*
”Pokoknya aku sempat hilang kesadaran. Entahlah. Mungkin karena tidak lagi kuasa menahan rasa kesal. Yang jelas saat aku kembali bangun situasi rumahku sudah kacau balau,” cerita Susi.
Deg. Mendengar kata kaca balau. Ingatan Gio jadi terseret kembali ke peristiwa mengerikan yang saat itu terjadi di kediaman Giorsal Sr. Apakah para penunggu kampung Tangga Teparo yang mengakibatkan semua itu sampai terjadi pada Susi? Jika benar… mungkin keputusan untuk menjauh dari semua orang merupakan kebijakan paling tepat yang bisa ia ambil.
Saat Gio sedang pusing memikirkan banyak kemungkinan. Susi malah tertawa cekikikan melihat wajah teman yang tampak menggelikan, ”Khi khi khi, santai saja, bro. Rumahku itu berantakan paling karena Mama dan Papa habis gontrok-gontrokan. tidak ada hubungannya lah dengan kita. Santai saja,” usahanya menenangkan. Ia khawatir sampai Gio merasa bersalah. Karena sesuatu yang sama sekali tak berhubungan dengannya.
”Apa kamu tidak menanyakan penyebabnya pada kedua orang tuamu? Apa mereka juga tidak mengatakan apa pun soal itu? Habis itu pasti perkara penting, ’kan?” tanya Gio. Raut wajahnya masih menunjukkan kecemasan ekstra. Bukan sepenuhnya karena khawatir pada kondisi keluarga Susi. Hanya saja bagaimana kalau ternyata ia yang jadi penyebabnya?
Dan sesuatu yang lebih rumit tengah terjalin menuju masa depan tidak terduga.
Susi menggelengkan kepala. Menjawab, ”Aku tidak sepeduli itu untuk menanyakan apa yang habis terjadi pada mereka. Mereka juga tidak mengatakan apa pun, kok. Berarti kan bukan hal penting.
”Sudahlah, tidak perlu memikirkan hal yang tidak perlu. Yang jelas kau sudah tidak perlu merasa terganggu lagi pada masalah yang baru terjadi di rumah orang tuaku. Dan feel free untuk menceritakan apa pun kalau itu bisa membantu. Oke?” tanya Susi ramah.
Gio menganggukkan kepala lemah. Glekh.
*
Akhirnya Gio nanti harus kembali berjalan seorang diri. Dalam menyusuri jalan-jalan berukuran sedang di kampung Tangga Teparo tempat ia tinggal kini. Tidak peduli sudah berapa lama atau purnama ia menjejakkan kaki di daerah perkampungan itu. Ia merasa tidak akan pernah terbiasa dengan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
Rasa takut. Tidak biasa. Perasaan hilang kendali. Semua bercampur aduk menjadi suatu jenis paranoia tipe baru. Hal yang sulit untuk diterima akal sehat juga logika.
Di kampung Tangga Teparo itu… mulai dari bayi yang baru lahir. Sampai aki-aki yang sudah berusia uzur. Rasanya semua bisa berubah jadi sosok mengerikan. Mereka semua punya kesempatan untuk memberi aku rasa takut baru, batin Gio saat sedang bersantai seorang diri di sebuah kafe. Sepulang dari kampus walau langit telah semakin gelap dan ada banyak hal yang harus ia kerjakan. Ia memutuskan tidak langsung pulang ke rumah sewaannya yang berada di kampung horor.
Entah mengapa. Kengerian kampung Tangga Teparo mungkin ”hanya” ia yang bisa merasakannya. Mungkin hanya ia yang mengerti letak kengeriannya. Karena selama ia tinggal di sana. Memang seperti itu ”kelihatannya”. Gio merasa bahwa dirinya lebih seperti setetes air di dalam sebotol minyak kelapa sawit. Ia terlihat, terasa, dan memang merasa sangat berbeda. Tak ada satu pun warga kampung atau tetangga yang bisa ia ajak bicara. Sekadar mengobrol membicarakan masalah sederhana. Sepanjang pengalamannya semua itu hanya akan berakhir menjadi sebuah teror baru.
”Mereka selalu memiliki cara membuat hari-hariku terasa lebih buruk,” ucap Gio pelan seraya menundukkan kepala. Menatap secangkir Banana Rum Latte di atas meja. Selain minuman itu telah terdapat beberapa cangkir kosong lain di sekitarnya. Mulai dari White Choco Latte, Americano, Avocado Latte, Ristrestto, Piccolo Latte, Choco Rum Latte, dan Caramel Latte. Semua sudah ia tenggak habis sejak pertama tiba di sana.
Lulus kuliah aku bisa kena diabetes kalau menjalani pola hidup seperti ini terus, batin Gio seraya menyingkirkan posisi cangkir Banana Rum Latte yang masih terisi penuh dari hadapannya. Orang-orang yang mengamati tingkah polahnya sejak sore tadi juga mungkin sudah terhenyak tak habis pikir. Membicarakan di belakang jauh lebih mungkin.
Pemuda dengan gerak-gerik aneh… Pasti dia habis putus cinta… Gagal mengerjakan tugas kuliah… Memikirkan tunggakan rumah sewaan… Habis diusir dari rumah orang tua… Dikucilkan teman-teman kampus… Ribut dengan anggota geng motor… Diteror debt collector pinjaman online… Kalah judi… Didiagnosa kanker stadium 3… Berhutang pada lintah darat…
BUKAN SEMUAAAAAAAA!!!
Walau tidak mengatakan apa pun. Saat itu Gio tengah mengalami perdebatan panjang nyaris tak berujung dengan diri sendiri. Sulit sekali untuk dihadapi. Tidak bisa diajak bernegosiasi. Dan kegelapan yang ia kira telah ia tinggalkan di rumah sewaan. Mulai tampak keluar dari para pengunjung lain juga pegawai kafe. Mereka semua tengah melihatnya dengan sepasang tatapan mata tajam. Tak teralihkan oleh apa pun. Tajamnya penglihatan mereka seolah berubah menjadi belati yang menusuk kedalaman sukma.
Hhh… hhh… hhh!!!
”Aku tidak bisa seperti ini terus… Aku tidak bisa berada di sini jauh lebih lama lagi… Tapi, Tapi, Tapi, memang ke mana aku bisa melarikan diri? Apakah ada tempat yang jauh lebih aman serta terpercaya dari tempat aku berada kini? Mengapa harapan itu sedikit demi sedikit malah jadi semakin implisit bukannya menggunung bak sebuah bukit?” tanyanya lirih dengan ekspresi ketakutan tampak jelas tengah tumpah ruah di seluruh bagian wajah. Ia taruh kedua telapak tangan di sisi pelipis. Berusaha menciptakan kacamata kuda yang menghalangi tatapan curiga orang di sekitarnya.
Tidak mengapa jikapun ia harus dikira orang gila. Yang paling penting adalah mendapat kedamaian agar bisa tetap memiliki harapan untuk hari esok. Hari esok yang bertabur cahaya dan penuh kebahagiaan seperti orang pada umumnya.
”Kamu pikir hal indah yang tidak realistis seperti itu benar-benar ada, Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Juni*r?”
”HAH??!” Gio langsung tersentak saat mendengar pertanyaan itu terucapkan tepat di sisi daun telinganya. Terasa sangat keras. Sekaligus nyata. Eh? Namun, tidak tampak satu orang pun tengah berada di sisinya. Tak ada seorang pun yang mengucapkannya.
Aku… Aku… Aku pasti benar-benar sudah tidak waras, batin pemuda itu seraya mencengkram dahi dengan kedua telapak tangan yang basah oleh keringat. Walau ruangan kafe yang tidak begitu ramai saat itu sebenarnya memiliki suhu cukup rendah.
Panas. Dingin. Bercampur jadi satu menciptakan zona tengah yang sulit diterima akal sehat. Ia tidak ingin kembali ke rumah sewaan di perkampungan menyeramkan. Ia ingin tetap berada di kafe yang buka dua puluh empat jam itu sampai esok hari. Tapi, di sisi lain sesuatu terus saja bergejolak dalam d**a. Membuat ia ingin segera meninggalkan tempat ia tengah berada.
“Mbak, sepertinya mas-mas yang duduk di dekat jendela sendirian itu sedang kurang sehat, deh. Coba tanyakan bagaimana kondisinya. Takut tiba-tiba pingsan di sini. Rumah sakit kan jauh,” saran seorang perempuan berpakaian hitam yang datang ke sana bersama beberapa orang teman.
Waitress tersebut tersenyum seraya menganggukkan kepala. Dengan langkah lembut juga anggun tanpa suara berjalan menuju lokasi tempat duduk si pemuda berada.
Gio sendiri sedang berusaha mengangkat cangkir berisi Banana Rum Latte. Telapak tangan hingga jari-jarinya tetap gemetar. Ia mulai merasa kesulitan walau hanya untuk sekadar memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Cairan di dalam cangkir pun mulai tumpah tidak karuan. Merepresentasikan betapa besar kegundahan yang tengah menyerang perasaan.
Cepat atau lambat aku akan hancur…
Kegilaan.
”Permisi, Tuan,” panggil si waitress dengan intonasi baik dan suara pelan.
”HAAAAAAKKKHHH!!!” CPYAAASH!!! Reflek Gio berteriak karena kaget sekaligus menumpahkan isi cangkir yang masih panas ke tubuh si waitress malang.
Apa… Apa yang sudah kulakukan? Tidak! Tidak! Aku tidak bersalah! Aaaaaaaaaaaarrrrggghh!!!