27: Si Edan Ardan [C]

1082 Kata
* Di komplek Universitas Burung Pengejek. Tepat di bundaran air mancur yang berdiri dengan kokoh patung lambang kebanggaan institusi. Seekor buruk peledek (the mockingbird) dengan rantai di kaki yang memiliki latar belakang sebuah buku ensiklopedi. Gio dan Ardan yang sudah wangi juga kenyang tengah duduk di bagian tepi untuk menanti kedatangan sahabat mereka yakni Susi. By the way, sekarang sudah lebih dari pukul sepuluh pagi. Menunjukkan betapa tinggi akurasi Ardan soal ketepatan waktu Susi menyangkul hal seperti ini. ”HWA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!!” tawa Ardan panjang dan puas sekali . Saat melihat Gio tampak kelelahan karena kepanasan menunggu di bawah terik matahari tropis. ”Dasar teman tidak tau diri. Melihat kawan sedang kesusahan bukannya inisiatif membantu dengan menelponkan begitu. Atau apa, kek. Malah tertawa sudah seperti sundel bolong,” balas Gio kesal. Ardan malah semakin asyik menertawai Gio, “Ha ha ha ha ha ha ha. Mana ada sundel bolong yang tertawa, bodoh,” hinanya seraya mengeplak belakang kepala Gio. Plaak. “Yang tertawa itu mbak koentie.” “Sialan kau,” balas Gio. Tersenyum kecil balik men-cute (cubit tete) kedua p****g s**u Ardan. Pemuda dengan potongan rambut semi gondrong yang modelnya masih berantakan itu segera menghindar saat Gio akan melakukan serangan cute selanjutnya. “Oh iya, Gi, kenapa kok tumbenan banget ngajak Susi nginap di rumahmu? Bukannya kamu itu orangnya private banget, ya? Dulu aja aku sama teman yang lain mau main tidak pernah diberi izin,” ia bertanya mengalihkan topik. Sekalian agar Gio melupakan cute mautnya. Gio kembali duduk dengan tenang. ”Ini bukan masalah sederhana. Otak kecilmu itu tidak akan paham kalau dijelaskan dalam waktu singkat,” jawabnya. Yhee, sialan sekali orang ini, batin Ardan geli sambil tersenyum-senyum tipis. Ikut duduk di samping sang sobat sejati. ”Jangan-jangan kalian punya hubungan yang begitu begitu, ya?” tanyanya asbun (asal bunyi). ”Haduh, Dan, kamu ini baru balik dari Korea Selatan kok bukannya makin pintar malah makin edyan. Bisa-bisanya kamu mikir dua sobatmu… maksudnya salah satu sobatmu yang ganteng, pintar, keren, dan paling bisa diandalkan ini seperti itu, sih?” tanya Gio. Tak habis pikir. Ardan membatin, paling bisa dimanfaatkan mungkin jauh lebih tepat. Ia membalas, ”Ha ha ha. Ya habis kalian mau apa, dong? Kan aku jadi curiga. Aku tidak mau saja sampai berteman dengan orang yang ternyata dalamnya suka ho hi he uhh ahh uhh ahh. Susi juga. Kalau benar dia sampai muncul menyambut ajakan untuk menginap di rumahmu. Besar kemungkinan pasti masalah penting, dong.” “Kenapa kamu sampai punya pikiran seperti itu?” tanya Gio serius. ”Kalau kamu pernah bertemu orang tuanya kamu pasti tau kan bagaimana mereka memperlakukan anak itu?” tanya Ardan balik. ”Aku tidak begitu tau ya karena kami juga beda sekolah saat SMA. Yang jelas teman-teman sekolahnya sejak dulu banyak kok yang bercerita kalau Susi diperlakukan dengan sangat ’istimewa’. Super duper over protektif. Sangat dijaganya sampai tidak normal deh pokoknya.” ”Bisa ya hal yang pribadi seperti itu sampai diketahui oleh orang banyak?” tanya Gio heran. Karena ia orang yang sangat cuek saat masih SMA dulu. Ia bahkan tidak peduli pada nama teman sekelasnya. Sampai terjadi sesuatu yang waktu itu… Yah, kalian tau yang waktu kapan. Ardan menjawab, ”Karena ini bukan kota besar seperti daerah tempat tinggalmu dulu, bro. Hal semacam itu menyebar dengan mudah dari mulut ke mulut. Rasaya pohon dan rumput pun bisa saling menyebar gosip. Apalagi untuk anak yang sejak kecil sekolah di daerah sini. ”Karena itulah… dia pasti akan berusaha sangat keras untuk meyakinkan atau dengan kata lain memaksa kedua orang tuanya mengizinkan dia pergi. Itu tidak akan pernah mudah,” lanjut Ardan. ”Jadi, itu alasan kamu mikir pasti sesuatu yang sangat penting. Sampai buat Susi yang anak mami papi sampai bersedia. Gitu?” tanya Gio. “Tentu saja,” jawab Ardan. “Karena itu… lain kali kau pun harus mengajakku ke tempat tinggalmu. Aku hanya pernah melihat rumah keluarga Susi sekilas dari kejauhan. Rumah orang yang selalu jadi trendsetter gaya berpakaian para mahasiswa sepertimu pasti tidak jauh beda dengan itu, ’kan?” tanyanya. Gio tersenyum lebar sampai menunjukkan deretan gigi rapi terawat sempurnanya. Menjawab, ”Tentu saja… KEPALAMU BAGUS!” PLAAK. ”AHA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!!” Ardan kembali tertawa riang saat Gio mengeplak kepalanya. Entah kenapa. Setelah lulus dari SMA. Walau banyak teman lamanya saat sekolah dulu juga melanjutkan ke universitas dengan nama cukup unik itu. Hanya pertemanan dengan Susi dan Gio yang terasa memuaskan. “GIO, ARDAN,” panggil Susi yang berjalan di kejauhan. Kedua mata Ardan langsung nanar kala menyaksikan si anak mami papi itu sungguhan datang. Jam berapa ini. Hanya telat dua setengah jam lagi. Luar biasa. ”Sori ya lama,” ucap Susi seraya menjabat tangan dua sobatnya. Ia lihat wajah Ardan. Yang entah apa alasannya membuat ia teringat pada rupa orang Kalimantan. Walau aslinya ia orang Bintan. “Kenapa kamu bisa ada di sini? Perasaan aku belum bilang ke Gio kalau kamu sudah pulang,” tanyanya heran. Kumenangisss. ”Aku sempat berpikir kau lupa memberitahu Gio atau bagaimana. Ternyata memang sengaja tidak kau beritahu, ya,” ucap Ardan mengsedih. Susi tertawa panjang, ”Aha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha.” Gio tertawa lebih panjang, ”Aha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha.” Ardan pun tertawa lagi, ”Aha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha.” Dan tawa mereka untuk sejenak seperti berhasil mengalihkan perhatian. Dari rasa takut juga kekhawatiran akibat kampung Tangga Teparo. ”Kami berdua duluan dulu ya, Dan,” pamit Gio sambal melambaikan salah satu tangan. Sementara Susi, “Sudah menemukan kolong jembatan yang bisa kamu pakai beristirahat setelah ini?” tanyanya. Minta ditendang ke laut pantai selatan. Ardan langsung menjawab, “Tenang saja. Aku akan mendirikan tenda di depan rumahmu dan mengaku kalau kita hombreng pada Om Sud dan Tante Gis nanti. Tenang saja.” ”Ha ha ha, aku potong lehermu,” balas Susi tertawa kecil sambil mengacungkan jari tengah. Ardan membalas dengan memasukkan jari telunjuk ke lingkaran yang dibuat oleh telunjuk dan jempol tangan satunya. ”Lebih baik kita asyik beginian saja, Sus!” Gio tersenyum. Gio bahagia. Gio terpenuhi. Melihat bagaimana kebahagiaan yang ia kira dulu hanya mimpi. Kini mulai menjadi bagian dari rutinitas harian. Namun, kenyataan tetap harus dihadapi. Tidak peduli bagaimana ingin berlari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN