23: Efek Kupu-kupu [D]

1126 Kata
Dengan wajah tidak enak ia segera bangkit untuk menghampiri sang papa. Berusaha menjelaskan, ”Pa, Pa, Pa, jangan salah paham dulu, dong!” Tapi, pria terhormat yang menjabat sebagai direktur keuangan di perusahaan multinasional itu tak peduli pada penjelasan si anak bungsu. Kembali melihat ke arah pemuda tidak dikenal yang ia bawa pulang. Dan… melakukan hal seperti itu. ”Lihat itu wajahnya! Dia pasti bencong dari Taman Mawang, ya?!” tudingnya. Gio yang dituduh sebagai bences dari lokasi khas para laki-laki transgender itu pun auto mengerutkan alis. Enak saja. Memang mukaku kenapa. Ia pun ikut berusaha untuk memberi penjelasan di belakang Susi, ”Maaf ya, Om. Saya ini teman kuliahnya Susi. Dan tidak ada hubungannya dengan yang baru saja Om bicaraka…” ”Kenapa berisik sekali di atas???!!!” tanya sang mama tepat di bawah tangga. ”Ini, Ma. Anak kita sepertinya harus dimasukkan sekolah asrama agar tidak aneh-aneh lagi,” balas sang papa. Curiga buta. Gio dan Susi sama-sama menghembuskan nafas pendek, hufft. Capek, deh. ”Ada apa, sih?” tanya sang mama lagi. ”Suruh Susi sama temannya turun dong, Pa. Kebetulan kita kan habis beli makanan dalam jumlah besar. Sekalian makan ramai-ramai pasti lebih menyenangkan,” pinta sang mama ramah. Sepertinya mamanya Susi akan jauh lebih menerima keberadaanku timbang papanya, batin Gio. Ia tidak tau juga kenapa. ”Cih, lihat kalau kamu sampai berani macam-macam dengan putra kesayanganku,” ancam pria itu dengan raut wajah sinis. Beranjak menuruni tangga. ”Kalian juga ikut, cepat!” perintahnya. Ia menahan tawa sambil berkata, ”Hmmph, putra kesayanganku? Kayaknya kamu anak emas banget ya, Sus,” ledek Gio geli seraya mengikuti langkah papanya Susi. Susi auto panik. Bagaimana mungkin ia biarkan mamanya melihat penampilan Gio seperti itu. Menggunakan peralatan make up miliknya lagi. Waduh, bisa disuruh sunat aku sampai Mama tau. “Gi, Gi, Gi, sini dulu!” pintanya pada Gio yang hanya semakin menjauh. “Itu, muka kamu, muka kamu ke kamar mandi dulu sini! Aduh!” Karena sepertinya Gio sama sekali tidak menggubris panggilannya. Susi pun ikut meninggalkan kamar untuk menjemput anak itu. Ia melangkah turun menyusuri tangga yang terdiri dari dua undakan. Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Mati aku!!! Susi sangat pusing. Bagaimana bisa sebuah rencana iseng sederhana berkembang jadi sangat mengkhawatirkan seperti ini? Parah sekali! “Sudah kamu suruh turun si Susi dan temannya, Pa?” tanya mama Susi yang telah mengenakan celemek dan tengah menyiapkan beberapa jenis makanan di atas meja yang terbagi menjadi beberapa piring yang tidak kalah estetik. “Tadi Mama lihat ada sepatu anak muda di depan makanya tau kalau ada temannya Susi datang. Kan jarang itu anak mengajak temannya ke rumah, Pa. Mama langsung bersyukur sekali karena kita habis beli makanan banyak.” ”Yah, kalau teman yang Susi bawa pulang itu anak normal dengan latar belakang keluarga baik-baik juga sih Papa akan sangat senang, Ma. Lha ini yang dia pulang malah banci Taman Mawang,” adu sang papa. ”Hah?” membuat sontak sang mama terkejut dan menghentikan seluruh aktivitasnya. Menoleh ke arah suami yang ada di belakangnya. Juga seorang pemuda asing yang berada tidak jauh dari mereka. ”Hee hee hee, Tante, tenang saja, ya. Saya tidak seperti yang diucapkan oleh Om, kok. Saya ini hanya teman kuliahnya Susi. Dia adalah sahabat saya. Jadi, kami…” Gio berusaha memberi penjelasan. Rasanya tidak lucu saja. Jika tiba-tiba ia diusir hanya karena alasan super duper konyol serta tidak masuk akal seperti itu. Apa kata orang?!? Tap… tap… tap… Bukannya memasang reaksi sama seperti sang suami. Atau melakukan aksi penerimaan seperti yang Gio harapkan. Wanita itu malah berjalan mundur secara perlahan. Tanpa mengucapkan apa pun menutup bibirnya yang gemetar dengan kedua telapak tangan. ”Mama, jangan salah paham, ya,” ucap Susi yang baru saja tiba. ”Eh,” turut merasa aneh kala melihat reaksi wanita itu. Ia dekati Gio. Bertanya, ”Kamu habis ngapain? Ke kamar mandi dulu sana habis itu bercerminlah yang lama. Jangan keluar kalau belum ber…” ”CEPAT KELUAR DARI RUMAH INI!!!” pekik wanita itu kala mulai dapat mengendalikan diri. Ia hampiri teman putranya yang memiliki penampilan wajah seperti banci. Tanpa pikir panjang segera ia raih apa saja dalam jangkauan tangan dan ia lemparkan ke tubuh pemuda itu. PRAANK! Sepiring sapo tahu wanita itu lempar dengan kekuatan penuh ke tubuh Gio. Dengan piring-piringnya yang langsung pecah saat terjatuh ke lantai. Sontak baik Susi maupun papanya sangat terkejut akibat tindakan wanita itu. Sang papa langsung menahan tubuhnya yang terus memberontak dan berteriak-teriak ke pinggir ruangan. Sementara Susi menghampiri Gio. Dengan raut wajah penuh penyesalan ia berkata, “Tolong maafkan aku, Gi. Aku hanya ingin bercanda dengan mendandani wajahmu seperti itu. Sama sekali tidak aku sangka respon Mama akan jadi sangat berlebihan. Sekarang lebih baik kamu ke kamar mandi. Dan bersihkan deh pakai micellar water yang ada di sana. Aku sangat minta maaf karena kejadian tidak mengenakkan ini,” pohon Susi rendah hati. Tapi, bukan merasa lebih baik karena tau penyebab masalah yang ia hadapi kini bukan dirinya sendiri. Entah kenapa perasaan Gio jadi jauh lebih buruk dari sebelumnya. Saat Gio enggan berpikir lebih jauh. Dan memutuskan melakukan saja apa yang Susi sarankan. Tiba-tiba… DUUKH! PRAANK! PRAANK! Gio berhenti melangkah. Lebih maju sedikit saja tubuhnya berada dari lokasi saat itu ia berdiri. Bisa dipastikan vas bunga berukurang cukup besar itu akan mendarat di salah satu bagian kepalanya. Dan bukan daun pintu. ”PA, MAMA TUH KENAPA, SIH??!!!” tanya Susi meninggikan oktaf suara. Ia sangat kesal pada bagaimana orang tuanya memperlakukan teman baiknya. Jika sampai dicap anak durhekong juga biar saja, lah. Ia sudah sangat, sangat, sangat lelah. Nyaris pada semua. Papa Susi mencengkram kedua lengan atas belahan jiwanya yang masih sangat histeris. Memperkeruh seluruh keadaan yang awalnya baik-baik saja. Ia bertanya, “Mama, kammu itu kenapa, sih? Kamu jangan dong mempermalukan diri di depan teman anak kita!” “HAAAAAAAAKKKHH! HAAAAAAAAKKKHH! HAAAAAAAAKKKHH!!! SURUH ANAK ITU PERGI, PA! MAMA TIDAK MAU MELIHAT DIA DI RUMAH KITA! SURUH DIA PERGI! SURUH DIA PERGI! SURUH DIA PERGI! DIA TIDAK BOLEH MENYENTUH APA PUN DI RUMAH KITA! SURUH DIA PERGIII!!!” pekik wanita yang Gio pikir akan menerima keberadaannya di rumah itu. Wanita yang ia kira akan menyambutnya dengan baik dan tidak berpikiran aneh. Yang ada malah ternyata jauh lebih parah. Papa Susi menoleh ke arah putra yang tengah berusaha melindungi temannya dari aksi anarkis sang mama. Berkata, ”Dengar kan apa yang diucapkan Mama kamu? Segera bawa anak itu keluar dari sini! Jangan pernah bawa dia kembali!” perintahnya dengan tatapan tak berhati. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sudah terjadi? Apa yang tidak aku pahami? Pemuda itu, Susi, hanya bisa membatin tanpa memahami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN