28: Menghadapi [C]

1159 Kata
Susi sudah seperti patung batu pahatan yang bisa berjalan ketika akhirnya mereka tiba di rumah sewaan Gio. Wajahnya sangat pucat pasi. Mulutnya terkatup rapat sampai buat sulit digunakan bernafas secara leluasa. Saat keduanya sudah masuk ke dalam rumah dan situasi ”safe and sound”. Selamat sentausa. Gio memberanikan diri membuka percakapan, “Apa yang terjadi selama perjalanan ke sini, Sus?” tanyanya. ”…” ”Sus,” panggil Gio lagi. Susi tetap tidak merespon sama sekali. Pikirannya masih kacau balau karena ingatan akan kejadian barusan. Ia membutuhkan lebih banyak waktu agar bisa kembali rasakan ketenangan. Gio pun memutuskan untun biarkan sahabatnya duduk di sebuah kursi beanbag nyaman berwarna hijau toska yang ada di ruang tamu. Sementara ia sendiri pergi ke dapur. Ingin memanaskan s**u UHT yang ia harap bisa beri sang teman sedikit rasa tenang. ”Entah” juga apa yang baru ia alami barusan. ”Ini, Sus,” ucap Gio menyodorkan secangkir s**u UHT hangat pada Susi. Susi menerima minuman itu tanpa mengucapkan apa pun. Langsung ia tenggak cairan di dalamnya sampai habis tak bersisa. Gio yang masih menunggu suhu minuman itu jauh lebih rendah terhenyak melihat tingkah temannya. ”Gi, apa kamu menyaksikan apa yang aku saksikan barusan?” tanya Susi kemudian. Dengan cangkir masih di tangan. Tanpa menatap sang tuan rumah. Dengan tenang Gio menjawab, ”Tidak.” Perasaan Susi benar-benar sulit dideskripsikan kala mendengarnya. Apa dia benar-benar hanya berhalusinasi? Atau jangan-jangan… itu hanya produk paranoidnya saja? IYA, ’KAN? Ia pun tersenyum dan menepuk dahi ringan. Puk. Hal se-absurd itu juga mana mungkin sih terjadi di dunia nyata? Pasti hanya efek dari cerita berlebihannya Gio saja. wong anak itu sendiri juga malah tidak melihat, ’kan? Susi mendirikan tubuh dan merenggangkan badan yang kaku. Usai selama beberapa menit barusan terjebak dalam ketidakjelasan. Ia lihat si tuan rumah yang masih ayik menyebul-nyebul permukaan s**u berasap. Berkata, ”Rumah sewaanmu cukup minimalis juga ternyata, ya. Ada hiburan apa di sini?” tanyanya. ”Tunggu saja nanti malam,” jawab Gio buang muka. ”Oh, kamu punya konsol game terbaru itu ternyata,” lonjak Susi saat melihat sebuah konsol permainan yang tertutup beberapa helai kardus bekas. ”Kenapa penampakannya seperti barang daur ulang begini?” tanyanya. ”Ya habis selama tinggal di tempat ini aku belum sempat memainkannya sama sekali. Selalu sibuk dengan kegiatan perkuliahan dan…” ”Dimanfaatkan orang?” lanjut Susi menggoda. Gio tidak peduli. Ia melanjutkan, ”Kalau dimainkan sendiri juga tidak akan asyik, bukan?” tanyanya. ”Apa kamu tidak punya teman anak sekitar sini?” tanya Susi melongok melihat pemandangan luar kampung yang cukup sepi. Ia segera sadar. Plok. ”Oh iya, Gio kan orangnya anti sosial, tidak punya teman, susah bergaul, mudah diperdaya, jomblo abadi pula.” ”Itu semua artinya sama saja, ’kan?” balas Gio (kesal). Tapi, ia tidak bisa memberi bantahan. Karena semua memang benar. Setelah membawa dua cangkir kotor ke wastafel cuci piring. Gio kembali ke ruang tamu dan siap menghadapi Susi dalam pertarungan sengit tembak-tembakan dalam mempertahankan wilayah. “Are you ready, bro? (Apa kamu siap, bro?)” tanya Susi. “Of course I’m ready to win (Tentu saja. Aku siap untuk menang),” Tok tok tok. “Hah!” Gio yang tadi sudah siap bermain reflek mem-pause permainan dan memeriksa ke pintu depan. Bagaimana bisa setelah sekian lama tinggal di sana dalam kesendirian. Tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Orang atau bukan, tanyanya dalam hati waspada. Mengintip lewat celah jendela. Di balik pagar. Terlihat seorang ibu-ibu bertubuh gempal berwajah ramah berpenampilan rapi. Gio menahan nafas. Setelah semua yang ia alami selama ini di perkampungan tidak normal itu. Apa lagi yang akan terjadi hari ini? ”Siapa, Gi?” tanya Susi. Hendak bangkit menghampirinya. Gio segera meminta Susi kembali duduk dengan mengayun-ayunkan telapak tangan di belakang punggung. Cklek. Ia membuka pintu ruang tamu. Berjalan pelan ke depan dengan tampang senormal mungkin. Walau… Deg deg Deg deg Deg deg Deg deg Deg deg Deg deg Deg!!! …detak jantungnya tak bisa menyesuaikan dengan image yang hendak ia tunjukkan. Penampilan seorang pemuda normal yang tidak mengetahui apa pun. Hanya seorang manusia polos berhati bersih. ”Selamat siang, Bu. Ada apa, ya?” salam Gio sekaligus bertanya dengan tampak sok tanpa dosa. Ibu-ibu itu tersenyum lebih lebar. Jauh lebih ramah. “Nak Gio sepertinya baru pertama kali ya membawa teman kuliahnya ke rumah.” Hah? Ibu itu melanjutkan, ”Eh, itu teman kuliah atau teman apa? He he he, sebenarnya Ibu hanya asal bunyi saja. Siang bolong begini dua pemuda ganteng seperti kalian pasti belum makan, ‘kan?” tanyanya. Sedikit ”memaksa”. Gio yang merasa terdesak atas nama senioritas. Memaksakan diri menganggukkan kepala. Walau sebenarnya ia sudah sangat kenyang karena habis ditraktir Ardan. Dan lagi Ardan juga sudah menitipkan satu porsi makanan untuk Susi. Sumbangan katanya. ”Nah, kebetulan sekali kalau begitu. Ibu di rumah tadi pagi coba memasak banyak menu. Iseng saja padahal. Tapi, kok rasanya akan terlalu banyak kalau dihabiskan satu rumah sendiri. Kalian berdua makan siang di rumah Ibu, yuk,” ajak wanita itu ramah. Mengayunkan tangan meminta Gio (bersama Susi) keluar. Mengabaikan seluruh keanehan yang baru saja ia lontarkan. Tapi, lagi-lagi. Seperti terdapat dorongan tak kasat mata. Dari dalam diri yang memaksa Gio mematuhi ucapan wanita bertubuh gempal itu. Ia akan merasa tidak enak jika harus menolak tawaran kebaikan tetangga. Seorang tetangga di permukiman kampung yang sudah ia ketahui sendiri… tidak normal. ”Sus,” panggil Gio sambil membuka kunci gerbang. ”Wah, kamu, siang hari begini saja pagar acara gembokan segala. Tenang saja. Lingkungan kita ini super aman,” komentar si Ibu-ibu. Sok akrab. Banyak omong, batin Gio sinis. Melirik Susi yang sudah ada di belakangnya. ”Ada apa, Gi?” tanya Susi. ”Kita diundang untuk makan siang di rumah ibu ini,” jawab Gio datar. Susi segera berkata, “Kalau begitu rumah akan aku kunci dulu.” Usai seluruh pintu masuk ke rumah sewaan Gio terkunci. Ia dan Susi mengikuti langkah Ibu-ibu itu menuju rumahnya yang hanya berjarak beberapa rumah dari tempat tinggal Gio. Sebuah rumah besar dengan halaman luas. Memiliki arsitektur cukup kuno dengan cat warna kuning yang sudah pudar. Kesan pertama saja menunjukkan itu bangunan cukup tua. Gio dan Susi ”tanpa” rasa curiga memasuki bagian dalam bangunan. Siap menyambut hidangan yang disiapkan sang pemilik kediaman. Ruang makan tempat mereka disambut berada di tepi rumah menjauhi bagian pintu masuk. Terdapat empat jendela berderet yang terbuka memasukkan cahaya serta sinar matahari di sana. Membuat ruangan jadi begitu segar dan hidup. Tidak lembab serta gelap seperti rumah sewaannya yang nyaris selalu tertutup. Sejauh ini sepertinya tidak ada yang mencurigakan, batin Gio merasa lega. Intensitas detak jantungnya mulai berkurang. Menunjukkan turunnya kewaspadaan. Susi pun terlihat baik-baik saja. Untuk pertama kalinya. Seorang Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. bisa menghela nafas lega di lingkungan perkampungan berhawa tidak enak itu. Tapi, apakah benar begitu? ...? Ingatlah nasihat ini ketika berada di tempat asing, jangan pernah longgarkan sabuk pengaman!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN