”Kenapa…? Kenapa pikiran ini tidak bisa enyah dari kepalaku?” Ia cengkram kepalanya dengan kedua telapak tangan. Walau berada di lingkungan bersuhu rendah. Keringat dingin akibat anxiety tetap tak berhenti mengucur parah. Membasahi mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Kamu pasti berhalusinasi karena kelelahan dan rasa kantuk yang tidak tertahankan, Giorsal Junior, ucap pikirannya sendiri berusaha menenangkan hati. Tapi, jika ia pergi tidur dan kehilangan kesadaran. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa jadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
”Dan itu tidak boleh terjadi,” putusnya bulat. Segera ia panaskan air minum di electric kettle. Setelah mendidih dan mengeluarkan uap pekat. Ia seduh semua kopi yang disediakan kamar hotel. Tidak lupa ditambah creamer agar jadi semakin ”nikmat”. Ia tenggak semua bahkan saat asapnya belum padam. Cairan panas yang membakar nyaris seluruh bagian mulut juga tenggorokan terasa sangat menyakitkan. Tapi, semua rasa sakit itu jauh, jauh, jauh lebih baik dari teror akan rasa takut tidak berkesudahan.
Ia buka mulut lebar-lebar dan menghembuskan nafas seperti naga, “HAAAAAHHH!!!” Ia tatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Ia akan membersihkan tubuh dan keramas. Dengan begitu mungkin rasa kantuk dan lelah sedikit terobati.
”Akan aku kalahkan kalian semua, penduduk kampung Tangga Teparo,” tekad Gio percaya diri seraya menatap wajah sendiri. Tersenyum sarkastis melihat bagaimana hidup bisa jadi begitu dilematis. Miris. Cukup sadis.
Clup. Ia masukkan ujung jempol ke air yang memiliki suhu cukup tinggi. Ia merasa sakit dari sensasi tubuh yang terbakar mampu membuat kesadarannya lebih lama terjaga. Belum lagi tampaknya kopi hitam (plus creamer) yang ia tenggak barusan mulai menunjukkan efek pada tubuh. Ia merasa jauh lebih “segar”.
Gio sangat percaya diri bisa menaklukkan malam ini di luar kampung terkutuk, sialan, menyebalkan, b******n, dan teman-temannya itu.
Blub. Sekujur tubuhnya tiba-tiba kehilangan tenaga untuk tetap mempertahankan posisi duduk. Alhasil mulai dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. Kini berada di bawah permukaan air yang menggenang di dalam bathtub.
Aku tidak bisa bergerak. Blllb blllb blllb. Mataku tidak bisa dipejamkan. Blllb blllb blllb. Panas! Panas! Panas! Blllb blllb blllb blllb blllb blllb blllb.Tolong aku! Tolong aku! Tolong aku! Kcpyak kcpyak kcpyak kcpyak kcpyak kcpyak kcpyak. Aku mohon… aku belum… mau mati… TOLONG AKU!!!
Permukaan air panas yang masih menghasilkan uap yang tadi datar juga tenang kini bergejolak tidak karuan. Kcpyak kcpyak kcpyak. Gio menyaksikan sesuatu yang sangat gelap. Berada di dasar bathtub berwarna putih. Berusaha mencengkram sekujur tubuhnya. Menihilkan segala usaha pemberontakan. Menghembuskan bisikan-bisikan penuh kesedihan.
Jangan pernah tinggalkan… Giorsal!
Syuush… wuuush… syuush… wuuush… Terdengar suara laju angin yang menentramkan perasaan. Dibarengi pemandangan persawahan di kiri dan kanan pandangan. Memberi lebih banyak ketenangan.
Seharusnya.
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
”Rumahnya di mana, Mas?” tanya sebuah suara yang terdengar familiar di telinganya. Pertanyaan yang sudah beberapa kali terulang hari ini.
Lagi-lagi… Lagi-lagi… Lagi-lagi Gio ”terjebak” dalam ”kunkungan” repetisi tak bertepi ini. Entah siapa yang melakukannya. Entah apakah ini masih dunia nyata atau tidak. Yang jelas dengan ingatan yang masih ”linier”. Ia mengingat dengan jelas bagaimana beberapa ”detik” lalu ia masih ada di dalam bathtub dalam keadaan telanjang bulat. Dengan percaya diri mencari cara untuk lepas dari ikatan tak terlihat.
Namun, di sinilah ia kembali berada. Di belakang seorang pemuda dengan pin identitas menunjukkan nama Gesang. Mirip seperti nama maestro, pemusik, penyanyi, dan penulis lagu keroncong legendaris Bengawan Solo, Gesang Martohartono.
”Maaf, Mas?” tanya Gesang lagi menoleh sedikit ke arah Gio. Saat itu ia saksikan bagaimana pemuda di belakangnya tengah meneteskan air mata. Sedikit rasa panik mulai mengguncang jiwa. Aduh, jangan-jangan dia sedang menahan rasa sakit, batinnya selogis mungkin. ”Masnya mau ke rumah sakit saja apa bagaimana?” tawarnya.
Gio menghapus jejak tetesan air mata di tebing pipi dengan punggung tangan. Kesalahan besar jika mereka berpikir ia akan menyerah hanya dengan dua kali percobaan dan dua kali kegagalan. Bahkan jika ia harus mengulang usaha ini selama ribuan tahun. Gio tidak ada pikiran untuk memadamkan keinginan.
Dengan suara lirih di punggung sisi bawah ketiak ia menjawab, ”Iya, Mas. Bawa saya ke rumah sakit.”
Jika di tempat ramai. Kita lihat saja hal apa lagi yang bisa mereka lakukan. Untuk menyeretnya kembali ke pengulangan yang seolah tak bertepian.
Sialan.
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Beberapa ”saat” kemudian. Di sinilah Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. berada. Bersama dengan Gesang. Si waiter baik hati yang sudah ”berulang kali” memberi ia tumpangan untuk pulang. Namun, keegoisan ”seseorang” malah berakhir membuat mereka berdua terus berada dalam pengulangan siklus kejadian yang sama.
Dan itu melelahkan. Bahkan untuk Gio yang membuat keputusan. Sok percaya diri bisa mengulang siklus itu walau sampai ratusan kali. Padahal ingatan dan laju waktunya… barangkali tetap sama dengan manusia lain di sekitar sana.
Satu orang yang keputusannya mengacaukan semesta para manusia di sekitarnya.
”Mas, Mas, Mas,” panggil Gesang terdengar ngos-ngosan di depan.
“Ada apa, Mas Gesang?” tanya Gio “tenang”.
“Boleh kita menepi dulu di warung es kelapa itu? Entah kenapa hari ini saya merasa lelah sekali. Seperti habis non stop naik motor dari Rangkasbitung sampai Bali,” izin Gesang. Benar-benar terlihat kelelahan. Yang mana ia sendiri pun bertanya-tanya mengapa bisa sampai seperti itu.
Padahal yang ”seharusnya” mengalami pengulangan sial ini hanya aku. Tapi, entah bagaimana ternyata orang lain pun terkena efeknya. Rangkasbitung sampai Bali itu jaraknya sekitar seribu dua ratus tujuh puluh dua kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua puluh hari dua puluh tujuh menit.
Bisa jadi memang sudah selama itu juga aku berusaha kabur dari ketetapan yang pria itu katakan. Selama lebih dari dua puluh hari aku terus mengulang waktu hanya agar bisa paling tidak satu malam saja menghabiskan waktu di luar kampung Tangga Teparo. Dan lebih dari seribu kilometer yang sudah Mas Gesang lalui untuk mengantarkanku ke berbagai tempat. Yang pada akhirnya tetap membawa kembali ke…
Aku tidak ingin menyebut nama kampung sial itu bahkan walau hanya di dalam hati.
Gio menjawab, ”Tentu saja, Mas. Akan saya traktir. Mas boleh pesan sebanyak apa pun,” ia memberitahu setelah mereka turun.
Dengan halus Gesang menjawab, “Tidak perlu repot-repot. Saya juga harus segera kembali ke kafe. Setelah ini kita baru lanjut ke rumah Masnya, ya,” ia menolak halus.