Tiba-tiba terbayang lagi wajah sang papa. Sesosok pria rupawan yang gestur wajah nyaris yang mana semua keindahannya seperti sukses ia wariskan pada sang putra tunggal. Putra yang mewarisi nama nyaris serupa dengan dirinya dikarenakan tradisi keluarga yang begitu kental serta dijaga selama bergenerasi-generasi lamanya. Pria itu adalah Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Sosok manusia yang besar kemungkinan merupakan kunci utama. Dari semua kejadian yang saat ini tengah menimpa hidup lelaki muda tak berdosa itu.
Ohh, betapa malang ia.
“Kamu benar, bro,” ucap Gio tiba-tiba. Pandangan hampa matanya masih menatap tak jelas ke arah mana. Tapi, paling tidak untuk saat ini ia sudah “tau” keputusan apa yang harus diambil.
“Benar apa? Kamu mau banting setir dari anak teknik jadi anak seni atau bagaimana?” tanya Susi asal bunyi.
Gio mendirikan tubuh. Menjawab, ”Aku harus menyelesaikan semua sendiri. Tidak akan ada guna berharap atau bergantung pada orang lain. Apalagi orang lain yang jelas tidak bisa melakukan apa pun. Lagipula… itu juga sama sekali bukan gayaku.”
”Gi, Gi, Gi!” panggil Susi ”tidak enak”. Kala melihat tubuh sahabatnya semakin menjauh. Di satu sisi ia merasa tidak bisa diandalkan sebagai teman. Tapi, di sisi lain ia juga merasa tidak terlalu ingin diandalkan dalam masalah yang bisa berakhir menjerumuskan ia menuju suatu masalah yang akan sulit diselesaikan. Penyesalan tanpa dasar.
Pada kenyataannya baik ia sendiri maupun semua orang hanya berusaha lari dari kenyataan sendiri.
“GIO!” teriak Susi sampai tenggorokannya serak.
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Masih terekam dengan jelas dalam ingatan. Bagaimana Gisselda Magdalen Tanaya mamanya menangis, merajuk, bercucuran air mata memohon petunjuk di hadapan patung Yesus Sang Juru Selamat yang tertempel di bagian atas ruangan khusus berdoa. Di tengah kepungan kegelapan malam. Hanya ada sedikit cahaya tersirat. Sama sekali tidak menunjukkan dengan jelas apa yang terjadi dalam bilik kecil itu.
Yang bisa Susi dengar hanyalah suara wanita itu yang tengah memohon dengan tersedu-sedan, “Aku mohon, Tuhan… Aku mohon, Tuhan… Aku mohon hanya pada-Mu, Tuhan… Lindungilah kedua putraku dari makhluk mengerikan itu… mengerikan itu… mengerikan yang aku saksikan hidup di dalam bayangan… nya. Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Junior… Jauhkanlah dia dari aku, keluargaku, dan seluruh anak cucu keturunanku…”
Tak bisa menerima lantunan doa mamanya dengan pikiran lurus. Tanpa permisi Susi mendobrak masuk. Mempertanyakan maksud dari harapan, ”Ada apa sih dengan Mama? Punya masalah apa Mama dengan sahabatku? Dan lagi dari mana Mama tau nama lengkap Gio?!” tanyanya keras. Membatin, aku saja tidak hapal nama sepanjang itu. Tak peduli pada posisi Gisselda yang masih bersimpuh di atas karpet dengan wajah basah oleh air mata.
Wanita itu tetap menangis tersedu-sedu. Tak langsung memberi respon pada tudingan juga hujatan sang putra bungsu. Ia gelengkan kepalanya pelan. Menunjukkan keputusasaan. Bertanya-tanya, apakah benar-benar masih ada yang disebut harapan?
Susi merangsek masuk semakin dalam. Ke dalam kepungan kegelapan ruang ibadah yang sempit juga pengap. ”Kenapa Mama diam saja?!!!” tanyanya lagi. Tepat di hadapan wajah pucat Gisselda.
Tangan gemetar wanita itu menyentuh pergelangan tangan sang putra yang tengah memegang kedua pundaknya. Berkata, ”Kamu akan sangat menyesal… Kamu akan sangat menyesal… Kamu akan sangat menyesal jika sampai tidak mendengarkan peringatan Mama, Susilo Dirman Tanaya…”
Glekh. Tatapan kosong wanita itu. Yang menatap tajam seolah ini hari terakhirnya. Menusuk relung hati terdalam Susi. Rasanya ingin patuh, tapi beragam kejanggalan bisa membuat susunan jiwa tak lagi utuh.
Susi melepas tangan sang mama dari tubuhnya. Tak berucap sepatah kata pun. Mendirikan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Kembali menuju masa depannya sendiri. Menghadapi apa pun yang wanita itu saksikan di balik bayangan sahabatnya.
”Kamu tidak akan bisa memahami kegelapan kecuali melihat dari sudut pandang pelaku kegelapan itu sendiri, Susilo Dirman Tanaya,” ucapnya di dalam kamar. Di hadapan cermin yang berada di tengah kepungan cahaya remang-remang.
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
“Jadi, kenapa tiba-tiba kamu jadi bersedia mendengar cerita yang tidak akan kamu percaya?” tanya Gio datar. Kembali ke tempat duduk mereka di rumah makan cepat saji.
”Aku tidak percaya. Dan sepertinya tidak akan pernah percaya,” jawab Susi, “Tapi, ada yang lebih penting dari sebuah kepercayaan.” Yaitu pengalaman nyata, lanjutnya dalam hati.
”Apa?” tanya Gio.
Mungkinkah apa yang kamu alami berhubungan dengan sikap aneh kedua orang tuaku? Apa hubungannya? Kita sama sekali tidak saling mengenal sebelum ini. Susi hanya bisa bertanya dan mengatakan itu dalam hati. ”Kenyataan,” jawabnya lantang. Ia melanjutkan, ”Apa yang kamu ceritakan itu non sense, Gi. Aku bukannya ingin percaya pada cerita yang seperti baru saja keluar dari dalam lembar halaman novel begitu. Hanya saja aku juga tidak ingin tidak percaya.”
Hhh. Gio menyenderkan punggung dan menyilangkan kedua tangan di dad*. ”Kamu ini seperti perempuan ya, Sus. Mbingungi (Membingungkan).” Ia buang muka.
Susi diam saja. Karena ia sendiri memang kesulitan mengungkap apa yang sebenarnya tengah ia rasa. Rasa takut. Perasaan bingung. Logika yang tercampur aduk. Semua dilema yang mengombang-ambingkan kenyataannya. Realita hidup yang sebelumnya biasa saja.
Kenapa semua jadi seperti ini? Apakah benar-benar karena pemuda di dep…
”Sus,” panggil Gio.
”Apa?” respon Susi.
”Apa kamu mau mencoba sendiri? Sensasi bermalam di kampung Tangga Teparo,” tawar Gio pada akhirnya. Jika di awal ia sangat overthingking memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi jika ia ceritakan masalah keanehan kampung itu pada orang dalam kehidupan ”normalnya”. Kini ia tidak lagi memikirkan hal serupa.
Susi… entah kenapa terasa ”cocok” dengan kampung itu.
Tentu saja, ia harap ini tidak akan berkembang menjadi senjata makan tuan.
”Apa kamu itu bukannya sedang homesick (rindu rumah) saja, ya?” tanya Susi balik. Bukannya menjawab ”tantangan” pemuda itu.
Gio mengangkat kedua pundak. Menjawab, ”Bisa jadi. Tapi, bisa jadi juga tidak. Kalau sudah melihat, mendengar, dan merasakan sendiri sensasi satu malam saja berada di perkampungan itu. Dan tidak terjadi apa pun. Aku akan setuju pada asumsi bahwa aku memang sedang kurang sehat saja.
”Akan tetapi, kalau yang terjadi malah sebaliknya… tolong bantu aku memikirkan cara untuk keluar dari semua situasi itu.
”Aku mohon,” jawab Gio. Merendahkan kepala dengan tatapan putus asa.
Glekh. Susi sedikit “tergerak” kala melihat ”kesungguhan” pemuda di hadapannya. Namun, getaran dalam hati yang berkata, jangan! Jangan! Jangan sambut permintaan itu! Kau akan menyesal, Susilo! Seperti ucapan sang mama kembali berputar dalam benaknya.
Dengan tegas ia berusaha menjawab, ”Aku tidak…”