26: Apa Kamu Berani? [A]

1083 Kata
Keesokan harinya di kampus yang memiliki nama cukup eksenstrik serta unik: The Mockingbird University atau Universitas Burung Pengejek. Seperti menyimpan seribu satu makna filosofi. Setelah pertemuan terakhir mereka kemarin. Susi jadi berpikir bahwa keadaan Gio sahabatnya sudah jadi jauh lebih baik. Namun, nyatanya yang terjadi… apa ini? Penampilan anak itu malah semakin terlihat tak ubahnya seorang zombie. Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ “HWA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!!” tawa Susi puas usai hanya berduaan dengan Gio di tempat sepi. Perutnya yang six pack auto berkedut-kedut saking tidak kuat menahan rasa geli. Seolah tengah ada ribuan cacing asyik menari-nari diiringi musik upbeat. Hmp. Gio yang awalnya suram pun begitu mendengar tawa sahabatnya yang sangat mood jadi ingin ikut tertawa saja. Sejenak melupakan pengalaman tidak enak yang baru saja dialami. “Sumpah, sumpah, sumpah demi Tuhan, hh-HA HA HA…” Susi berusaha mengatakan sesuatu. Tapi, terus saja terhalang tawa yang tidak kunjung usai. ”Parah sekali ya Anda ini, Pak Susi. Sahabat sendiri sedang tertimpa musibah malah ditertawai, MPH!” ucap Gio. Ia pun berusaha menahan tawa. Walau ia sendiri tidak tau apa yang sedang pemuda di depannya tertawakan. Melihat dia tertawa saja sudah terasa menyenangkan. “Habis, habis, habis mukamu JELEK BANGET! BWA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!!” hinanya puas seraya tertawa panjang menuding-nuding wajah Gio dengan telunjuk. Dalam hati, ke mana tampang tampan si mahasiswa misterius hobi dimanfaatkan Giorsal Maha Saputra bla bla bla siapalah itu Dhika? Yang ada di hadapannya kini adalah wajah Gio yang seperti habis disengat seribu lebah. Tidak, tidak sampai bonyok dan bentol di mana-mana juga, sih. Hanya saja wajahnya jadi sangat kusam seperti orang kurang iman. ”Sus, Sus, Sus!” panggil Gio gemas karena Susi jadi sulit dikendalikan seperti ini. Seperti beruang kutub yang dosis obat penenangnya habis. Susi menghapus setitik air mata geli di ujung mata. Bertanya, ”Habis kamu menghibur banget. Habis ngapain, sih?” Gio menundukkan wajah. Berusaha berpikir bagaimana cara membuat Susi jauh lebih serius. Saat mendengar cerita soal masalah yang sedang ia hadapi. Hmm hmm hmm. Karena hanya ia teman di perantauan yang pernah “mengalami” hal aneh serupa. Sampai detik itu pun Gio masih yakin. Apa yang mamanya Susi ”saksikan” saat itu berhubungan. Dengan kengerian yang tengah menaungi hari-hari di kampung Tangga Teparo. Pasti. “Mukamu sekarang lagi gak cocok dipasangi raut serius sok ganteng macam Jefri Nichol begitu, Gi,” cemooh Susi enteng. ”Sudah, kembalikan saja wajahmu ke raut tadi!” perintahnya seraya mencubit dua pipi Gio. Pats! Langsung ditampik kedua tangan Susi. ”Lepas, ah! Aku tidak sudi ya wajahku dipegang-pegang oleh perjaka sepertimu,” balas Gio. Jleb. ”Oke,” ratap Susi nestapa. ”Bolos, yuk,” ajak Gio. Susi yang selama ini mengenal Gio sebagai sosok mahasiswa yang bukan hanya good looking. Tapi, juga tampan, tajir, juga rajin serta budiman. Tiba-tiba mengajak bolos seperti teman-teman anak tidak benarnya yang lain… Tentu saja ia akan sangat setuju. ”GASS!” Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ Sampailah kedua pemuda itu di salah satu mall kelas atas yang terdapat di pusat kota tetangga. Entah apa yang membuat Gio sampai niat sekali membawanya ke kota lain. Walau sepanjang perjalanan pemuda itu sama sekali tak mengutarakan apa yang sebenarnya sedang ia rasakan. Susi biasa saja dengan semua itu. Ia tau tidak semudah perempuan. Untuk seorang lelaki mentransformasikan perasaan menjadi deretan kata. Gio pasti sedang menyiapkan rangkaian katanya dengan baik. Sesuatu yang mungkin berhubungan dengan apa yang Mama ”saksikan” malam itu. Mencuat keluar dari tubuhnya, batin Susi saat itu. Santai saja melihat pemandangan kota dari jendela kereta. Gio mengajak Susi makan di sebuah restoran makanan cepat saji yang cukup terkenal. Alasan yang membuat tempat itu dipilih sendiri karena sedang sepi. “Jadi, apa yang membuat penampilanmu jadi kacau balau begitu?” tanya Susi setelah makanan, minuman, dan cemilan tersaji di hadapan mereka. “Aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi di rumah sewaanku itu, Sus,” ucap Gio. Membuka kegundahan hati. Jari-jari saling tertaut di atas meja. Bergerak-gerak tidak karuan. ”Tinggal pindah,” sahut Susi enteng sambil mengunyak beberapa potong kentang goreng. Ck. “Kalau bisa semudah itu tidak akan sampai membuat aku jadi kebingungan seperti ini, bodoh!” balas Gio. “Ya, terus susahnya apa?” tanya Susi. Lagi-lagi. Enteng sekali. Keraguan untuk menceritakan hal ”tidak masuk akal” yang sedang ia alami pun kembali muncul. Apakah memang harus diceritakan? Apakah Susi akan percaya? Bagaimana jika ia sampai dikira orang kurang waras? Bagaimana cara mengatakan sesuatu yang bahkan… akal sehatnya sendiri masih meragukan? ”Kelihatannya kamu kelelahan, Gi. Sudah coba pergi ke rumah sakit jiwa?” tanya Susi prihatin (masih separuh bercanda). “Kamu… Kamu mengucapkan hal yang sama dengan Mas Gesang kemarin,” ucap Gio. Berpangku tangan di atas meja. Tanpa sedikit pun menyentuh makanannya. ”Siapa lagi itu?” tanya Susi ”tidak peduli”. Ia gelengkan kepala pelan. ”Saat ini aku sama sekali tidak sedang sakit, Sus. Aku ini sangat waras. Sangat sehat. Segar bugar seperti semua orang di pusat perbelanjaan ini. Yang aku alami itu nyata,” ucap Gio sembari menekan d**a. Susi mendekatkan wajahnya, ”Kamu sedang tidak sehat, Gi. Orang IQ jongkok juga tau kamu sedang kurang fit. Memang apa juga sih yang sudah kamu alami sampai jadi seperti ini?” ”Ada yang salah… Ada yang tidak normal dengan kampung tempat rumah sewaanku berada,” jawab Gio. Memulai kisahnya tentang betapa horor kampung Tangga Teparo sebenarnya. ”Tidak normal bagaimana, sih?” tanya Susi dengan tatapan merendahkan. Ia melanjutkan, ”Kota ini dan beberapa kampung yang ada di dalamnya itu sudah cukup modern, Gi. Walau ada dataran tinggi dan masih banyak persawahan juga ladang. Bukan semacam desa horor terpencil seperti yang ada di film Perempuan Tanah j*****m. Tidak ada yang semacam itu di sekitar sini, bro. Believe me!” “Kamu… Kamu harus mendengar ceritaku dengan serius, Sus,” ucap Gio mendekatkan tubuh di atas meja. Ia tak mau suara yang terlalu kencang sampai terdengar orang lain yang tidak berkepentingan, “Ini hal yang aku alami tadi malam… setelah melewati banyak hal hanya agar bisa beristirahat dengan tenang. Yang mana pada akhirnya pun tidak bisa aku dapatkan.” Wajah Gio yang sangat pucat. Bibir dan jemari gemetar hebat. Pandangan mata tidak fokus entah tengah ke mana ia menatap. Semua ciri paranoia yang ada pada diri pemuda itu… Haruskah membuat aku begitu saja percaya? Susi mengangkat wajah seraya memegang dagunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN