Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Semua problematika hari yang sungguh ”panjang” itu Gio harap sudah usai ketika ia sampai di rumah sewaan. Melihat punggung Mas Gesang yang paik hati. Beranjak pergi dengan motor bebek usangnya. Benar-benar membawa ”kedamaian”.
Seperti… akhirnya aku bisa sampai di rumah juga. Sekalipun rumah itu adalah tempat yang sudah ia hindari sampai memakan waktu lebih dari sekitar tiga minggu.
”Tidak masalah, tidak masalah, tidak masalah. Aku hanya ingin segera beristirahat agar bisa memulai hari yang lebih baik esok hari,” usahanya memberi afirmasi positif pada diri sendiri. Lagi dan lagi. Terus seperti itu. Hanya pikiran baik yang bisa membuat seorang ”junior” dari Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika terus bertahan.
Namun, mengharapkan bahkan hanya sedikit saja kedamaian. Rasanya merupakan suatu mimpi yang terlalu muluk serta berlebihan. Di kampung yang apa saja bisa terjadi itu.
Tok tok tok.
Saat Gio sedang membuka pakaian atas di dalam kamar. Tiba-tiba ia mendengar suara ketukan di pintu depan. Tak sempat berpikir panjang ia segera kembali ke ruang tamu. Namun, sebuah ingatan mengusik perasaan.
”Bukankah pintu pagarnya sudah aku kunci?” tanyanya pada diri sendiri. Tubuh yang tadi sudah lebih ”segar” karena mengingat masih ada orang sebaik Gesang di situasi dan tempat seburuk itu. Seketika kembali hancur berhamburan semua.
Tok tok tok.
Suara itu terdengar lagi. Singkat cerita Gio sudah dapat sinyal bahwa ia tidak boleh beri respon yang si “pengetuk” inginkan. Lebih baik ia mengendap-endap kembali ke kamar dan bersikap seolah tak ada yang terjadi. Sebelum hal lebih buruk sungguhan terjadi.
Tok tok tok.
”Hah!”
Langkah Gio terhenti di tempat. Kala ia kembali mendengar suara ketukan pintu. Tidak masalah jika ketukan pintu depan yang sudah ia putuskan untuk abaikan. Tapi, kali ini suara itu terdengar dari dalam kamarnya sendiri!
”Aku mohon… Aku mohon… Aku mohon…” pintanya dengan sekujur tubuh gemetar hebat. Sedikit demi sedikit berusaha menjauh dari pintu kamar sendiri.
Tapi…
Tok tok tok.
Lagi-lagi gerak tubuhnya diberhentikan oleh suara ketukan di pintu ruang tamu. Ia menekuk lutut di pojok ruangan. Dengan kedua tangan ”mendekap” kepala. Berusaha ”membiasakan” diri dengan situasi ini.
Namun, entah siapa… atau apa makhluk yang membuat Gio harus mengalami itu semua. Tidak membiarkan pemuda itu mendapatkan apa yang ia inginkan.
Tok tok tok.
Suara ketukan terdengar tipis dari jendela kamar.
Tok tok tok.
Suara ketukan terdengar dari balik pintu kamar mandi.
TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK!!!
“HYAAAAKKHHH!!!”
Seorang pemuda yang telah tertekan sepanjang hidupnya. Jadi mudah terusik oleh pancingan “sederhana”. Ia hanya ingin membuka semua pintu dan membiarkan siapa pun pelakunya masuk ke dalam rumah. Jika memang itu yang mereka semua inginkan.
JGREK! Ia buka pintu kamar. JGREK! Ia buka pintu ruang tamu. JGREK! Ia buka pintu kamar mandi. JGREK! Ia buka pintu menuju dapur sekaligus ruang kecil tanpa atap di belakang.
“A… A… A, Aaa-akkh… To, To, Tolo… oong… AAAKKH! AAAKKH! AAAKKH!”
Gio. Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. Seorang pemuda yang hampir menginjak usia kepala dua. Merasa percaya diri untuk pergi meninggalkan rumah sang papa. Karena luka yang tertoreh sejak lama.
Namun, kini ia dihadapkan pada kegelapan yang nyaris serupa. Bahkan jauh lebih dalam. Jauh lebih mampu memegang kendali.
Kegelapan tak berwujud masuk dari semua celah yang ia biarkan terbuka lebar. Celah pintu yang terbuka. Jendela yang terbuka. Bahkan celah-celah kecil yang tercipta dari susunan genteng. Semua menjadi jalan masuk akan sesuatu yang besar. Sesuatu yang tidak ia ketahui apa maupun dari mana muasalnya.
Bruukh. Tubuh Gio yang sudah jauh lebih kurus timbang beberapa bulan lalu. Saat ia masih hidup dengan “baik” di kediaman utama Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Terjerembab “tanpa” alasan ke permukaan lantai. Ia telah berusaha keras melawan kekuatan jah*t itu dengan keyakinan dari dalam diri. Akan tetapi, menyaksikan bagaimana rumah sewaan yang ia perjuangkan nyaris dengan segalanya. Tengah dipenuhi satu… dua… tiga…
“Aku mohon maafkan aku… Aku mohon maafkan aku… Aku mohon maafkan aku…” pohon Gio beruraian air mata. Merasakan bagaimana salah satu kakinya terangkat ke udara. Dan…
DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH! DBUGH!!!!
“HAAAAAAAAARRRGGGH! HAAAAAAAAARRRGGGH! HAAAAAAAAARRRGGGH! HAAAAAAAAARRRGGGH! HAAAAAAAAARRRGGGH! HAAAAAAAAARRRGGGH! HAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRGGGH!!!”
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
“Seperti itulah,” tutup Gio pada cerita mengenai garis besar kejadian yang baru saja ia alami tadi malam. Hal yang membuat ia benar-benar berpikir… mungkin harus segera menemukan akhir untuk itu semua. Atau yang ada situasi hanya akan berkembang jadi semakin gila. Tidak bisa dikendalikan. Bahkan menyeret menuju sesuatu yang jauh lebih dalam.
Hal yang tak bisa ia bayangkan.
Gio tidak menghendali hal seperti itu sampai terjadi. Karena itulah ia harus mengambil gerakan. Untuk saat ini paling tidak dengan menceritakan pada salah satu kawan yang paling dipercaya. Berhubung ia juga sepertinya…
Plok plok plok. ”Debak, debak, debak,” puji Susi dalam bahasa Korea yang berarti, luar biasa, luar biasa, luar biasa, seraya bertepuk tangan ringan.
Gio yang sekujur tubuhnya masih sangat linu karena hampir satu malam penuh jadi sasaran tunggal kejadian aneh di rumah itu. Membuang muka dengan wajah kecewa.
Susi berkata, ”Cerita yang bagus. Coba tawarkan naskahnya sama anak seni, teater, atau perfilman. Mungkin ada salah satu dari mereka yang bersedia mewujudkan imajinasi kamu dalam bentuk visual,” saran pemuda itu santai. Sama sekali tidak menganggap serius cerita yang membuat Gio sampai paranoia.
Ck ck ck. Gio hanya bisa beberapa kali berdecak. Ia mulai semakin memahami watak pemuda di depannya. Bahkan jika suatu saat dalam hidup Susi berkesempatan menyaksikan secara langsung istana Nyi Roro Kidul di laut selatan. Sepertinya ia tetap tak akan bisa percaya pada bahwa sosok tersebut itu sungguhan ada. Sungguh nyata tidak peduli betapa panjang sejarah cerita dan hubungannya dengan banyak tokoh besar di Indonesia.
Sama seperti saat ini. Bahkan setelah Susi melihat sang mama sendiri bersikap tidak normal ketika melihat keberadaanku. Ia tetap tidak bisa percaya pada apa yang baru saja aku alami.
Semua benar-benar dilema. Mana untuk saat ini aku tidak ada teman dekat yang bisa diandalkan dan jadi tempat berbagi selain dia lagi.
What a drag! Menyusahkan sekali, sih!