Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Di kediaman pasangan suami istri Sudirman Tanaya, Gisselda Magdalen Tanaya, juga putra bungsu mereka, Susilo Dirman Tanaya. Sejak pagi buta sepasang pasutri itu sudah sibuk bersiap-siap untuk melakukan sebuah perjalanan.
Karena keduanya sepakat tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga untuk memupuk jiwa kemandirian tiap anggota keluarga. Alhasil mereka harus menyiapkan rumah yang cukup besar itu untuk ditinggal tanpa penghuni selama beberapa hari ke depan.
Susi yang baru bangun sekitar pukul tujuh pagi sedikit bingung saat melihat kedua orang tuanya tampak sudah rapi. Dan sibuk melakukan berbagai macam hal. Mulai dari mematikan gas. Merapikan pajangan. Membersihkan banyak hal mulai dari lantai bagian dalam rumah santai rumput dan tanaman di luar.
Dengan hati gembira ia membatin, sepertinya mereka akan pergi ke suatu tempat. Bagus deh kalau begitu. Aku jadi tidak perlu banyak meminta izin untuk menemui Gio di kampus. Ia lihat ke arah jam dinding. Masih jam segini. Dia pasti belum datang, ‘kan? Ya sudah kalau begitu. Aku tunggu saja mereka pergi dulu. ”HOOOAAAHHM!!!” ia asyik menguap manja
”Susilo Tanaya!” panggil sang mama dengan nada suara tegas dan berwibawa.
Susi yang berlagak tidak langsung peduli tetap berjalan menaiki tangga. Ia tidak ingin paginya dirusak oleh perdebatan tidak penting yang tak akan pernah menemui ending.
”SUSILO DIRMAN TANAYA, kalau dipanggil sama orang tua itu cepat menyahut! Mau dikutuk jadi batu kamu? Dasar ya kamu ini. Disekolahkan mahal-mahal, tapi tidak punya adab,” ganti sang papa yang mencak-mencak tidak karuan.
Akhirnya pemuda itu memaksakan diri kembali menarik kaki. Menghampiri sepasang suami istri. Yang telah memberi ia hidup sampai detik ini. “Ada apa sih pakai memanggil aku segala? Aku masih sangat ngantuk, nih. Mau tidur lagi,” tanya Susi dengan raut wajah bad mood.
“Cepat masuk mobil!” perintah sang mama.
”Hah?” respon Susi. Sangat kaget. Bahkan tak punya kesempatan mencerna perintah itu.
Sudirman segera mendorong punggung putra bungsunya menuju pintu depan. “Sudah, jangan banyak tanya! Cepat masuk mobil! Kita bisa terlambat kalau tidak cepat,” perintahnya.
Pemuda itu tentu saja menolak dan kembali melangkah masuk. Kedua orang tuanya ini… lama-lama memang terasa semakin aneh saja. “Papa dan Mama itu sebenarnya kenapa? Orang anak baru saja bangun. Mandi saja belum. Apalagi siap berpergian. Sudah disuruh masuk mobil entah mau ke mana.”
”Susi, cepat masuk ke mobil!” ulang sang papa datar.
”Tidak mau,” respon Susi cepat.
”Susilo, kita itu harus segera pergi ke rapat semester keluarga Tanaya di hotel The Deil Veil,” beritahu sang mama. Gemas sendiri pada tingkah si putra bungsu.
”Ya kalau memang mau rapat semesteran keluarga beritahu aku lebih awal, dong. Lagipula sekarang aku sudah bukan anak jenjang pendidikan dasar lagi. Sudah kuliah masa masih disuruh ikut acara seperti itu, sih?” tanya Susi emosi. Menunjukkan pertahanan diri.
”Kamu tidak ingat apa para sepupu kamu? Sejak dulu walau sudah kuliah atau bahkan menikah mereka tetap turut serta, ’kan? Itu karena rapat-rapat ini memang memiliki tujuan untuk membentuk generasi muda Tanaya yang paling baik,” terang Sudirman.
Aaarrgghh, peduli setan aku dengan masa depan keluarga Tanaya. “Kalau tujuan diadakan rapat memang itu seharusnya yang ikut Mas, dong,” balas Susi. Tetap berkeras.
Gisselda berusaha memberi jawaban, ”Susi, kamu tau sendiri kan kalau Mas kamu itu…”
”TERUS kenapa bukan Mas yang kalian minta tetap tinggal di rumah ini? Kenapa semua beban harus diserahkan di pundakku? Kenapa aku yang selalu tidak boleh pergi ke mana pun? Kenapa selalu aku yang dilarang untuk mengikuti kegiatan ini dan itu? Kenapa sejak dulu hanya aku ya yang rasanya selalu mendapat perlakuan tidak adil?” tanya Susi beruntun. ”Membungkam” mulut kedua orang tuanya.
”Susi… kamu itu tidak paham,” usaha sang papa menjelaskan.
”Apa yang tidak aku pahami, Pa? Ma? Sekarang kurang dari satu jam ke depan aku sudah ada janji depan temanku di kampus…”
”Dengan siapa?” tanya sang mama cepat. Sebelum putranya menuntaskan kalimat.
”Aaaarrggh!” erang Susi kesal. Ia yang tadi masih sedikit ngantuk. Auto ”segar bugar” saat dihadapapkan dengan masalah seperti ini. Masalah yang sudah berulang kali terjadi. Masalah yang tidak pernah ”mereka” temukan penyelesaiannya. ”Mama dan Papa bahkan belum pernah satu kali pun menanyakan hal semacam itu pada Mas. Kalian selalu membiarkan ia pergi ke mana pun ia suka. Berteman dengan siapa pun ia inginkan. Juga sebagainya yang tak pernah kalian beri padaku. Sebenarnya apa sih alasannya?!”
”Kamu akan menyesal kalau tidak mematuhi keinginan kami, Susilo,” ucap sang papa.
Sang mama turut berkata, ”Kamu akan menyesal kalau tidak mematuhi keinginan kami, Susilo.”
Wuuush. Hawa dingin entah dari mana seperti baru saja lewat dan membelai tengkuk Susi. Membuat bulu kuduknya berdiri tegak. Lagi-lagi, lagi-lagi seperti ini… aku kesulitan menentang apa yang mereka perintahkan.
”Jadi, kamu harus segera masuk sebelum kita semua terlambat. Kita harus cepat sebelum perjalanan ke hotel The Deil Veil macet padat merayap. Ini akhir minggu, lho,” peringat Gisselda.
”Aku akan pergi bersama kalian,” putus Susi pada akhirnya. ”Hanya saja…”
”Ada apa lagi, sih?” tanya sang papa. Sedikit kesal sambil melongok ke arah jam tangan Richard Mille RM 56-02 Sapphire Tourbillon yang melingkar di pergelangan tangan.
”Aku ingin mandi dulu. Aku ingin bersiap-siap dan mengenakan pakaian yang bagus agar tidak memalukan. Jika tanpa sengaja bertemu dengan anggota keluarga lain sebelum acara dimulai,” jawab Susi.
”Kamu itu mengerti yang kami katakan tidak, sih?!” tanya sang papa semakin emosi.
Namun, Gisselda menahan amarah belahan jiwanya. Berkata, ”Tenang saja, Pa. Yang penting kan Susi sudah bersedia ikut serta.” Ia lihat wajah putra bungsunya. “Akan kami tunggu lima menit. Tidak lebih dari itu. Pakai bajunya di mobil saja. Sudah Mama siapkan semua keperluan kamu.”
Susi tersenyum lebar. Merasa akhirnya bisa mendapatkan kepercayaan kedua orang berusia paruh baya itu. ”Tunggu aku, ya!”
Drap drap drap. Ia segera melangkah cepat kembali ke kamar. Ia nyalakan penghitung mundur waktu di gawai.
Tik… tik… tik…
Masuk ke kamar mandi. Jbar jbur seadanya. Mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan di atas sofa sejak tadi malam.
Tik… tik… tik…
Tik… tik… tik…
Tiga menit terlewat dengan cepat. Susi merasa sudah siap dalam segala kapasitas yang ia mampu.
Tik… tik… tik…
Tik… tik… tik…
Tik… tik… tik…
Di lantai bawah. Sudirman dan Gisselda menunggu dengan ”tenang”. Kembali melihat ke jam tangan. Melihat bagaimana laju waktu telah terlewat dari perjanjian.
”Kenapa Susi tidak turun juga, Pa?” tanya Gisselda. ”Ini sudah hampir sepuluh menit.”
Sudirman menghela nafas berat. HHHRRGHHH. Mendirikan tubuh dan menapaki setiap anak tangga. Menuju kamar sang putra kedua.
”Pa…” panggil Gisselda. Perasaannya sungguh tak menentu. Melanjutkan dengan tanya, ”Bagaimana jika Susi…”
”Untuk saat ini mari kita hadapi dulu, Ma. Karena apa pun yang akan terjadi di masa depan. Pasti sudah menjadi bagian dari suratan Tuhan,” jawab Sudirman. Melanjutkan langkah. Menuju ruangan sang putra kedua yang pintunya terbuka.
Tak ada satu orang pun di sana. Benar-benar sepi...
"Haaahh??!"