24: Pasi Mati [A]

1151 Kata
Keesokan pagi. Gio muncul di kampus dengan wajah pucat pasi tak ada beda dengan orang mati. Pembawaan diri pemuda itu kan selama ini memang “cool”. Pendiam. Tidak terlalu banyak bicara. Terkesan sulit didekati. Mudah dimanfaatkan pula. Singkat kata Gio itu creepy. Dan hari ini kesan creepy tersebut jadi semakin jelas. Pandangan wajah lurus ke depan, tapi terkesan tak ada tujuan. Tidak memberi warna ekspresi atau aura keberadaan apa pun pada lingkungan di sekitar. Pemuda itu seperti tak ada bedanya dengan makhluk halus. * ”Gi, Gi, Gi, Gio, tugas yang aku minta kerjakan waktu itu su, su, sudah kamu kirim be, belum?” tanya seorang teman Susi pada Gio yang duduk seorang diri di salah satu sudut ruang kelas dengan model bangku bertingkat itu terbata-bata. Saking ”seramnya” penampilan salah satu mahasiswa yang sedang ia ajak bicara. Seperti ada penghalang tak kasat mata. Yang membuat orang lain tak ”bisa” mendekat. Gio menolehkan wajah yang super datar dengan gerakan leher kaku ke arah mahasiswa yang datang bersama beberapa orang teman. ”Kamu masih punya mata dan tangan, ’kan?” tanyanya. Mendirikan tubuh. Mendekati pemuda itu dan gerombolan manusia tidak bergunanya. Beberapa mahasiswa itu, termasuk Susi, memundurkan tubuh mereka dalam suasana mencekam. Padahal kelas cukup ramai. Tapi, orang di luar lingkup mereka seolah tidak bersedia ambil pusing pada apa yang sedang terjadi. Keberadaan Gio yang mudah dimanfaatkan dan memiliki aura kehadiran tipis. Tiba-tiba jadi seseorang dengan kemampuan d******i berlapis. Gio bertanya lagi, ”Apa aku perlu mengeluarkan bola matamu. Setelah itu merenggut kedua tangan dan kakimu. Untuk memastikan bahwa kamu benar-benar ada dalam kondisi membutuhkan bantuanku?” ”…” ”…” ”…” ”Cepatlah enyah dari pandanganku…!” * Saat break makan siang di sela jam perkuliahan. Lagi-lagi Gio hanya berdiam seorang diri di sudut kantin yang sepi. Sebuah bagian yang meski tidak tertulis secara ”eksklusif” disediakan khusus untuk seorang mahasiswa pintar, tapi aneh… itu. Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. Bukan hanya orangnya yang aneh namanya pun panjang sekali… Walau itu hal yang sebenarnya sangat normal. Kalau sudah menyangkut seseorang yang tidak disukai. Hal apa pun juga mah rasanya salah saja. Mana ada yang benar dalam kebencian, batin Susi memandang prihatin. Kondisi Gio yang terasing di sudut kantin. Sejak dulu ia memang sudah hobi mengasingkan diri sendiri. Tapi, tidak disertai omongan julid juga pandangan miring. Paling tidak dia pintar dan berprestasi. “Mau ke mana kamu, Sus?” tanya seorang teman. Saat mereka hendak menuju sebuah bangku yang masih kosong pemuda itu malah mengubah haluan memisahkan diri. “Mau cari spot makan yang berbeda, ah. Bosan aku makan siang melihat wajah jelek kalian terus,” jawab Susi datar. Tak diiringi intonasi bercanda. Tapi, teman-temannya berpikiran lain dan malah tertawa, ”HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!” ”Dia pikir mukanya sendiri enak dilihat kali,” tunjuk seorang teman. ”Sudah kayak cakep saja kamu, Sus,” balas teman yang lain. Teman yang lain ikut menambahkan agar semakin menyemarakkan pembullyan, “Mukamu itu tipikal muka muka jarang ibadah banget tau. Pasti banyak setan hobi nempel.” Susi tidak begitu peduli. Karena sebagian yang diucapkan teman-temannya memang benar. Uhuk. Ia terus melangkah ke tempat duduk di mana Gio berada. ”Hai, bro,” sapa Susi seraya meletakkan nampan makanan di atas permukaan meja di hadapan Gio. Pemuda itu tak memberi respon apa pun. Tetap melanjutkan makan dengan tatapan seperti orang yang tidak ingin hidup lama. Dalam hati Susi kembali bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Gi? Sesuatu yang mungkin saja berhubungan dengan penyebab mamanya bisa bersikap seperti tadi malam. Habis ini pertama kali lho Mama seperti itu di depan orang lain. Bagaimana aku tidak khawatir coba, batinnya lagi. “Untuk apa kamu makan di sini?” tanya Gio seraya mengangkat wajah. Uwah, benar-benar mengerikan. Mukanya sudah seperti warga sipil yang habis melihat pertumpahan darah akibat perang saudara. Apa sih yang sudah terjadi padanya tadi malam? Pasti semua tidak selesai hanya setelah ia meninggalkan rumahku, ’kan? Wong pas pulang kemarin mukanya masih baik-baik saja. Ada apa sih… sebenarnya? Aaarrgh! Tiba-tiba Gio mendirikan tubuh dan ia condongkan ke sisi Susi. Ia cubit daun telinga pemuda itu ke atas. Berkata lirih, “Apa perlu aku potong kedua telingamu untuk memberi kepastian bahwa kamu memang tidak bisa mendengar pertanyaanku, HAH???” DEG DEG DEG. Degub jantung yang sangat kencang menguasai pikiran pemuda itu. Nyaris buat sesak nafas. Ia tidak tau apa yang sudah terjadi pada Gio kemarin. Dan Susi tidak ingin sampai tersulut. Hanya karena pancingan sederhana. Ia gelengkan kepala pelan. Agar Gio melepaskan tarikan itu. Lalu, menjawab, ”Aku makan di sini karena hanya di sinilah aku bisa menemukan jawaban. Akan apa yang kemarin malam terjadi di rumahku. Itu berhubungan dengan kamu juga kan, Gi?” tanyanya balik. Gio kembali menghempaskan pant*tnya di permukaan tempat duduk. Menengadahkan wajah. Melihat langit-langit seng berwarna abu-abu kebiruan di atas kepala. Berusaha menemukan jawaban untuk setiap pertanyaan. Tapi, hal itu tidak selalu bisa berhasil sesuai keinginan. Ia hanya tidak ingin membagi beban penderita*n. Agar paling tidak salah satu teman paling baik yang ia punya. Tidak juga mendapat gangguan serupa. Rasa khawatir juga ketakutan tengah menyelimuti perasaan Gio. Jauh lebih tebal… jauh lebih kuat tarikannya… jauh lebih dalam dari yang siapa pun bisa bayangkan. Itu adalah… sebuah kengerian. Kali ini Susi mendirikan tubuh dan condong ke tempat Gio duduk. Ia lakukan hal sama dengan yang baru saja pemuda itu lakukan padanya. Ia bertanya lagi, ”Apa perlu aku bersihkan kedua lubang telingamu yang pasti banyak congeknya itu untuk memberi kepastian bahwa kamu bisa mendengar pertanyaanku, HEEHH???” Gio menghalau tangan Susi dari daun telinganya dan membuang muka ke arah lain. Sementara Susi sendiri malah tersenyum lebar. Pemuda itu tampak tidak ingin mengikuti cara main Gio yang cukup ”freak”. Susi hanya menghendaki semua berjalan dengan biasa saja. Seperti hari-hari lain sebelum kejadian aneh tadi malam. Hhh hhh hhh. ”Aku minta maaf, Sus. Saat ini pikiranku benar-benar sedang kacau balau,” aku Gio setelahnya. Susi tersenyum. Ia aduk es teh di gelas. “Nah, begitu, dong. Saat mengakui kelemahan sendiri mukamu terlihat jauh lebih manusiawi. Tidak perlu selalu berlagak sok kuat, Gi. Kesannya malah jadi seperti membohongi diri sendiri,” nasihatnya. Gio terdiam menyenderkan punggung dengan pose tubuh melengkung. Tatapannya kosong melihat salah satu kancing kemeja yang sebentar lagi terlihat akan lepas dari jahitan. Hidupnya sendiri… apakah akan terlepas juga jika benangnya sudah putus? Benang kewarasan. “Aku memang tidak tau banyak soal apa yang sebenarnya tengah kamu alami. Karena hal tidak biasa baru saja terjadi di kediamanku tadi malam,” lanjut Susi. Gio mengangkat wajah. “Apa yang terjadi pada mamamu?” ia bertanya. Susi berlagak memutar-mutar jari telunjuk di sisi pelipis. Menjawab, ”Sesuatu yang sulit dinalar akal sehat dan logika.” Gio membelalakkan kedua mata. Seolah sudah bisa menerka bagaimana kelanjutan dari cerita. “Ah…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN