24: Pasi Mati [B]

1275 Kata
* Alkisah tadi malam di kediaman keluarga Tanaya. Susi kembali masuk ke dalam rumah dengan perasaan benar-benar dongkol. Kesal. Benci. Tidak suka. Dendam kesumat. Trauma. Kemarahan. Semua bermunculan dan mulai bercampur menjadi satu dalam perasaan. Ia selalu merasa sangat benci pada sikap kedua orang tuanya. sejak dulu tidak bisa diharapkan perubahannya. Semakin hari yang ada malah makin parah. Dan malam ini adalah titik yang menjadi puncak dari segala rasa muak. What the f**k. ”Susilo Tanaya, jangan naik dulu kamu! Ada yang ingin kami bicarakan,” perintah papanya, Tuan Sudirman Tanaya, dari ruang keluarga. Susi tidak peduli. Perasaannya kadung benar-benar buruk tidak ada duanya. Kalau terus dipaksa melihat sepasang pasutri itu. Ia khawatir akan berubah menjadi sosok anak yang belum pernah dibayangkan. Ia belum punya keinginan untuk jadi anak durhaka. Kuliahnya juga masih panjang. Tentu akan merepotkan jika kedua orang tuanya tidak bersedia membiayai lagi. “SUSILO DIRMAN TANAYA!” panggil sang papa lagi meninggikan oktaf suara. Kali ini memanggil nama lengkapnya. Berat hati Susi pun menahan langkah. Melontarkan respon, ”Barusan Mama hanya menyuruh aku masuk, ’kan? Apa lagi yang harus aku lakukan? Aku ingin segera masuk kamar dan minta maaf pada Gio akan tindakan kurang sopan yang baru saja ia alami di rumah orang tuaku.” Mama Susi, Gisselda Magdalen Tanaya, terduduk di sisi sang belahan jiwa dengan kaki ditumpuk. Satu tangan diletakkan di atas lutut dan wajah bertopang dagu dengan raut sendu. Susi langsung membatin, padahal Mama yanng salah di sini. Tapi, malah sok berlagak memasang wajah korban. Yang namanya perempuan memang merepotkan. Untung saja aku tidak punya saudara perempuan. Sang papa berkata lagi dengan satu telapak tangan mendayung, meminta si pura bungsu mendekat, ”Sini kamu!” Lagi-lagi, lagi-lagi, Susi merasakan ”kekuatan” tak kasat mata yang membuat ia tak bisa menghindar dari perintah orang tuanya. Ia pun melangkah kembali ke ruangan di mana mereka berdua tengah berada. Ia duduk bersimpuh bagai seorang pesakitan di atas karpet rotan berukurang sedang yang ada di hadapan papa dan mamanya. Apa yang ia lakukan sudah seperti ritual… maksudnya kebiasaan. “Mama ingin kamu tidak berteman lagi dengan anak itu. Siapa namanya?” tanya Gisselda menolehkan wajah melihat suaminya. Sudirman menjawab, ”Gio, Ma. Kamu pasti sudah lelah sampai tak bisa mengingat hal seperti itu.” Gisselda kembali menatap wajah sang putra. Melanjutkan petuahnya, ”Iya, dia, Gio. Mama tidak mengizinkan lagi kamu untuk berteman dengan Gio. Dan juga jangan sampai pernah kamu bawa anak itu lagi ke rumah kita. Kalau sampai berani kamu ajak lagi dia ke sini…” Susi mengangkat wajah. Bertanya dengan intonasi menantang, “Memang kenapa, Ma? Mama mau melakukan apa ke aku kalau aku bawa Gio lagi main ke sini?” ”Lebih baik kamu berhenti kuliah saja. Kamu tidak boleh lagi keluar dari rumah ini. Kalau perlu akan Mama bangunkan sebuah penjara hanya untuk menahan kamu agar tidak pergi,” jawab Gisselda serius. Haaahhh? Tidak peduli seserius apa sang mama. Susi tetap tidak bisa mencerna ancaman itu dengan baik. Ia lihat papanya juga, sebagai pihak yang ia harap bisa jauh lebih logis dan berpikir masuk akal, hanya diam seolah tidak peduli pada masa depan sang putra bungsu. Ada apa sih dengan mereka sebenarnya? Menyebalkan sekali! Susi yang sudah tidak bisa menahan emosi. Mendirikan tubuh di hadapan kedua orang tuanya tanpa rasa segan. Merasa sudah sampai pada batasnya. “Kenapa Papa dan Mama selalu seperti ini???” ia bertanya meninggikan oktaf suara. ”…” ”…” Susi menepuk bidang dadanya sendiri. Puk puk puk. Berkata sepenuh hati, ”Sejak dulu kalian berdua selalu pilih kasih antara aku dan Abang. Abang selalu diberi apa pun yang dia inginkan. Sementara kalau aku mau apa saja semua malah selaluuu dilarang. Mau ini tidak boleh. Mau itu tidak boleh. Ingin main bersama teman ke sini tidak boleh. Ke sana tidak boleh. Ada teman ingin bermain atau mengerjakan tugas saja selama aku masih remaja dulu jarang sekali diizinkan. Sekarang aku sudah kuliah dan jadi orang dewasa pun perlakuannya tetap seperti itu. Membuat darah tinggi. Mama dan Papa pikir jangan hanya kalian ya yang bisa kena serangan jantung karena tidak kuat menghadapi masalah. Aku juga manusia biasa. Aku ingin hidup dengan bebas dan menikmati masa mudaku di luar sana. Tidak peduli sebesar, semewah, dan sebagus apa kalian bangun urmah ini sebagai tempat tinggalku. Tidak akan pernah cukup untuk menampung seluruh perasaan kesepian di dalam hati. ”Aku mohon… agar Papa dan Mama mengerti,” pinta pemuda itu seraya meremas d**a. Sesak sekali rasanya. Terbiasa jadi anak penurut, super pengalah, dan juga patuh. Mengatakan hal tidak sopan bahkan terkesan kurang ajar seperti itu pada kedua orang tua sendiri. Rasanya sedih sekali. Tapi, kalau tak ia ungkapkan semua kali ini. Mungkin kesempatan kedua tak akan pernah datang lagi. Gisselda terlihat semakin sakit kepala kala menyikapi perlawanan anak keduanya. Susi yang selama ini biasa menjadi anak manis penurut. Kenapa tiba-tiba jadi susah diatur, sih? Susi yang biasa itu hanya akan menunduk dan patuh pada semua perintah orang tuanya. Kenapa sekarang jadi seperti ini? Hal yang tengah dipikirkan oleh Sudirman pun kira-kira sama. Kenapa putra keduanya jadi begini? Dapat pengaruh dari mana? Pasti gara-gara anak ”itu”… ”Sikap yang baru saja kamu tunjukkan semakin memperjelas kebulatan keputusan kami untuk tidak membiarkan kamu berteman lagi dengan anak itu,” ujar sang papa. ”Situasi di negara ini sepertinya sudah tidak aman, Pa. Lebih baik kita pindahkan saja Susi ke kampus asrama Katolik yang baik di luar negeri. Mama tau sebuah sekolah yang bagus di Bellevue, Washington,” rajuk Gisselda. Susi benar-benar seperti akan kena serangan jantung saat mendengar permintaan mamanya pada papanya. Kampus asrama Katolik? Bisa putih semua rambutnya sebelum berusia dua puluh tahun kalau benar-benar sampai ”terdampar” ke tempat seperti itu. Kalau begini caranya lebih baik aku kabur saja sekalian, lah. Peduli setan dengan uang kuliah. Aku bisa mencari sendiri, batin Susi mulai membangun keteguhan hati. Ia bisa benar-benar hilang kewarasan kalau lebih lama bersama pikiran kolot kedua orang tuanya. Lagipula negara ini sudah tidak aman mananya? Maksudnya apa? Memang ada perang atau kerusuhan? Wong negara super aman, santuy, dan hobi rebahan nomor satu peringkat internasional. Ketidakamanan apa sih yang diharapkan terjadi? ”Aku benar-benar tidak mengerti kenapa pertemananku dengan Gio yang sebelumnya baik-baik saja harus dapat pertentangan seperti ini dari kalian,” ucap Susi mengangkat kedua telapak tangan. ”Dia itu anak yang ’tidak bersih’, Susilo!” teriak sang papa. Susi tertawa kecil mendengar tudingan mamanya. ”Heh, Mama, aku, Papa, juga semuanya kita ini tidak ada yang suci. Namanya manusia itu pasti kotor, ’kan? Bertabur dosa juga kesalahan. Mana ada di dunia ini yang seputih Yesus dan sesuci Bunda Maria.” “…” “…” “Padahal tadi perjumpaan pertama kalian. Apa tidak terlalu berlebihan memperlakukan anak yang baru dikenal dengan sikap begitu buruk? Sampai menuding tidak bersih segala. Sepertinya ini bukan pertama kali kalian berbicara seperti itu soal teman-temanku. ”Susi, sebaiknya kamu tak terlalu dekat dengan anak itu. Dia tidak pantas dengan kamu. Susi, anak itu terlihat tidak berasal dari latar belakang baik. Kamu tidak boleh merusak kualitas jaringan relasi kamu. Susi, anak itu kurang ini. Susi, anak itu kurang begitu. Susi, sebaiknya kamu tidak berjumpa dengannya lagi. Susi, wanita itu tidak sesuai dengan kamu. ”Ada berapa banyak larangan lagi yang sudah kalian persiapkan untuk si Susi ini, Pa, Ma?” tanya pemuda itu kembali menepuk d**a beberapa kali. Tatapan kedua bola mata putra bungsu mereka begitu hampa. Baik Sudirman maupun Gisselda mendirikan tubuh mereka dan mulai mengambil ancang-ancang. Sesuatu yang lebih tidak terduga lagi dari sebelumnya tampak akan terjadi. Susi… tanpa ia sadari… pemuda itu kehilangan kendali. Mulai ”menari” kehilangan jati diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN