Sangat samar… aku seperti memiliki ingatan soal apa yang terjadi saat itu.”
Romo Bartolomeus tampak panik. Tak boleh sampai ia biarkan Giorsal Sr. yang saat ini. Mengetahui soal hal itu. Ia pun bertanya, ”Apa? Apa saja yang telah kau lihat dan ingat, Gio?”
”Aku yakin… selain dirimu, diriku yang saat itu tengah dikendalikan, dan Si Junior. Ada entitas lain di sana. Sesuatu yang jauh lebih…”
TEP. Romo Bartolomeus langsung menepuk kedua mata Gio Sr. dengan telapak tangan kanan. Tepat sebelum pria itu usai rampungkan kata. Bibirnya yang kembali tampak semakin gelap merapalkan sebuah mantra, ”Domine tenebrarum, qui inferis regit. Dominari mundum sub superficie oceani mugientium. Domito loco ubi sunt omnia solitudo, damnum, et tristitia.
“Unplug memorias ligatas in affectionibus… Omnem suspicionem et suspicionem eliminare… Ea me est. Eum ego. Tenebrae amissae sumus in nigro.
“Dimitte… Dimitte et tolle omnia!!!”
Bruukh. Kedua tangan Gio Sr. yang tadinya berdiri terjatuh tanpa daya ke permukaan ranjang. Seperti bagaimana seluruh daya hilang dari peredaran kesadaran. Saat Romo Bartolomeus mengangkat telapak tangan. Kedua kelopak mata pria itu kembali tertutup. Tenggelam dalam kedamaian yang semu.
“Untuk kali ini kamu benar, Gio,” ucap Romo Bartolomeus menunduk seraya menatap lurus wajah tak berdaya pria itu, “Untuk beberapa hal yang namanya ketidaktahuan itu memang yang paling baik. Entah untuk putramu maupun dirimu sendiri.
“Semua itu sama saja”
*
Keesokan harinya. Gio di dalam kamarnya sendiri. Mulai mengerjapkan mata berusaha mendapatkan kembali kesadaran yang beberapa waktu terakhir pergi. Semua yang tengah menari dalam kepalanya kala mengingat apa yang baru saja ia alami. Hanya terasa bagaikan mimpi. ”Apakah semua itu memang benar?” tanyanya hendak menyentuh dahi dengan satu telapak tangan. Namun, ia tak mampu meraih bagian tubuhnya sendiri.
”Apa yang sebenarnya telah terjadi?” tanyanya tak mengerti. Melihat ke arah kedua pergelangan tangan dan kaki yang terikat oleh beberapa utas tali.
”Kenapa aku diikat seperti ini?” tanyanya tak percaya. Menatap langit-langit yang berwarna putih. Terdapat sebuah sosok dengan dua mata besar bulat berjarak jauh dengan iris berwarna putih buram dan mulut sangat lebar dari telinga ke telinga tak ubahnya seekor Tokek Ekor Daun. Dikombinasi dengan wujud hewan beruas mirip ketonggeng, namun tidak memiliki "cambuk" (telson) di bagian belakang abdomennya yang biasa dijuluki kala cemeti. Hewan mirip kalajengking yang tinggal di kawasan tropis dan subtropis yang menyedot cairan tubuh mangsa dengan mulut. Memiliki empat pasang kaki dengan dua kaki di masing-masing kaki.
Makhluk itu tengah menempel… di langit-langit. Memandang wajah pemuda di bawahnya dengan raut datar. Walau tanpa suara seolah tengah melantunkan syair-syair kematian.
Entah makhluk apa itu. Gio yang tak berdaya hanya ingin menutup kedua mata yang basah oleh cairan asin ketidakberdayaan.
Mengapa… hal seperti ini harus terjadi dalam hidupku, tanyanya. Pertanyaan yang bisa jadi sama-sama pernah dilontarkan oleh semua orang yang pernah menginjakkan kaki di atas bumi.
Pertanyaan akan keraguan pada kuasa ”ilahi”.