Gio dan Susi memutuskan naik bus untuk menuju kampung Tangga Teparo yang menjadi destinasi tujuan mereka. Moda transportasi umum seperti bus atau angkutan kota untuk perjalanan menempuh jarak cukup jauh. Dan kendaraan seperti becak juga ojek untuk perjalanan yang cenderung dekat. Lebih umum digunakan oleh penduduk kota tempat mereka berada. Tidak begitu banyak orang di sini suka menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil tau motor yang membuat macet saja kecuali orang yang benar-benar barada. Kebanyakan orang lebih suka udara sejuk alami yang minim kebisingan juga kemacetan.
Sungguh kota minimalis apa adanya dengan cara hidup ideal, batin Gio seraya mengamati pemandangan bergerak di luar jendela bus. Tipikal keindahan yang bisa jadi tak akan Gio dapat di kota tempat ia tinggal dulu.
”Gi,” panggil Susi yang duduk di sebelah.
Tanpa menoleh Gio merespon, ”Ada apa? Tiba-tiba berubah pikiran, kah?” tanyanya.
”Aku hanya mulai berpikir… sepertinya… entah bagaimana kedua orang tuaku memang memiliki hubungan dalam tanda kutip denganmu,” jawab Susi lirih. Ia tidak ingin percakapan mereka yang tidak ”normal”. Sampai terdengar orang luar yang tidak berhak mendengar.
Gio membalik tubuh menatap Susi. Melihat raut serius pemuda itu yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat bertemu dan berpisah dengan Ardan barusan. ”Kenapa kamu berpikir seperti itu? Apa yang mereka lakukan padamu? Atau… apa yang sudah mereka lakukan sampai kamu berpikir seperti itu?” tanyanya lagi.
Susi mengambil gestur memegang leher. Seperti hendak mencekik diri sendiri. Ia sedang berusaha menetralisir ingatan yang menyesakkan jalan nafas. ”Hhkk… hhkk… hhhkkk…”
”Sus, Sus, Susi, jangan buat aku takut begini, dong! Ada apa denganmu?” tanya Gio khawatir. Ia sangat cemas. Bagaimana jika… Bagaimana jika… Bagaimana jika… kutukan kampung Tangga Teparo sudah mencapai Susi walau ia sendiri belum sampai di sana? Bagaimana jika ia juga mengalami hal seperti “halusinasi” seperti yang ia alami di bis saat pertama tiba di kota ini?
Haruskah Gio menyerah dan memutuskan kalah dari mimpi?
”Jadi,” ucap Susi hendak membuka cerita kegundahan yang tengah ia rasa. Sejak tadi berusaha ia sembunyikan agar tidak membuat Ardan curiga. Kini ia sudah sampai pada batasnya. “…kedua orang tuaku bersikap sangat aneh pagi ini. Mereka memang sudah sering bersikap tidak normal sejak aku kecil. Tapi, yang kali ini benar-benar sulit dipahami.”
”Apa semua bermula sejak kejadian pada malam hari itu?” tanya Gio dengan nada suara datar. Pikirannya terbagi jadi dua. Di satu sisi ia antipati pada hal apa pun menyangkut dua orang tua Susi. Di sisi lain… ia juga merasa bahwa bisa jadi mereka berhubungan. Dengan apa pun juga yang Gio Sr. sembunyikan. Masa lalunya. Kebenaran dirinya. Bahkan realita soal Gio Jr. sendiri.
Semakin hari yang ada semua malah jadi semakin tidak menentu. Abstrak. Sulit diterima akal sehat. Tapi, di saat sama juga kenyataan yang sungguhan ada. Sebuah fakta.
Dengan tampang tidak enak Susi menganggukkan kepala. Ia melanjutkan ceritanya, ”Saat aku baru bangun. Mereka sudah siap di lantai bawah membawa beberapa koper juga melakukan banyak persiapan untuk meninggalkan rumah. Tanpa memberitahu apa pun mereka meminta aku masuk ke dalam mobil untuk menuju sebuah hotel. Mereka bilang hari ini jadwal untuk rapat tengah tahun rutin keluarga besar Tanaya.”
Ahh, Ardan juga bilang soal itu tadi. Apa ini yang dia maksud dengan ”itu”? Gio berakhir bertanya-tanya sendiri dalam hati karena ia tak ingin memotong cerita Susi.
Pemuda itu mencengkram dahi dengan kedua telapak tangan. Rautnya tampak sangat depresi. Kenapa semua jadi seperti ini, tanyanya berkali-kali dalam hati. ”Kalau selesai hanya seperti itu saja mungkin tidak apa-apa. Aku tinggal meminta izin dan berkata tidak bisa ikut serta. Namun, kenyataannya semua hanya dusta.”
Hah. Gio tak sabar lagi untuk melontarkan pertanyaan, ”Apa maksudmu?”
Susi melanjutkan, ”Saat aku meminta izin mandi. Sebenarnya aku menghubungi seorang sepupu yang harusnya turut serta dalam rapat rutin keluarga kami. Dia bilang sama sekali tidak ada berita untuk rapat tengah tahun keluarga hari ini. Dia juga bilang karena kesibukan setiap anggota keluarga semakin padat. Para orang tua di keluarga Tanaya memiliki inisiatif untuk merubah rapat itu jadi setiap sembilan bulan sekali saja.”
Gio termangu mendengar cerita Susi. Kehidupan Susi yang biasa saja selama ini jadi berubah total. Karena berteman dengan anak aneh seperti di-ri-nya.
Kalau lewat pertemuan yang hanya sepersekian detik saja mampu merubah begitu banyak hal. Bagaimana jika benar-benar aku bawa dia dia perkampungan dengan para penduduknya yang tidak normal, tanya Gio dalam hati. Kembali tenggelam dalam perasaan gundah gulana.
Ia lihat tangan Susi yang bergetar. Tremor tanda anxiety. Drrd drrd drrd. “Aku tidak bisa membayangkan, Gi. Apa yang akan mereka lakukan padaku sampai aku tidak berhasil melarikan diri? Akan mereka bawa ke mana aku? Mereka seperti bukan kedua orang tuaku yang dulu. Seolah ada entitas lain merubah mereka. Entitas yang lahir sejak kejadian malam itu,” ucap Susi. Tampak sangat gusar. Tapi, kesulitan mengeluarkan seluruh emosi karena terbatas jati diri sebagai seorang laki-laki.
Ia tidak ingin cerita ini jadi kisah yang sentimental.
Susi menaikkan kedua kaki ke atas tempat duduk. Ia peluk lutut. Membiarkan air mata tanpa suara terjatuh menetesi celana jeans belel. “Ke mana aku harus pulang setelah ini? Ke mana aku bisa kembali?” tanyanya. “Papa dan Mama selalu mengawasi dengan ketat semua hal yang berhubungan denganku. Rekening bank, kartu ATM, kartu debit, kartu kredit. Semua mereka kuasai.
”Apa yang harus aku lakukan setelah ini, Gi?” tanya Susi lagi. Menoleh tanggung ke arah pemuda di sampingnya.
Gio hanya bisa terdiam. Apa yang tengah Susi alami bisa jadi merupakan kesalahannya. Bisa jadi juga bukan. Mungkin Tuan dan Nyonya Tanaya telah memiliki cerita mereka sendiri. Yang telah ditulis jauh lebih dahulu. Cerita yang entah bagaimana bisa jadi pematik kejadian hari ini.
”Menarik” dirinya menuju realitas mereka. Meninggalkan jejak akan sebuah rasa takut tanpa dasar.
The Butterfly Effect. Sang Efek Kupu-kupu.
Gio menutupi dahi dengan telapak tangan kiri. Ia senderkan punggung yang letih ke senderan yang keras. Ia hela nafas tanpa suara, hhh…
Bagai kepakan sayap kupu-kupu di Bandar Sri Begawan. Yang mengakibatkan tornado besar di Andorra de la Vella. Bagaimanakah para penduduk di sana akan menghadapinya?