25: Repetisi Tanpa Tepi [A]

1098 Kata
“Aaaakkhh,” teriak waitress itu berusaha menetralisir rasa sakit yang baru saja menghujam permukaan kulit dan pakaiannya. Beberapa orang waitress dan waiter lain yang sedang menganggur pun gercep (gerak cepat) menghampiri kedua orang itu. Wajah Gio yang masih pucat pasi sejak pagi tampak diliputi rasa penyesalan dalam. Ia sama sekali tidak punya niatan untuk menyakiti siapa pun. Ia hanya sangat terkejut karena tiba-tiba diajak bicara saat pikirannya sedang melamun tidak menentu. Semua ini kecelakaan. Hal yang tidak seharusnya terjadi. ”Saya minta maaf, Mbak, Mas. Pikiran saya sedang sangat pusing dan tercampur aduk. Saya benar-benar tidak sadar saat melakukan hal itu,” pohon Gio tidak enak di ruangan dalam kafe. Waitress yang menjadi korban ”paranoid-nya” tengah dirawat oleh waitress lain menggunakan air dan obat merah. Terdapat beberapa luka yang tidak begitu parah. “Mbaknya,” ucap Gio, “pergi saja ke rumah sakit. Akan saya tinggalkan nomor telpon saya untuk mengganti biayanya nanti. Sekali lagi saya mohon maaf,” pohonnya lagi seraya merendahkan kepala. Bagaimanapun juga menghormati semua orang yang ada di sana. Terutama orang yang habis ia rugikan paling parah. Melihat kondisi ”pelaku” musibah yang baru saja salah satu teman kerjanya alami sendirinya kelihatan tidak sehat. Seorang waiter yang memiliki nama sama dengan salah satu sosok legenda dalam dunia seni Indonesia menawarkan diri, ”Masnya sendiri sepertinya sedang kurang sehat. Apa mau saya antar pulang?” tanyanya. ”Mas Gesang!” sentak seorang waitress yang julid pada itikad baik pemuda itu. Gesang menempelkan jari telunjuk di depan bibir. Meminta diam, ”Ssstt! Kamu lihat dong bagaimana Mas ini sudah dengan rendah hati merendahkan kepala untuk meminta maaf sama kita semua. Dia juga tidak berniat kabur atau lepas tanggung jawab, kok. Manusiakanlah manusia lain saat kamu dimanusiakan. Jangan seperti itu, ya,” nasihatnya bijaksana. Gio yang memang sedang merasa sangat tidak jelas kondisi tubuhnya. Mendengar penawaran itu seperti berkah dari surga. Tak akan ia sia-siakan begitu saja. ”Terima kasih banyak atas tawarannya, Mas. Kalau Masnya memang bersedia tentu saya akan sangat berterima kasih.” ”Kafe juga sedang tidak begitu ramai. Kalau begitu aku izin dulu ya semua. Tolong izinkan ke Mas Ir,” pamit Gesang seraya meraih kunci motor di gantungan. Sesampai keduanya di parkiran motor khusus pegawai kafe. Gio tiba-tiba tersadar pada kampung tempat ia tinggal. Bagaimana jika respon pemuda itu setelah mendengar nama kampung Tangga Teparo sama dengan respon kebanyakan orang selama ini? Bagaimana jika ia jadi dipandang sebelah mata karenanya? Bagaimana jika menolak saja? Tapi, kondisi tubuhnya kurang mendukung untuk digunakan berjalan pulang sendiri. Apa menggunakan becak saja? Apa memanggil ojek online? Atau yang lain? Tapi, bagaimana dengan “keselamatan” mereka jika sampai masuk ke kampung itu? Gio tidak akan menghendaki sampai suatu hal buruk terjadi pada orang lain. Karena dirinya. Karena keputusannya. Karena kepakan sayap kupu-kupu yang ”ia” hasilkan. ”Kenapa malah melamun, Mas?” tanya Gesang. “Kenapa… Mas mau mengantar saya? Teman-teman Mas barusan juga sepertinya kurang berkenan. Apa penyebabnya?” tanya Gio. Setelah berbagai pertimbangan. “Wajah Masnya pucat sekali. Saya takut Masnya kenapa-kenapa di jalan kalau pulang sendirian. Lagipula Anda juga sangat bertanggung jawab walau telah mengakibatkan hal kurang baik terjadi pada pegawai kami. Sebagai salah satu penggerak usaha tentu saja saya punya tanggung jawab moral setara dengan yang sudah Anda lakukan,” jawab Gesang fasih. Gio langsung membatin, ya ampun, manusia moralist sebaik ini sepertinya tidak boleh sampai aku biarkan mengalami kejadian buruk gara-gara kampung Tangga Teparo. Sebaiknya aku coba ”melarikan diri” lagi saja dari cengkraman kampung tersebut. Yak, kali ini pasti bisa, pikirnya optimis. Yakin bahwa law of attraction (hukum tarik menarik) akan mengantarkan pada kebaikan juga. Hidupnya sudah terlihat sangat suram di luar akibat keberadaan di kampung itu. Ia tidak boleh menambah aliran kegelapan di dalam juga karena pikiran sama. Gio pun naik ke tempat duduk penumpang di motor yang akan Gesang kendarai. Pemuda itu sama sekali belum bertanya ke mana tujuan si penumpang. Karena itu Gio juga membiarkan saja. Sembari memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Untuk sejenak saja… melepaskan diri dari jerat kampung yang selalu membuat perasaan jadi tidak enak. Setelah beberapa menit memulai perjalanan di atas motor. Gesang tampaknya baru sadar ia belum menanyakan ke mana arah tujuan kendaraan itu melaju. Dengan nada suara tidak enak bertanya pada Gio di belakang, ”Rumahnya di mana, Mas?” Gio menjawab, ”Rumah saya sedang direnovasi karena gentingnya bocor, Mas. Kalau berkenan tolong antarkan saja ke hotel paling bagus di sekitar sini.” Wah, dia pasti benar-benar orang kaya, batin Gesang kagum. Anak muda semampu itu dengan penampilan jelas terlihat modern serta seperti anak kota besar. Bisa bersikap begitu rendah hati dalam memperlakukan orang dengan kasta di bawahnya. Aku merasa keberadaan seperti itu pun tetap harus mendapat apresiasi. Untuk mewujudkan masyarakat ideal di mana semua orang ”Bhineka Tunggal Ika” serta ”Pancasila”. ”Baik Mas kalau begitu. Tidak jauh dari sini tepatnya di pinggir kota ada hotel bintang tiga dengan panorama yang bagus. Saya bawa Anda ke sana saja, ya.” Gio menganggukkan kepala. Merespon, ”Hmm.” * Sampailah Gio dan Gesang di hotel bintang tiga sekaligus hotel paling bagus dalam radius beberapa puluh kilometer karena disuguhi pemandangan alam paling paripurna di sekitar sana. Gio tidak mungkin hanya turun dari kendaraan dan mengucapkan, terima kasih banyak yah atas tumpangan Anda, pada Gesang yang telah memotong jam kerjanya hanya untuk memastikan keselamatan Gio sampai di tujuan. Walau pemuda itu tidak menunjukkan atensi ”menunggu sesuatu” setelah Gio turun dan siap kembali menjalankan motor. Gio menyelipkan dua lembar uang seratus ribuan di tangan pemuda itu. Sebuah hadiah kecil yang ia harap bisa membuat Gesang tetap pada pendiriannya soal moral baik manusia. Nah, sekarang mari kita nikmati waktu kita untuk beberapa saat ke depan, batin Gio optimis seraya tersenyum melihat bangunan hotel yang cukup megah di hadapannya. Walau baik dari arsitektur, desain interior, maupun luas parkiran sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibanding semua hotel yang pernah ia datangi selama ini. Rasanya berada di sana walau hanya untuk satu malam. Sudah “lebih” dari cukup untuk mengusir “sedikit” kepenatan akibat kehororan kampung Tangga Teparo. Ups, nama kampung sial itu terlarang aku ucapkan baik secara sadar atau tidak di tempat ini. Mengingat nama kampungnya saja rasanya aku bisa tertimpa kejadian buruk, batin Gio ”asyik” menggeleng-gelengkan kepala. Seperti gestur gerakan orang yang membatin, pahit, pahit, pahit, pahit, pahit, pahit, pahit! Untuk menolak bala. Apa yang disebut kesialan memang bisa ditolak kedatangannya? Apa memang benar ada cara untuk menolak kejadian tak dikehendaki? Jangan mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN