Dengan kesal Susi segera menarik pergelangan tangan sang kawan keluar dari kediaman keluarga Tanaya. Sesampai di halaman depan ia hanya bisa menatap wajah anak itu tidak enak. Bingung bagaimana harus memulai percakapan. Sesuatu yang berawal dengan baik-baik saja. Entah kenapa bisa jadi begitu kacau balau tak jelas seperti ini.
”Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun, Sus. Tidak perlu memasang muka berdosa seperti itu,” buka Gio. Pandangannya tertunduk menatap ujung sepatu dengan wajah tersenyum tidak enak. Tentu saja itu yang akan ia katakan. Sejak awal pun Susi sama sekali tidak memiliki kewajiban untuk memberi bantuan. Apalagi kedua orang tuanya. Walau ia tetap sama sekali tidak mengerti… apa yang jadi alasan untuk sikap itu. Dua orang dengan status sosial dan pendidikan yang pastinya sangat tinggi. Tidak akan melakukan hal seperti itu tanpa alasan ”pasti”.
Susi menggelengkan kepala. Berkata, ”Tidak, bro. Ini pertama kali mamaku bersikap seperti itu. Aku sendiri sama sekali tidak akan membenarkan apalagi membela tindakannya. Dia salah besar atas apa yang sudah dia lakukan. Mungkin sedang ada masalah di perusahaan. Entahlah. Aku tidak begitu peduli juga.”
Gio tersenyum kecil. Ingin mengembalikan kepercayaan diri Susi. Yang pasti telah hancur berantakan karena ada teman melihat ia punya orang tua ababil yang mungkin sedang puber kedua. ”Kalau begitu aku kembali saja.”
Tiba-tiba terdengar… kkrrryyk kkrrryyk kkrrryyk. Gio langsung menutup mulut menahan tawa mendengar bagaimana perutnya mulai berdendang tidak karuan. ”Aha ha ha, parah banget. Sudah, ah. Aku mau beli makan di stasiun. By…”
”Tunggu, bro!” tahan Susi.
”Ada apa lagi, sih?” tanya Gio.
”Aku sudah beli banyak makanan untuk kita dari minimarket barusan. Jangan pulang sebelum memakannya,” jawab Susi. Ia berkata lagi dengan raut yang masih sangat tidak enak, ”Akan aku ambil dulu di dalam. Setelah itu barulah pulang atau ke mana pun suka-suka kau.”
Gio merespon, ”Cepat, ya!”
Susi bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Tanpa memedulikan sang papa yang seorang diri masih ada di ruangan tengah. Ia naik ke lantai dua dan membawa berbungkus-bungkus makanan yang ia beli tadi sore untuk menghabiskan waktu bersama Gio.
”Mau ke mana lagi kamu?” tanya pria itu dari atas sofa.
Susi seperti tubuhnya telah terprogram. Saat mendengar pertanyaan sang papa langsung terdiam di tempat. Sulit untuk mengabaikan. Glek. ”Lebih baik Papa urusi Mama saja, lah. Untuk malam ini aku ingin menenangkan diri dulu di luar,” jawabnya. Terus melangkah dengan tas Gio di satu tangan. Dan beberapa bungkus makanan di tangan lain.
”Hai, Gi,” panggil Susi pada Gio yang tengah berjongkok di tepi trotoar. Menatap jalan dengan mata kosong seperti anak hilang.
Gio mendirikan tubuh. ”Kamu mau ke mana?” tanyanya melihat Susi kembali mengenakan jaket yang tadi ia pakai pergi.
”Sepertinya aku saja deh yang menginap di rumahmu. Boleh tidak?” jawab Susi balik tanya.
Wajah Gio jadi semangat, tapi langsung meredup kemudian. Memikirkan, kira-kira Susi akan dapat masalah tidak ya kalau sampai masuk ke perkampungan aneh itu. Ia segera kembali mengangkat wajah. Menjawab, ”Of course. Tentu saja. Aku tinggal sendiri, kok. Tapi, maaf ya kalau rumahnya tidak begitu besar dan sangat sederhana.”
“Asal cukup dipakai tidur sama kentut mah tidak masalah,” respon Susi santai.
Saat keduanya siap melangkah menuju stasiun…
”SUSILO TANAYA, MASUK KE RUMAH KAMU!!!” teriak mama Susi dari beranda kediaman.
Kedua pemuda itu yakin teriakannya terdengar sampai rumah tetangga. Demi Tuhan rasanya Susi ingin hilang saja ditelan lubang hitam. Anak sebesar dirinya masih diteriaki seperti itu. Membuat sangat malu. Tapi, di saat yang sama ia juga enggan menolehkan wajah menatap wanita itu.
Gio bingung melihat kondisi temannya. Ingin kembali melangkah. Tapi, kok Susi malah diam saja. “Sus,” panggilnya.
Susi tak merespon panggilan (super memalukan) dari sang mama. Hendak kembali melangkahkan kaki, ”Abaikan saja, br…”
”KALAU KAMU TIDAK KEMBALI JANGAN HARAP KAMU BISA MASUK RUMAH INI LAGI! AKAN MAMA DAN PAPA STOP SELURUH PEMBIAYAAN KULIAHMU!” ancam wanita itu, Nyonya Tanaya.
Gio bisa dengan jelas melihat raut kekalutan di wajah Susi. Ia kembali terdiam membatu di tempat ia berdiri. “Sudah, tidak apa-apa, kok. Lebih baik kamu kembali saja. Aku akan pulang. Terima kasih untuk semua niat baik kamu,” ucapnya menenangkan.
Susi memindahtangankan seluruh makanan dari tangannya ke tangan Gio. Berkata lagi, ”Pokoknya aku minta maaf.” Dan ia pun masuk ke dalam pagar rumah orang tuanya.
Gio kembali melangkah menuju stasiun sambil mencemili jajanan yang diberikan Susi. Hari ini entah kenapa terasa panjang sekali karena banyak hal terjadi.
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Akhirnya Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. harus kembali mengarungi jalanan sepi yang semakin ditelan oleh kegelapan. Jalanan di mana seluruh bagiannya tercecer banyak kehampaan. Jalanan ”kosong” di mana para orang aneh membagi cerita mereka kala mengarungi hari.
Gio berjalan terseok-seok menyusuri jalan masuk kampung Tangga Teparo. Ia mengabaikan beberapa orang pria yang tengah berkumpul di pos ronda. Mengamatinya dengan dua mata terbuka lebar dan raut wajah datar. Hal yang sudah ”tidak” lagi membuat bulu kuduknya berdiri. Hal seperti ini sekarang hanya terasa seperti makanan sehari-hari.
Gio berusaha mempercepat langkah karena hanya ingin segera sampai di rumah. Namun, berjarak beberapa ratus kilometer dari pos ronda itu. Ia melihat bagaimana salah satu pria memisahkan diri. Mulai mengambil langkah mengikuti.
Tap tap tap tap tap tap tap tap tap tap tap tap tap.
Ia hanya ingin secepat mungkin sampai di rumah. Mengunci pintu. Dan tidur sampai saat ia harus kembali kuliah. Hanya itu saja. Aku mohon, Tuhan. Hanya itu saja. Biarkan aku mengakhiri hari ini dengan tenang. Aku tidak ingin mengulang rasa takut serta khawatir yang selalu terulang.
Aku hanya ingin bisa berdiri dengan kakiku sendiri…
Namun, tampaknya Tuhan ”tidak” mendengar doa Gio. Atau mungkin doa yang baru saja ia panjatkan tertahan di atmosfer. Atau bisa jadi awalnya ”menyangkut” di sebuah roket yang sedang melesat membawa satelit buatan. Namun, segera kembali menukik jatuh ke lautan.
Semakin cepat ia melangkah. Semakin cepat juga gerakan pria itu menjadi.
Hah. Gio yang menyadarinya kini bukan hanya melangkah cepat. Ia benar-benar berlari. Drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap. Mana masih ada beberapa tikungan lagi untuk sampai di rumah sewaannya. Melewati jalan jalan sepi. Rumah para warga yang tidak menyalakan lampu depan kediaman mereka. Rimbun pepohonan yang tampak mengerikan. Seolah apa saja bisa melompat keluar dari sana.
Sedikit lagi! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Hosh hosh hosh hosh hosh hosh hosh hosh hosh hosh hosh hosh hosh.
“HAAAKH… HAAAKH… HAAAKH…” Gio yang entah kenapa merasa kelelahan lebih dari biasanya. Berhenti dan membungkukkan tubuh. Menaruh kedua telapak tangan di dengkul yang sedikit tertekuk. Melihat situasi di belakang lewat s**********n. Ia menghela nafas ”lega”. Sudah tidak tampak pria yang tadi mengejarnya. Mungkin ia sudah lelah. Atau bisa jadi sebenarnya ia tidak sedang mengejar Gio. Melainkan kebelet buang air saja hingga harus berlari agar cepat sampai di rumah.
Fiiuuhh.
Saat ia kembali menegakkan tubuh. Ia melihat pria yang tadi ”mengejarnya”. Telah berada tepat di hadapannya. ”HAAAKH!” teriak pemuda itu tanpa sadar sampai menjatuhkan badan. Duukh. Sekujur tubuhnya seperti tengah dicengkram kekuatan tak kasat mata. Mengeluarkan suara saja ia tak kuasa. Aa… aakh… aaa… aakh… aaa… aakh. Apalagi menggerakkan tubuh. Hanya telapak tangan dibantu jari jemari. Yang masih bisa diandalkan mengambil jarak dari pria berwajah creepy. Ia tidak tersenyum. Tidak juga tertawa. Hanya saja kerutan demi kerutan yang ”terukir” di wajahnya memberi efek kengerian berbeda.
Orang ini seperti monster berwujud manusia yang kapan saja bisa menelanku…
Dukh. Usaha Gio berakhir kala punggungnya membentur dinding sebuah rumah warga. Berteriak memohon pertolongan pun ia rasa tidak akan ada gunanya. Dirinya. Dalam situasi itu. Bersama pria tersebut. Seperti ada di dalam sebuah “ruang tertutup”.
Tidak akan ada jalan… untuk melarikan diri…
Pria itu merendahkan tubuh. Menatap wajah Gio tepat di depan hidung pemuda tersebut. Dengan mata yang semakin sipit dan melengkung bak bulan sabit. Berkata, “Kamu tidak akan pernah bisa meninggalkan tempat ini, Giorsal. Walau hanya untuk satu malam.”
Tiba-tiba pintu gerbang dari kediaman di belakangnya terbuka. Sepasang suami istri bersama tiga orang anak mereka yang masih kecil keluar. Melihat dengan tatapan tajam. Mengatakan hal serupa,
“Kamu tidak akan pernah bisa meninggalkan tempat ini, Giorsal. Walau hanya untuk satu malam.”
“Kamu tidak akan pernah mampu meninggalkan tempat ini, Giorsal. Walau hanya untuk satu waktu.”
“Kamu tidak akan pernah dapat meninggalkan tempat ini, Giorsal. Walau hanya untuk satu masa.”
“A, A, Aaaakh…”
Semua yang tengah Gio alami sampai hari ini. Hanya berasal dari sebuah permintaan sederhana.
”Papa, aku ingin tinggal di luar rumah! Aku ingin indekos! Aku ingin hidup mandiri!”
Rasanya ingin ia tarik semua ucapan itu.
Atau… apakah ada ucapan lain yang jadi pemicu butterfly effect dari semua kejadian yang tengah ia alami?