14: Selamat

1314 Kata
Beberapa waktu kemudian… * Gio sedang dalam perjalanan menuju kediaman baru yang akan segera menjadi tempat tinggalnya tidak lama lagi. Saat ini ia sedang ada di dalam sebuah bus kelas ekonomi yang melaju di jalan aspal yang membelah petak persawahan juga perkebunan asri. Sejak pertama duduk di kursinya kemarin malam. Tak sekalipun ia kehilangan kesadaran. Benar-benar menggunakan seluruh fokus untuk menikmati indahnya perjalanan menuju kebebasan. Sesuatu yang telah sekian lama ia harapkan dalam tiap lantunan doa. Menuju Tuhan yang ”entah” tengah berada di mana. Ia hanya terus tersenyum kecil melihat pemandangan bergerak di luar jendela. Mulai dari gelap menuju sangat gelap juga sepi. Dari kegelapan pekat menjadi sedikit banyak disinari cahaya mentari. Sampai saat ini. Di mana sejauh mata memandang. Ia dapat melihat semua dengan baik. Entah kehidupan beberapa orang di luar sana dengan aktivitas pagi mereka sendiri-sendiri. Bangunan rumah, toko, atau perkantoran mulai dari yang super sederhana sampai sangat luar biasa. Kini Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. mampu menikmati semua penglihatan itu. Dengan hembusan nafas yang baru. ”Kamu mau turun di mana, Mas?” tanya anak muda lain yang sejak kemarin duduk di sisinya. Karena saat baru masuk ia terlihat sudah sangat lelah dan langsung terlelap. Memang membuat tidak terjadi banyak percakapan di antara mereka. Gio menjawab, ”Terminal Jaysandaru, Mas. Kalau Mas sendiri mau turun di mana?” tanyanya balik. Sekadar untuk sopan santun kehidupan sosial. Walau sebenarnya ia sendiri juga sama sekali tidak peduli pada apa pun jawaban pemuda itu. Ia menjawab, “Kalau saya turun di perempatan sebelum terminal itu, Mas.” “Oh, begitu,” respon Gio ramah seraya tersenyum lembut. Ia tidak berminat untuk melanjutkan percakapan. Kembali menatap pemandangan bergerak di luar jendela kendaraan. Namun, pemuda itu malah kembali melontarkan pertanyaan, ”Masnya anak perantauan, ya?” Gio (dengan berat hati) kembali menoleh ke arah pemuda itu. Tersenyum (penuh paksaan) lembut ia menjawab, ”Benar, Mas. Apa Masnya juga? Kok sepertinya paham sekali model anak yang merantau,” tanyanya balik. Pemuda itu dengan semangat menjawab, ”Iya, Mas. Saya juga perantau soalnya. Hanya saja saya asli dari daerah yang akan kita tuju. Saya merantau ke luar kota,” beritahunya tanpa ditanya. ”Ohh…” Sebelum lawan bicaranya (Gio) sempat mengatakan sesuatu lagi. Ia keburu kembali berkata, ”Saya tau kalau Mas itu pasti perantau di daerah sana karena saat sedang pulang kampung. Di waktu seperti ini. Saya memang sering bertemu dengan yang modelannya sama, Mas. He he he.” O, Orang ini mencurigakan sekali, sih, batin Gio berburuk sangka ria pada sikap pemuda yang baru ia temui. Tapi, wajahnya tetap menunjukkan seolah ia tak merasakan apa pun. Karena kadang orang dari daerah itu memang seperti itu, ‘kan? Ia tidak ingin mengembangkan sikap acuh tak acuh dan sinis di tempat baru. Ia harus berusaha seramah mungkin pada siapa saja agar tak membuat masalah di masa depan. Ia bertanya, ”Apa ada ciri khusus untuk orang yang baru merantau?” Pemuda itu tiba-tiba mengempiskan senyuman riang yang tadi terukir di wajahnya. Ia menurunkan volume suara dan melontarkan jawaban tanpa disertai intonasi, “Tentu saja. Biasanya mereka punya aroma badan yang berbeda.” DEG. Jantung Gio berdetak tak karuan kala mendengar jawaban itu. Seketika ia merasa pemuda di depannya saat ini bukanlah orang banyak bicara yang sempat ia sangsikan tadi. ”Kenapa kamu diam saja?” tanya pemuda itu seraya mendekatkan wajah. Glek. Tanpa sadar ia berusaha mencari pengalih perhatian. Dan berkata, ”Sebentar lagi sepertinya kita akan sampai di perempatan yang kamu maksud, Mas. Apa tidak siap-siap turun?” tanya Gio. Pemuda itu menggelengkan kepala. ”Tidak. Perempatannya masih jauh. Kita baru akan sampai di sana sekitar pukul delapan pagi,” jawabnya datar. Kembali ke tempat duduk dengan posisi tubuh sempurna. Pandangan mata lurus menatap ke depan. Gio pun begitu. Ia seperti kehilangan seluruh antusiasme untuk kembali mengamati pemandangan bergerak di luar jendela. Membuat ia berakhir hanya duduk dalam posisi tegak. Kedua telapak tangan di atas lutut. ”Tanpa” memasang ekspresi berusaha menyembunyikan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh hati. Deg deg deg… Glekh. Sejak kejadian hari itu di kediaman sang papa. Pemuda itu memang jadi jauh lebih ”sensitif” pada hal-hal yang ”tidak biasa”. Bukan berarti tiba-tiba ia jadi manusia dengan kemampuan klenik untuk melihat rupa makhluk harus atau menerawang masa depan. Sama sekali bukan. Ia hanya sensitif pada dirinya sendiri. Membuat ia lebih mudah merasa tidak nyaman pada segala sesuatu. Pemuda di sampingku ini manusia, ’kan? Pemuda di sampingku ini makhluk hidup, ’kan? Pemuda di sampingku ini makhluk tiga dimensi, ’kan? Pemuda di sampingku ini makhluk yang bisa disentuh, ’kan? Pemuda di sampingku ini bukan produk imajinasi, ’kan? Pemuda di sampingku ini bukan semacam lelembut, ’kan? Pemuda di sampingku ini asli, nyata, solid, pasti manusia, ’kan? Pemuda di sampingku ini beneran ASLI manusia, ’kan??!!! Berkali-kali sudah ia berusaha beri keyakinan pada diri sendiri. Pertanyaan semacam itu terus terlontar dalam hati ”sedikit” usik keindahan pagi. Usik keindahan hari. Bahkan tidak berlebihan jika disebut mengusik keindahan kebebasan. Sesuatu yang telah lama ia idamkan. Mengapa tiba-tiba terasa jadi mengecewakan hanya karena keberadaan sedikit gangguan? Hari ini adalah waktu yang telah sekian lama aku nanti. Aku tidak boleh mengacaukan semua hanya karena keberadaan hal tidak berarti, batin Gio berusaha memberi afirmasi positif pada diri sendiri. Semua pasti akan baik-baik saja, semua pasti akan baik-baik saja, semua pasti akan baik-baik saja, begitu. Tapi… Siiiing. ”Eh?” Ia tersadar oleh sesuatu. Bus yang tadi masih terdengar beberapa suara obrolan manusia. Kenapa jadi sangat sepi seperti kuburan seperti ini? Ia dirikan tubuh untuk mengamati situasi. Seluruh penumpang lain duduk dengan tegak di bangku mereka masing-masing. Tidak mengeluarkan suara apa pun. Membuat hanya bunyi mesin yang terdengar jelas. Suara kehidupan dari dunia di luar bus itu pun seolah terblokade. Tak bisa menembus ”kesadaran”. Tiba-tiba lusinan orang yang duduk di bangku depan menolehkan wajah mereka ke arah Gio. Lusinan orang yang terdiri dari orang dewasa laki-laki maupun perempuan. Wanita maupun pria berusia paruh baya. Anak kecil sampai anak remaja. Mereka semua menatap lurus ke wajahnya. Seolah ia bintang utama dari suatu acara. “A, A, A…” Tak satu patah kata pun berhasil ia keluarkan untuk merespon sikap aneh semua orang di sana. Dadanya pun tak leluasa bernafas karena seperti tengah tercekat oleh sesuatu. Apakah meninggalkan kediaman Tuan Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. merupakan suatu keputusan yang tepat? Apakah pemuda itu tidak sedang menggali lubang kubur untuk tubuhnya sendiri? Greph. Pemuda yang duduk di sisinya tanpa aba-aba meletakkan dua telapak tangannya melingkari leher Gio dengan kekuatan cukup luar biasa. Duukh. Tak ayal d**a pemuda itu menghantam bagian atas senderan dari kursi depan. ”Aaa… aaakkh… aaaakkhhh…” rintihnya. Tak kuasa mengeluarkan suara. Terlebih saat semua orang di sekitar sana. Menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang sedang terjadi padanya. Dan bersikap biasa saja. A, Apa aku ma… sih benar-benar… hidup di atas du… nia…? Apakah ini semua sunggu… han nyata? Me, Me, Menga… pha? Tho… Toloong… a… ku… Sela… mat… ka… Saat kekuatan tak bisa dikeluarkan. Ketika perlawanan tak kuasa diberikan. Suatu masa di mana suara tidak ada gunanya. Wajah Gio yang sudah basah oleh campuran dari lelehan keringat, air mata, ingus, juga liur. Tangannya hanya bisa berusaha menggapai ke arah pak supir bus yang sejak tadi hanya diam saja. Namun, tidak lama kemudian supir bus bertubuh tambun itu ikut menoleh ke arahnya. Mendirikan tubuh dan berjalan mendekat. Membiarkan kendaraan itu melaju tanpa pengemudi. ”Selamat datang,” ucap si supir bus dari kejauhan. Gio belum mampu menyaksikan dengan jelas bagaimana raut wajah pria itu. Namun, ketika ia semakin mendekat. Menunjukkan bagaimana hanya ada satu mata di bagian tengah wajahnya. Mirip sosok makhluk mitologi Yunani bernama Cyclops. BRUUUKH. Pemuda itu tak bisa lagi mempertahankan kesadaran. Bukan hanya karena cekikan yang terasa semakin menyesakkan. Namun, ia hanya ingin segera tersadar. Dari mimpi buruk yang ia ingin lari dari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN