25: Repetisi Tanpa Tepi [D]

1313 Kata
Mereka berdua pun mendaratkan b****g di tempat duduk panjang yang terbuat dari bambu. Memesan dua gelas es kelapa murni tanpa pemanis tanpa es. Gesang menenggak minuman itu tanpa memakan banyak waktu. Karena sepertinya Gesang ingin buru-buru. Gio meminta air kelapanya dibungkus saja. “Katanya Mas Gesang capek. Apa tidak mau beristirahat lebih lama? Akan saya belikan juga  oleh-oleh untuk orang kafe agar Mas Gesang tidak terlalu diomeli sesampainya nanti,” tawar Gio. Gesang pun dengan senang hati menerima. Ia daratkan lagi bokongnya di tempat duduk bambu sembari menunggu abang-abang es kelapa meracik semua pesanan mereka. Setelah melalui beberapa pertimbangan. Akhirnya Gio memutuskan untuk mengatakan saja di mana rumah sewaannya berada. Jikapun setelah itu Gesang memilih untuk memberi respon serupa dengan orang-orang lain yang telah ia lihat selama ini. Tidak mengapa. ”Mas Gesang, sebenarnya rumah saya itu di…” ”Waduh, hari sudah semakin gelap,” potong Gesang pada ucapan pemuda di sampingnya, ”Abang air kelapanya juga sudah selesai. Kita bergegas saja yuk, Mas. Biasanya kafe akan ramai lagi kalau sudah jam tujuh malam ke atas,” ajaknya seraya mendirikan tubuh. Wajah yang tadi tampak lelah sudah terlihat jauh lebih bugar. Padahal istirahatnya juga hanya sebentar. Mau tidak mau Gio pun turut mendirikan tubuh dan mengikuti langkah pemuda itu kembali naik ke atas kendaraan. Melanjutkan perjalanan. ”Rumah sampeyan di mana, Mas?” tanya Gesang (lagi). Keputusannya sudah bulat. Walau berarti “menyerah” memperjuangkan ”kebebasan”. Gio mendekatkan bibirnya ke daun telinga Gesang. Menjawab, ”Kampung Tangga Teparo, Mas,” beritahunya. Khawatir pada respon apa yang akan diberi. Tapi, sudah tidak ada jalan lain lagi. “Ohh, di sana, ya. Untung saja satu arah. Tinggal mengikuti jalan besar ini kita sudah sampai di kampungnya. Cukup jauh juga ternyata ya tempat tinggal Masnya dari Duisternis Cafe,” respon Gesang. Biasa saja. Tidak ada keterkejutan atau sifat canggung. Tidak seperti kebanyakan orang lain selama ini. Yang mana hal itu malah membuat Gio merasa canggung. Glek. Ia tidak ingin berpikiran buruk. Tapi, semua hal mungkin saja terjadi. Deg… deg… deg…! Detak jantung yang berdetak ”kencang” berkali-kali. Terasa sayup-sayup di ”telinganya” sendiri. Ia harus terus mempertahankan akal sehat. Pendirian. Moralitas manusia. Dari begitu banyak pengulangan yang sudah ia lakukan untuk berusaha keluar dari ketetapan yang pria itu katakan. Tidak satu kali pun Gesang menunjukkan gestur atau gerakan mencurigakan. Seharusnya tidak apa-apa, ’kan? Seharusnya ini bukan masalah, ’kan? Bukankah seharusnya malah baik jika ternyata masih ada orang di luar sana yang tidak memberi respon aneh setelah mendengar nama kampung itu? SEHARUSNYA SEMUA MALAH BAIK-BAIK SAJA, ’KAN???!!! Suara teriakan dari dalam hati. Bagai kekuatan kegelapan yang mencengkram kebaikan. Hanya karena paranoid tinggal di kampung aneh di mana semua hal tidak biasa mungkin saja terjadi. Gio jadi menaruh prasangka pada semua orang yang bahkan tidak ada hubungannya. Bahkan bisa jadi prasangkaku sendiri lah yang menarik kejadian aneh waktu itu di rumah orang tua Susi, batinnya lagi, semua adalah kesalahanku sendiri. Kesalahan karena tidak mendengar larangan Papa. Tapi, kalaupun tidak aku ambil jalan nekat ini. Apakah hal yang lebih baik akan terjadi? Fifty-fifty. Motor Gesang sampai di gapura yang menyambut perjalanan mereka menyusuri jalan masuk utama kampung Tangga Teparo. Ahh, ”tanpa” terasa tau-tau aku sudah kembali saja ke kampung tanah j*****m ini, batin Gio waspada. Ia lihat ke sekeliling. Para warga yang berpapasan dengannya tidak memberi tatapan aneh maupun gestur mencurigakan seperti biasa. Apa karena ia datang bersama dengan orang lain? Entahlah, tidak tau juga. ”Kampung Tangga Teparo ini,” ucap Gesang tiba-tiba. Membuka percakapan pertama mereka di sana. “terkenal sebagai salah satu kampung dengan penduduk paling makmur di kota, Mas,” lanjutnya. Mendengar itu membuat Gio gelagapan merespon, ”O, O, Oh, seperti itu, ya.” “Iya, Mas. Kalau Mas pergi ke pusat kota itu ada banyak saudagar pribumi yang super sukses asalnya dari kampung ini. Ada yang memiliki toko mas paling besar, rumah makan paling ramai, pabrik yang memproduksi berbagai macam hal, dan masih banyak lagi itu kebanyakan pemiliknya asli kampung Tangga Teparo,” terang Gesang lagi. “…” Ia melanjutkan, “Mas kalau sewa rumah di sini pasti mahal, ya? Rumahnya juga pasti bagus,” komentarnya. Tidak penting, batin Gio. Mulai kesal pada Gesang yang… mungkin hanya coba bersikap ramah. Tapi, ia terlalu banyak bicara. Untuk saat ini Gio kurang berkenan pada sikap semacam itu. ”Oho ho ho ho, maaf, maaf. Sepertinya saya terlalu banyak bicara,” ucap Gesang lagi mulai sadar diri. Gio tidak peduli pada permohonan maaf pemuda di depannya. Ia balik bertanya, “Apa Mas Gesang pernah mendengar rumor tidak baik soal kampung ini?” ”Rumor tidak baik apa maksudnya?” tanya Gesang balik. ”Seperti orang masuk yang tiba-tiba menghilang. Orang mati misterius. Perilaku aneh para warganya. Atau rumor-rumor mengerikan semacam itu,” jawab Gio serius. Hmpf. Gesang menutup mulut dengan punggung tangan. Berusaha menahan tawa. ”Maaf nih Mas, ya. Mungkin Mas butuh refreshing. Liburan dengan teman atau jalan ke mana begitu,” sarannya. Mana bisa aku liburan kalau menginap di hotel satu malam saja susahnya minta ampun, batin Gio. Ia merespon, “Jangan anggap saya sedang sakit jiwa, Mas! Saya ini serius.” Gesang membalas santai, “Saya  juga serius, Mas. Seribu satu kali lebih serius dari Mas. Kampung ini tidak ada bedanya dengan kampung lain yang ada di Indonesia. Bicaralah seperti itu pada siapa pun juga. Anda akan mendapat respon serupa. Percaya pada saya. ”Yang sedang kurang sehat itu Anda. Tidak ada yang salah dengan tempat ini.” Begitukah…? Apa memang seperti itu? Gio hanya bisa berakhir mencengkram dahinya sendiri. Jangan-jangan ucapan Gesang memang benar. Hal ”spektakuler” yang terjadi di rumah Gio Sr. tepat setelah ia meminta izin agar dibiarkan tinggal di luar rumah. bisa jadi adalah muasal dari semua hal (yang ia kira) mengerikan ini. Padahal kenyataannya tidak ada yang terjadi. Benar sekali. Paranoid adalah faktor utama penyebab ia mengalami semua hal tidak masuk akal itu. Pasti begitu. Dan sampailah motor Gesang bersama dua orang penumpangnya. Di depan rumah sewaan Gio yang tampak paling sederhana. Jika dibanding beberapa rumah lain di sekitar sana. ”Sekali lagi terima kasih banyak atas pertolongan Anda, Mas Gesang. Saya jadi bisa sampai rumah dengan selamat ’tanpa’ masalah,” ucap Gio sebelum membuka kunci pagar. Gesang tersenyum lebar. Menjawab, ”Saya juga senang sekali bisa mengantar Anda sampai rumah dengan selamat sentausa. Sebelumnya terima kasih juga lho untuk air kelapanya. Anak-anak di kafe pasti senang.” Gio tersenyum hambar. ”…” ”Kalau begitu saya undur diri dulu ya, Mas… Mas siapa?” tanya Gesang pada akhirnya. Merasa tidak sopan harus mengakhiri pertemuan tanpa mengetahui identitas pemuda itu. ”Panggil saja saya Gio, Mas. Kalau begitu hati-hati. Kapan-kapan kalau lewat dekat sini mampir saja,” tawarnya ramah. “Oh, niscaya nanti kapan-kapan kalau lengang. Mas Gio juga jangan bosan untuk nongkrong dan makan di Duisternis Café. Kami pasti akan kembali menyambut Anda dengan baik dan semoga kejadian barusan tidak terulang di masa depan,” balas Gesang. Tersenyum ramah. Dan berpisahlah dua orang pemuda itu. Gio membuka kunci gerbang sambil membatin, barusan Anda bilang? Saya bahkan nyaris lupa pada kejadian di kafe saking panjangnya ”repetisi” yang telah saya lalui. Sementara Gesang menyusuri kembali jalan yang ia ambil saat masuk tadi. ”GESANG!” panggil seorang ibu-ibu berpakaian daster Batik Kencana Ungu. Gesang pun memberhentikan motornya tepat di hadapan wanita itu. Menyalimi tangannya dan berkata, “Sudah lama tidak jumpa, Bu.” ”Tumben kamu berkunjung ke kampung ini. Ada keperluan apa?” tanya ibu-ibu itu. ”Yahh, barusan mengantar seseorang yang tinggal di sini. Itu saja. tidak ada keperluan lain lagi,” jawab Gesang ramah. ”Apa kamu… sudah tau soal dia?” tanya wanita itu lagi. Gesang tak langsung menjawab. Melihat ke arah lain untuk sejenak. Memegang dagu dengan jari telunjuk dan berkata, ”Masalah itu, sih…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN