Di meja resepsionis. Tanpa ba bi bu Gio langsung memesan kamar paling mahal dengan pelayanan paling baik dan memiliki pemandangan paling indah seperti yang ia dengar dari Gesang barusan.
Mbak-mbak resepsionis tersenyum super ramah dan bertanya, “Sudah melakukan booking dari aplikasi tertentu sebelumnya, Pak?”
Gio yang malas banyak bicara lagi hanya menggelengkan kepala cepat dengan raut wajah mengantuk. Ia hanya ingin segera tidur dengan damai, aman, dan tentram. Di tempat yang tak berada di kampung itu.
Setelah menyelesaikan ba bi bu pemesanan kamar. Akhirnya Gio mendapat kunci dan diarahkan oleh seorang petugas hotel menuju destinasi kamar yang ia kehendaki.
”Selamat menikmati kamarnya, Tuan. Silahkan panggil saya apabila Anda membutuhkan sesuatu,” tawar si mas-mas petugas hotel dengan senyum lebar memamerkan deretan gigi rapi sedikit kekuningan.
Gio tersenyum saja. Ia tutup pintu untuk merasakan betapa nyamannya hawa “kebebasan”. Terakhir kali ia hirup beberapa bulan lalu saat pertama tiba di daerah ini. Yang ternyata hanya membuka lembar baru. Untuk pengalaman yang memancing perasaan ingin pergi selanjutnya.
Buukh. Ia banting tubuh di atas kasur berukuran king bed. Sangat nyaman. Sekalipun tidak senyaman kasur di rumah sewaannya yang mungkin punya harga beberapa kali lipat karena berasal dari merek nomor satu. Paling tidak ia bisa merasakan ketenangan. Tidak ada hal aneh terjadi atau suara mengganggu dari rumah tetangga.
“Akhirnya aku bisa menikmati malam yang tenang. Dan semua yang pria itu ucapkan pasti hanya omong kosong. Tidak mungkin juga, lah. Masa aku tidak bisa meninggalkan kampung terkutuk itu barang satu malam saja. Akan aku patahkan semua ucapanmu, penduduk kampung sialan!” ucapnya pelan dengan dua mata yang sudah sangat mengantuk. Siap terlelap.
Wuuussh…
Sampai ia merasakan hembusan angin nyaman entah dari mana. Padahal jendela kamar itu juga sedang tertutup rapat. Ingin ia buka lagi kedua mata untuk memastikan situasi. Apakah ada yang salah dengan pendingin ruangannya?
Sepertinya tidak. Semua pasti akan baik-baik saja…
*
Tiba-tiba ia mendengar orang bicara, ”Rumahnya… di mana… Mas?”
”Haakh,” kesadaran utuh Gio kembali ke tubuh. Ia rasakan bagaimana nyaris seluruh bulu kuduknya berdiri tegak. Menyadari di mana ia berada kini. Masih di atas motor. Tepat di belakang tubuh Gesang yang sedang mengendarainya tanpa arah tujuan.
Pemuda sederhana yang duduk di depan seketika merasa aneh karena tak dapat jawaban. Apakah penumpangnya masih baik-baik saja? Ia bertanya lagi, ”Rumahnya di daerah mana, Mas? Di kampung apa? Atau Masnya tinggal di semacam guest house atau kos-kosan?”
Air mata Gio menetes tanpa suara. Tanpa isakan. Tes tes tes. Ia yakin apa yang ia alami sejak tadi bukan hanya sekadar mimpi apalagi khayalan. Semua terasa begitu nyata. Bahkan walau hal yang tidak masuk akal baru saja terjadi. Ia akan berusaha menerima semua sebagai sebuah ”kenyataan”. Tidak peduli apa yang jadi alasan.
Dengan senyum getir terukir di wajah. Gio (kembali) menjawab, “Rumah saya sedang direnovasi karena gentingnya baru saja bocor, Mas. Kalau berkenan tolong antarkan saya ke hotel paling bagus di kota ini.”
Dan Gesang pun (kembali) menjawab, ”Baik Mas kalau begitu. Tidak jauh dari sini tepatnya di pinggir kota ada hotel bintang tiga dengan panorama yang bagus. Saya bawa Anda ke sana saja, ya.”
Semakin kendaraan itu melaju menuju destinasi yang dikehendaki. Gio merasa roh yang selama ia hidup bersarang di matanya semakin menghilang. Mengabur keluar seperti asap yang lepas dari balon dengan lubanng.
Semua abu-abu… Semua abu-abu… Semua abu-abu…
Ia pejamkan kedua matanya. Berusaha kabur dari realita.
Semua jadi semakin gelap… Semua jadi semakin gelap… Semua jadi semakin gelap…
Ia perdalam lagi kerapatan di kedua kelopak mata. Tidak ingin dengan mudah bisa dikoyak oleh risakan kenyataan.
Aku akan kehilangan segalanya… Aku akan kehilangan segalanya… Aku akan kehilangan segalanya…
Dan sampailah mereka berdua di depan hotel bersangkutan. Tidak terlalu besar dan mewah memang jika dibanding dengan semua hotel yang pernah Gio datangi sebelum ini. Tapi, ia masih mengharapkan barang satu hal baik saja bisa terjadi. Mewujudkan semua mimpi. Menjawab doa yang telah ia panjatkan berkali-kali.
Tidak mengapa. Walau dipenuhi perjuangan. Itu bukan masalah.
Di depan meja resepsionis. Gio (mengulang) mengatakan permintaannya, “Saya ingin memesan kamar paling mahal dengan palayanan nomor satu dan memiliki pemandangan alam serta kota paling menawan di sini.”
Mbak-mbak resepsionis tersenyum super ramah (lagi) dan bertanya, “Sudah melakukan booking dari aplikasi tertentu sebelumnya, Pak?”
Gio menggelengkan kepala. Membiarkan semua berjalan begitu saja. Membiarkan nyaris sekujur tubuhnya yang tanpa daya diantarkan oleh seorang petugas hotel laki-laki berpakaian rapi menuju kamar dengan spesifikasi memenuhi ekspektasi.
”Selamat menikmati kamar Anda, Tuan. Silahkan panggil saya apabila Anda membutuhkan sesuatu,” tawar si mas-mas petugas hotel dengan senyum lebar memamerkan deretan gigi rapi sedikit kekuningan.
Kini Gio tak melengkungkan sedikit pun senyuman. Ia tetap memasang raut wajah datar seolah tak peduli pada apa pun. Melangkah memasuki kamar dan duduk di atas kasur king bed. Tidak buru-buru ia baringkan tubuhnya. Masih ada banyak hal yang harus dipikirkan. Dipertimbangkan dengan baik sebelum melakukan sesuatu. Sesuatu yang bisa jadi malah berakibat buruk untuk masa depan.
Seperti kepakan sayap seekor kupu-kupu di Bandar Sri Begawan yang mampu menghasilkan tornado besar di Andorra de la Vella.
Tidak ada rasa sakit lagi. Tidak masalah walau tidak bahagia sekalipun.
Langit di luar jendela sudah sangat gelap. Pemandangan alam asri yang indah juga jadi tidak begitu jelas terlihat. Yang ada malah kesan creepy dari dingin dataran tinggi tepi kota mulai mengusik diri. Tapi, semua ini beribu kali jauh lebih baik. Ketimbang rasa ngeri tanpa tepi yang menguasai diri saat berada di kampung itu.
Gio duduk di beranda kamar hotel yang menghadap ke luar. Di bagian bawah tampak kolam berenang yang sudah tidak ada orang. Walau rasa kantuk dan lelah semakin kuat merayapi sekujur tubuh. Ia tetap berkeras mempertahankan kesadaran. Hanya dengan cara seperti itu. ”Mungkin” ia akan bisa terlepas dari ”siklus kungkungan” kampung Tangga Teparo.
“Kamu tidak akan pernah bisa meninggalkan tempat ini, Giorsal. Walau hanya satu malam saja.”
Glek. Gio menenggak ludah sendiri. Merasa bagaimana pemandangan yang katanya indah menawan hati. Mulai mempermainkan akal sehat. Yang ada di depan matanya bukan lagi sekadar pemandangan alam yang gelap. Namun, sekilas malah kampung Tangga Teparo yang terlihat. Dengan para warganya yang ”aneh”. Mereka semua sedang menari-nari di tengah jalanan kampung ditemani nyala obor.
Drrk drrk drrk. Glek. Gio bangkit dari duduknya. Hhhkk hhhkk hhhkk. Deru nafas yang terasa semakin berat mulai memburu. Bagai diri tengah dikejar sekumpulan makhluk menyeramkan yang membawa senjata di tangan.
Sangat menyedihkan! Sangat mengecewakan! Wahai Giorsal Junior, ke mana kamu ingin melarikan diri? Kamu tidak akan pernah bisa pergi!