Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Waktu bergulir merangkai kenyataan dan membawa kedua pemuda itu tiba di depan gapura masuk kampung Tangga Teparo. Gio sengaja agar tidak turun angkutan kota tepat di depannya. Agar beri lebih banyak waktu untuk melakukan percakapan ”serius” dengan Susi. Sudah beberapa kali ia berusaha kembali mempertanyakan keyakinan anak itu. Apa telah benar-benar siap memasuki kampung Tangga Teparo? Efek yang ditimbulkan tidak main-main, lho. Untuk mengunjungi bahkan menginap di rumah sewaannya yang… yaah, begitulah.
Seperti yang orang waktu itu pernah katakan… satu kali memutuskan masuk bisa jadi tak akan ada lagi jalan untuk keluar.
Namun, entah buah kepercayaan diri yang terlalu besar atau sikap naif belaka. Susi tetap bersikeras pada keputusannya. Semua karena yang terjadi pada orang tuanya! Ia jadi yakin ada begitu banyak tersembunyi yang harus ia ketahui. Dan untuk menentramkan hati… mau tidak mau suka tidak suka ya harus ia cari tahu sendiri.
Ia merasa punya tanggung jawab untuk semua itu saat ini.
“Are you ready, bro? (Apa kamu siap, bro?)” tanya Gio serius. Entah sudah yang keberapa kalinya ia tanyakan hal serupa.
Susi memaksakan senyuman di wajah. Menjawab, ”Apaan sih kamu? Berlebihan sekali, deh. Dari luar juga tidak terlihat ada yang aneh. Sepertinya kamu sedang rindu rumah saja deh, Gi. He he he,” balasnya (sok) santai. Aslinya… di dalam… ia jauh lebih tremor dari yang bisa Gio bayangkan.
Gio balas tersenyum tenang. Dan melangkahlah mereka. Memasuki daerah ”kekuasaan” kampung Tangga Teparo. Di mana apa pun mungkin saja terjadi di sana. Bahkan apabila hal yang paling melawan akal sehat serta logika.
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Di sebuah bangunan rumah berukuran besar dengan halaman super luas ditumbuhi lebat pepohonan beraneka macam dan rupa. Yang terdapat di sisi belakang kampung Tangga Teparo. Cukup jauh dari pemukiman para penduduk. Seorang pemuda yang mengenakan pakaian bermodel sederhana dengan warna putih dari ujung kaki sampai ujung kepala. Menatap ke pemandangan rimbun pepohonan di halaman lewat sebuah jendela besar di sebuah ruangan. Ia berkata pada seorang lelaki di sisinya, ”Sepertinya… ada orang baru yang masuk, ya?”
Lelaki itu menjawab, ”Anda benar sekali.”
Pemuda itu menyentuh permukaan kaca jendela dengan tatapan hampa. Mengharap sesuatu yang tak bisa ia raih.
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Wuuussh…
Susi merasa hembusan angin yang lembut, namun terasa menusuk sukma hingga buat bulu kuduk berdiri menyambut kedatangan mereka. Saat ia lihat Gio tetap berjalan seperti biasa. Seolah tidak rasakan hal serupa.
Sebelum benar-benar masuk ke wilayah kampung ini tadi Gio telah berpesan, ”Sus, apa pun yang kamu saksikan di dalam nanti.” Ia tempelkan telunjuk di bibir. “Jangan berbicara sepatah kata pun juga. Jangan buat suara. Abaikan semua yang kamu lihat sampai aku dulu yang membuka percakapan.
“Mengerti?” tanyanya. Peringatnya.
Susi tersenyum geli. Membalas, “Aha ha ha ha, kamu ini kenapa sih, Gi? Sudah seperti mau masuk ke wilayah hutan keramat saja. Orang hanya perkampungan yang terlihat sangat normal begini, kok.”
Sekarang Susi menyesali keangkuhannya memandang sebelah mata peringatan sang sobat. Belum apa-apa saja perasaan tidak enak sudah menguasai seluruh diri. Cahaya matahari yang terlihat bersinar dengan cerah. Namun, sama sekali tidak memberi kehangatan. Rimbun pepohonan di kiri dan kanan jalan. Seperti jadi tempat persembunyian para makhluk mengerikan yang siap menerkam.
Tap tap tap.
Suara Langkah sepatu keduanya yang “biasa” pun. Bermetamorfosa jadi seperti alunan gendang iringi menuju kematian.
Perasaan tidak enak yang menyergap jiwa pemuda biasa itu. Menyalakan peringatan untuk segera melarikan diri. Tapi, Tapi, Tapi… kakinya sudah tidak bisa ditarik lagi. Seperti terdapat ribuan pasang mata (tak terlihat) di sekitar mereka. Tengah mengamati dengan lekat membuat kulit semakin pucat.
Semua hal sederhana yang terlihat. Seperti berubah jadi sesuatu yang sangat cacat.
Perasaan tidak enak macam apa ini? Perasaan aneh yang buat seluruh bulu kuduk berdiri macam apa ini? Perasaan ganjil macam apa ini? Hati terus bertanya-tanya. Tak juga temukan jawabannya. Tekanan perasaan ganjil itu saja rasanya mampu. Buat ia hilang kesadaran saat itu juga.
Saat keduanya berbelok ke sebuah jalan yang lebih kecil. Susi disambut sebuah pemandangan tidak terduga. Di tepi comberan. Terdapat dua orang yang sepertinya sudah dewasa. Semua wanita berpakaian bagus. Tengah memegangi kedua tangan dan kaki seorang anak kecil laki-laki. Anak kecil itu meronta tidak karu-karuan. Meneteskan air mata semerah cairan kehidupan.
Terus berteriak tak ubahnya seekor domba yang akan dikurbankan, ”HAAAAAAARRRGGHH HAAAAAAARRRGGHH HAAAAAAARRRGGHH HAAAAAAARRRGGHH HAAAAAAARRRGGHH HAAAAAAARRRGGHH HAAAAAAARRRGGHH!!!”
Ya Tuhan, apa ini, batin Susi nyaris semaput (pingsan). Tapi, segera ia ingat peringatan Gio untuk tidak menimbulkan suara apa pun. Bahkan tidak mengajaknya bicara.
Apakah Gio sudah tau hal seperti ini akan terjadi? Susi alami?
Langkahnya pun melemah. Ia tak kuasa tetap mempertahankan kekuatan kala menyaksikan sesuatu seperti itu. Gio… Gio… Gio, kenapa kamu diam saja? Tidakkah kamu juga menyaksikan hal serupa? Sekujur tubuh Susi makin kehilangan tenaga kala melihat bagaimana wanita yang memegang bagian kepala si anak. Membelai lembut kedua belah pipi anak malang tersebut yang tampak tidak berdaya. Entah apa yang terjadi padanya di dalam frame pemandangan yang sangat tidak biasa. Susi hanya bisa melangkah pelan seolah tak ada yang terjadi.
Tak peduli bagaimana ia dengar tiba-tiba anak itu berteriak memekakkan penengaran, ”HYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!” Entah apa yang ia rasakan. Padahal kedua wanita dewasa di dekatkan tidak lakukan apa pun. Hanya terdiam. Duduk bersimpuh di dekatnya. Tersenyum dengan wajah elegan yang… mengerikan.
Semua semakin di luar nalar.
Hmm… hmm… hmm…
”Ohok…” Susi nyaris saja membuat suara karena tak bisa menahan gejolak dalam perut. Rasanya ingin berlari. Tapi, kenapa langkah si tuan rumah yang berjalan di depan pelan sekali? Malah ia berlagak seperti tak terjadi apa pun.
A, A, Apa aku masih waras? Apa aku masih sehat? Susi bertanya-tanya seraya memegangi nyaris seluruh bagian kepalanya. Ia merasakan sensasi dengung ganjil di dalam batok tengkorak. Nguuung… nguuung… nguuung… Apa yang sebenarnya terjadi?!!
Tidak jauh di depan sang sobat. Gio tetap berdiri tegak dengan raut wajah tenang dan langkah teratur. Ia sama sekali tidak menunjukkan reaksi terganggu yang serupa dengan Susi. Ia juga tidak akan menolehkan wajah apalagi berlari. Untuk saat ini… ia telah memutuskan menghadapi apa yang selanjutnya akan terjadi. Walau hanya untuk kali ini saja. Itu juga karena ada Susi di belakangnya.