Semoga, semoga, semoga, semoga, semoga, semoga, semoga, semoga, semoga, semoga, semoga, semoga, semoga saja semua berjalan dengan normal kali ini. Semoga tidak terjadi apa pun pada diriku maupun Susi. Bahkan jika ia akan pulang dari sini membawa anggapan bahwa aku memang hanya sedang rindu rumah saja… tidak mengapa, Tuhan, sungguh tak apa. Aku akan jauh lebih senang menganggap semua yang sudah kualami sebagai sekadar suatu mimpi buruk. Timbang kenyataan yang memang buruk.
Ibu-ibu itu muncul dari dapur membawakan beberapa mangkuk makanan dibantu oleh seorang pelayan perempuan. Menghidangkan makanan demi makanan dengan rupa serta aroma menggugah selera di atas meja. Semakin mengembangkan senyum Giorsal. Saat lagi-lagi meyakini semua berjalan dengan baik sesuai harapan.
Namun…
Ke, Kenapa Gio diam saja, tanya Susi dalam hati. Berusaha menahan keluarnya emosi tidak dibutuhkan lewat raut wajah. Ia juga tidak punya niat mengeluarkan suara. Sebagai gantinya hanya telapak tangan terus bergetar tak karuan.
Apa yang sedang ia saksikan?
Sesuatu yang ada di balik kulit ayat krispi itu bukanlah daging matang yang empuk serta juicy. Melainkan daging mentah yang berwarna keabu-abuan dengan bercak kuning mencurigakan. Ditambah aroma yang sudah tercium sangat tidak enak walau dari jarak satu meter.
Susi kembali membatin saat melihat Gio yang malah asyik berbincang dengan si nyonya rumah, ini pasti ada yang tidak benar. Benar-benar janggal. Aku harus segera memberi Gio peringatan.
Ketika ia ingin mendirikan tubuh untuk melarikan diri dari situasi tidak normal itu… Grep! Gio mencengkram pergelangan tangan Susi. Meminta ia kembali duduk.
Gio berkata, ”Tidak sopan kan kalau seenaknya pergi saat sedang dijamu oleh orang lain.”
Susi membelalakkan kedua mata lebar-lebar. Berusaha memberi isyarat akan segala keanehan. ”Gio!” panggilnya kebingungan.
Bukannya menangkap sinyal bahaya yang (baru) sahabatnya kirim. Dengan tenang Gio menaruh jari telunjuk di bibir. Lirih berkata, ”Diam saja, Sus! Jangan beri reaksi berlebihan!”
Seperti ada benang-benang pengendali tak terlihat mencuat keluar dari mulut Gio. Memaksa tubuh pemuda itu kembali duduk diam di tempat. Menghadapi beberapa ”sajian” tak layak konsumsi di atas meja yang mengeluarkan aroma tidak sedap. Penampakan yang lebih seperti sampah timbang makanan. Sesuatu entahlah apa dengan cairan putih kekuningan merembes dari balik bagian luarnya. Beberapa jenis sesuatu yang tak lagi bernyawa, tidak tau apa, yang meninggalkan jejak hampir di seluruh bagian taplak meja.
Susi ingin mengeluarkan seluruh isi lambungnya karena tidak kuasa menatap semua hal tidak sedap dipandang tersebut. Ditambah melihat dengan dua mata kepala sendiri bagaimana sang sobat menikmati semua makanan dengan wajah tersenyum riang. Beragam pemikiran mulai menghantui perasaan.
Apakah Gio benar-benar tidak melihat apa yang sedang ia saksikan? Apa Gio hanya berpura-pura karena ia sendiri ketakutan dan tidak ada jalan keluar? Yang paling penting… apakah semua ini nyata? Atau jangan-jangan hanya halusinasi belaka?
Dengan pandangan mata hampa Susi memegang dua alat makan, sendok dan garpu, di atas piring. Mulai ”berhalusinasi” saja jika semua hal dengan aroma tidak sedap itu merupakan makanan favoritnya.
Sial, tetap tidak bisa, batinnya menutup kedua mata.
Tiba-tiba wanita nyonya rumah dengan keberadaan yang membawa hawa tidak enak itu mendirikan tubuh dan mendekati Susi. Bertanya dengan wajah ramah, ”Kenapa Masnya diam saja? Apa makanannya kurang menggugah selera?”
Menggugah selera untuk muntah iya, respon Susi dalam hati. Ia lihat lagi Gio yang terlihat asyik mengunyah… entah apa itu, lanjutnya dengan kedua mata menyipit. Ia bagai sedang menyaksikan acara survival memakan binatang-binatang tidak jelas untuk mendapatkan hadiah uang puluhan ribu dollar yang pernah popular dulu: Fear Factor.
“Makanan ini… namanya apa, Bu?” tanya Susi dengan intonasi datar.
Malah Gio yang merespon dengan menyentil tangan Susi, ”Hush! Tidak sopan kan menanyakan hal seperti itu. Nikmati saja tidak bisa apa?” tanyanya
Susi bertanya balik, ”Apa kamu sendiri tau apa yang sedang kamu makan, Gi?”
Dengan cepat Gio menoleh ke arah si nyonya rumah. Dengan wajah tidak enak berkata, ”Tolong maafkan teman saya ya, Bu.”
Ibu-ibu itu tersenyum menjawab, ”Tidak masalah. Yang penting kalian habiskan makanannya.”
Penuh keterpaksaan. Mengabaikan kenyataan yang tersaji di hadapan mata. Berpikir bahwa ia hanya sedang ”mengigau” saja. Susi pun menggunakan sepasang alat makan di tangan untuk memasukkan potongan demi potongan… ”makanan” itu ke dalam mulut. Mengabaikan bagaimana rasa maupun aroma yang ditimbulkan olehnya. Satu-satunya orang yang ia kenal di tempat itu hanya Gio. Jika Gio saja sudah tidak bisa diharapkan… tidak ada orang lain yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri.
“Silahkan tambah nasinya, Nak Gio, Nak Susilo,” ucap ibu-ibu itu. Menyendokkan puluhan… tidak, ribuan belatung berukuran kecil yang masih aktif bergerak-gerak ke piring keduanya.
”Selamat makan,” ucap Gio ceria. Memasukkan sesendok “nasi” beserta “lauk” ke dalam mulut.
Sementara Susi tak mengatakan apa pun. Hanya berpikir bahwa apa yang ia alami kini tidak akan jadi lebih baik dibanding jika ia entah mau diapakan oleh kedua orang tuanya.
Kegelapan merangkak naik mulai dari telapak kaki beranjak mengisi seluruh relung hati. Menyebar ke seluruh d**a. Naik lewat leher dan mulai menguasai tiap jengkal isi kepala.
”Selamat ma…”
Đ ≠ Ă ≠ Ŕ ≠ Ķ . Ħ ≠ Ė ≠ Į ≠ Ŕ
Sekitar pukul setengah tiga siang. Akhirnya Gio dan Susi “bisa” undur diri dari rumah megah wanita bernama Ibu Wati itu. Sepanjang perjalanan kembali ke rumah sewaannya. Gio tak berhenti-berhenti mengungkapkan betapa senang ia pada jamuan makan siang itu. Seperti… kejadian itu benar-benar hal menyenangkan pertama yang ia alami selama tinggal di sana. Membuat ia lupa pada apa saja yang sudah terjadi sebelumnya.
Aku akan benar-benar jadi orang tidak waras sampai tetap berada di perkampungan ini jauh lebih lama lagi, batin Susi saat Gio tengah membuka kunci pintu gerbang.
Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah.
”Sus, kalau kamu masih lapar itu ada bungkusan yang dibelikan oleh Ardan,” beritahu Gio seraya merebahkan tubuh di kursi beanbag. Dan menyalakan televisi.
Namun, bukannya mendengar apa yang dikatakan oleh sang sobat. Susi malah berlari dengan cepat ke kamar mandi. Membanting pintu. Blaam. Ia kunci dari dalam. Cklek. Dan…
”Hwoooeerggh… hwooooorrgh… hwooooorrgh… hwooooorrgh… hoooeeekk… hoooeeekhk… hoooeeekkhh… hwoooeergghh… hwoooeerggkh… hwoooookrrgh… hoooeeerghkk…!!!”
Gio yang khawatir meninggalkan tempat duduk nyamannya dan menghampiri kamar mandi. Ia dekatkan wajah ke daun pintu. Bertanya, ”Kamu baik-baik saja, Sus? Mau aku buatkan sesuatu?”
Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka. Susi yang wajahnya basah menatap Gio dengan pandangan risih. “Lebih baik kamu muntahkan juga semua yang habis kamu makan itu, bro!” perintahnya.
Menatap Susi aneh Gio bertanya lagi, “Kamu ini kenapa, sih? Aneh sekali, deh. Orang akhirnya aku bisa mendapatkan pengalaman baik selama tinggal di sini. Yang mana mungkin berarti apa yang sudah aku ceritakan itu memang hanya efek rindu rumah saja. Kenapa malah jadi kamu yang bersikap seperti ini?” tanyanya. Ia meminta, ”Aku mohon kamu jangan tambah-tambahi beban pikiranku yang baru saja sedikit berkurang ini, Sus!”
SEDIKIT BERKURANG DIA BILANG??! WHAT THE F...!!!