Beberapa hari kemudian. Tepat di akhir minggu saat seluruh kegiatan belajar mengajar di kampus (harusnya) mengambil jeda untuk beberapa sesaat guna beri istirahat bagi para manusia yang otak dan tubuhnya sudah terasa berat.
Susi telah menyetujui tantangan sang sobat untuk ”mencicipi” sendiri sensasi tinggal di kampung tempat rumah sewaannya berada yang ia deskripsikan dengan satu kata, k*****t. Mereka berdua janji bertemu di bundaran air mancur Universitas Burung Pengejek pukul delapan pagi yang cukup sepi. Tidak seperti hari biasa yang penuh dengan pertemuan para manusia yang asyik saling mengumpat.
Gio sendiri cukup ”bersemangat”. Karena sangt sobat bersedia menerima tawarannya. Sudah meninggalkan kampung Tangga Teparo sekitar sejak subuh. Ia ingin berusaha menekan perasaan tidak nyaman. Dengan mengambil jarak sejauh mungkin dari sumber ketidaknyamanan.
Ia, terduduk seorang diri di beton pembatas kolam. Menatap matahari yang semakin tinggi di kejauhan. Walau kegelapan di luar perlahan hilang. Namun, seperti tengah lahir kegelapan lain di dalam diri.
”Jika Susi benar-benar datang dan hari ini berjalan sesuai rencana. Aku bisa menilai situasiku berdasar tolak ukur orang lain. Apakah yang aku alami memang hanya imajinasi? Atau apakah semua itu benar-benar terjadi?” tanyanya seraya menatap kejauhan. Kedua alisnya mengerut serius. Ia pegang dahi dan tundukkan wajah. Berusaha menilai berbagai kemungkinan.
Bagaimana jika semua hal mengerikan yang aku alami ternyata hanya khayalan? Bagaimana jika sebenarnya akulah satu-satunya orang tidak waras dalam cerita “ini”? Bagaimana jika alasan sebenarnya Papa tidak mengizinkan aku keluar dari rumahnya adalah… ini? Tapi, jika memang seperti itu… lantas kenapa pada akhirnya ia biarkan aku pergi?
Bukankah kamu sendiri yang meminta, Giorsal Junior, tanya sebuah suara.
Ya, ya, ya, memang aku yang meminta. Tapi, Tapi, Tapi, jika seperti ini…
Apa kamu menyesal? Bukankah kamu mendengar apa yang Papa peringatkan, tanya sebuah suara. Terdengar persis seperti suara Giorsal Sr. Namun, tanpa rupa.
Kedua mata pemuda itu berkali-kali terpejam dan terbuka sendiri. Sekujur tubuhnya gemetar tak karuan. Untung saja tak ada banyak orang di sekitar sana. Ia tidak mau dikira sedang sakit dan malah mendapat perhatian yang tidak diperlukan.
”Kamu Gio, ’kan?” tanya sebuah suara.
Gio melihat sepasang sepatu VPN berwarna hitam berdiri tepat di depannya. Ia angkat kepala. Melihat si empunya. “B, Bro,” panggilnya lemas.
Pemuda itu duduk di sisi Gio. Ia lepas handuk kecil yang tersampir di salah satu bahu. Melap keringat yang membasahi nyaris seluruh wajah dan leher. Menguarkan aroma tubuh lelaki dewasa yang khas. ”Heh, kamu kenapa? Sedang tidak enak badan, kah? Kenapa malah di sini?” tanyanya sok asyik.
Gio memejamkan kedua kelopak mata sejenak. Menggelengkan kepala seraya menengadahkan kepala. Menjawab, ”Tidak. Aku sedang menunggu Susi. Kau sendiri ngapain di sini? Bukannya sedang mengerjakan sesuatu di luar negeri sehingga tidak bisa masuk?” tanyanya balik.
”Ahh, selesai lebih cepat dari yang aku perkirakan. Jadi, aku bisa kembali dan secara kebetulan bertemu dengan orang tidak punya teman menyedihkan ini saat sedang lari pagi,” jawab pemuda itu santai seraya menaruh lengan di atas pundak Gio akrab.
”Cih!” respon Gio ”kesal”. Langsung menghindar sambil menutup dua lubang hidung dengan satu jari telunjuk. Berkata, ”Badanmu bau! Pakailah serbuk kaporit atau apa gitu!” sarannya.
Pemuda itu mencium sendiri aroma tubuh yang menguar lewat kedua ketiak. Merespon, ”Oh, benar juga, ya. Padahal belum lama aku ada di negara yang tidak ada musim panasnya. Kembali ke negeri tropis begini kelenjar keringatku langsung seenaknya sendiri.”
”Aku tidak peduli,” jawab Gio membuang muka.
”Kau mau ngapain dengan Susi berdua saja tidak mengajak aku? Aku sudah bilang lho ke dia kalau sudah kembali ke Indonesia,” tanya pemuda itu. Ia dengan seenak udelnya mencoel-coel pipi Gio dengan jari telunjuk (yang habis dipakai ngupil), ”Begitu ya Dek Gio ini mau senang-senang tidak mengajak Abang.”
Gio tak mengatakan apa pun. Hanya menyingkirkan tangan pemuda itu yang terlihat ada hitam-hitamnya dan basah.
”Kalian mau pergi ke mana? Aku ikut, ya. Sudah lama tidak jalan-jalan di kota ini. Apa kamu masih sering disuruh mengerjakan tugas anak lain? ” tanya pemuda itu beruntun.
Gio tau salah satu sobatnya itu merupakan tipe laki-laki yang cukup banyak bicara. Sangat ramah. Pintar. Tubuhnya six pack dengan bisep dan trisep bak pahatan Auguste Rodin. Disukai banyak perempuan pula. Biasanya Gio juga akan biasa saja tidak peduli bagaimanapun juga ciri khas anak itu. Tapi, untuk kali ini. Entah kenapa ia merasa sedikit sensitif…
“Ardan, kamu itu berisik sekali, deh,” jawab Gio dengan intonasi kesal.
”Tapi, kangen, ’kan?” balas Ardan dengan pedenya.
”Najis tralala trilili,” balas Gio. “Tidak ada yang lebih aku rindukan saat ini timbang hari-hari damai di masa lalu.”
Ardan langsung merespon, ”JYAAHH! Jadi sok puitis gitu kau. Tidak cocok lah dengan mukamu yang sekarang persis seperti orang kurang gizi begitu,” ledeknya santai. Ia menepuk salah satu bahu Gio, plok. ”Aku mulai lapar, nih. Makan soto daging dulu, yuk. Aku traktir, deh. Biasa, orang kebanyakan duit ingin berbagi sama kaum dhuafa,” tawarnya.
Mendengar kata soto daging. Seketika membuat Gio teringat pada penampakan soto ayam yang waktu itu. Sekujur tubuhnya langsung lemas seketika. ”Hoeekk…”
Ardan melihat Gio melakukan gestur seperti akan muntah langsung meledek lagi, ”Kenapa kau? Lagi berbadan dua apa pakai acara hueek hueek segala? Aha ha ha ha,” tawanya puas. Benar-benar ”tidak” punya hati.
”Sudah kubilang aku sedang menunggu Susi, ’kan? Aku tidak mau tidak ada di sini saat ia datang nanti,” jawab Gio, ”Dan lagi aku tidak punya pikiran untuk mengonsumsi soto jenis apa pun dalam jangka waktu saat ini sampai sekitar sepuluh tahun ke depan.”
Lebay sekali anak ini, batin Ardan geli. ”Kalian janjian jam berapa?” tanyanya seraya mendirikan tubuh.
”Jam delapan,” jawab Gio.
”Percayalah padaku, brp. Kira-kira Susi akan membutuhkan paling tidak dua sampai tiga jam lebih lama untuk sampai,” beritahu Ardan percaya diri.
“Maksudmu apa?” tanya Gio jutek.
“Yah, aku kan sudah kenal sama dia sejak kami masih SMA. Walau beda sekolah juga,” jawab Ardan. Ia bertanya, ”Sudah pernah bertemu dengan kedua orang tuanya belum?”
Glekh. “Sudah,” jawab Gio.
“Pokoknya percayalah padaku sebentar lagi Susi pasti akan mengirim pesan kalau ia akan telat. Dan baru bisa sampai di sini paling cepat jam sepuluh atau jam sebelas. Jangan terlalu banyak berharap deh kalau janjian sama dia. Kita pakai waktunya untuk bermain monopoli juga sampai aku jadi sultan dia pasti belum datang,” beritahu Ardan. Terlihat puas sekali menyebar aib kengaretan sahabat mereka satu itu.
Kkkrrryyyuuukkk kkkrrryyyuuukkk kkkrrryyyuuukkk…
”Waduh,” respon Gio mendengar keroncong tengah asyik bermain di balik kemeja. Saking “semangatnya” datang ke sini. Ia memang belum mengonsumsi apa pun untuk makan pagi.
Ardan tertawa kecil, ”Khe khe khe, sudah, ah. Ada banyak makanan lain kok di pasar kaget pagi dekat sini.”
Gio pun mengangguk setuju. Mendirikan tubuh mengekori langkah Ardan. ”Sebelum kita makan lebih baik kamu mandi dulu deh di comberan. Agar dikira orang gila sekalian biar diciduk Satpol PP dimasukkan ke RSJ,” sarannya. ”Berfaedah” sekali.
”AHA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!!” tawa Ardan puas sampai tidak selesai-selesai.
Kedua pemuda setengah matang itu pun melangkah "riang" menuju toilet umum dekat sana.