28: Menghadapi [E]

1195 Kata
”Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Junior!” teriak Susi tanpa menahan diri, ”Apa kamu tau, HAH? Yang baru kamu… maksudku kita santap di rumah ibu-ibu itu bukan makanan manusia TAU. Diberikan ke kebun binatang pun aku tidak yakin ada hewan yang mau mengonsumsi,” usaha Susi menjelaskan. Tampaknya Gio benar-benar membutuhkan bantuan. Tidak boleh dibiarkan! Haakh. Gio mengangkat kedua telapak tangan ke sisi kepala. Ia buang muka sambil beberapa kali berdecak, ck ck ck. Ia putar langkah kembali ke beanbag. Dalam hati bertanya-tanya, aku sangat percaya pada inderaku. Jika yang aku alami di masa lalu adalah ”kenyataan”. Maka apa yang baru saja aku alami kini pun pasti kenyataan yang sama. Aku tidak boleh mengabaikan momen bagus untuk memperbaiki perasaan selama tinggal di tempat ini. Hanya karena cerita Susi yang bisa jadi juga baru saja dia karang sendiri. Sungguh menyebalkan sekali. Susi menghampiri Gio. Belum menyerah menyelamatkan pemuda itu dari terjerumus ke lembah kegelapan semakin dalam, ”Gio, sekarang aku sudah percaya padamu. Seribu satu persen percaya. Karena itu aku mohon juga padamu agar percaya jugalah padaku. Sepertinya memang ada hal yang benar-benar tidak beres mengenai kampung ini beserta semua orang yang tinggal di dalamnya. Kita harus segera keluar dari sini, bro…” ajaknya seraya mengulurkan telapak tangan. Hampir seluruh badan pemuda itu basah kuyup oleh keringat dingin perasaan tidak enak. MEREKA HARUS MELARIKAN DIRI SAAT INI JUGA ATAU… atau… atau hal lebih buruk akan terjadi. Sesuatu yang bahkan sama sekali tidak ingin Susi bayangkan. Plok. Gio menepuk santai telapak tangan sobatnya. Ia tersenyum tipis. Membantah seluruh tudingan yang baru saja anak itu lontarkan, “Rasa makanan enak yang Bu Wati hidangkan tadi saja masih terasa jelas di mulutku. Bagaimana bisa itu terjadi kalau yang kamu katakan benar? Hewan kecil melata? Bangkai tubuh serangga? Daging hewan busuk? “Ck ck ck, maaf saja nih, bro. Sepertinya sekarang kamu yang harus pindah haluan jadi mahasiswa kesenian. Karena memiliki kemampuan daya bayang ruang luar biasa.” Sial, bagaimana cara memberitahu orang ini, batin Susi dalam hati jadi gemas sendiri. Pasalnya ia jadi merasa punya tanggung jawab moral. Karena sudah membuat Gio berada dalam “tahap” ini. Jika sejak awal ia sudah “percaya” dan menganggap serius cerita pemuda itu. Mungkin yang ia alami sekarang akan lain cerita… ”Aku minta maaf, bro. Aku benar-benar minta maaf karena sudah menyepelekan apa yang kamu alami di perkampungan tidak jelas ini. Karena itu aku mohon kamu menganggap serius ucapanku. Apa yang baru saja dicerna oleh lambungmu itu bukan makanan manusia. Hewan ’sehat’ pun aku tidak yakin ada yang bersedia mencicipinya. Percayalah padaku, Gi,” pohon Susi sepenuh hati. Di luar ia berusaha tampak baik-baik saja. Meski di dalam sebenarnya ia masih belum bisa sepenuhnya melupakan. Sensai mengerikan saat memakan semua... sampah itu. Kedua tangannya masih gemetaran dengan kedua kaki yang belum bisa berdiri sekuat tenaga. Glekh. Gio menegakkan punggung. Menaruh dua lengan bawah di atas lutut. Bertanya, ”Sebelum kamu datang tadi pagi sebenarnya aku sudah membicarakan beberapa hal dengan Ardan, bro.” ”Soal apa?” tanya Susi mengernyitkan dahi. Merasa ganjil. Kenapa tiba-tiba Gio mengalihkan pembicaraan? Gio melanjutkan, ”Kata dia di kota yang tidak terlalu besar seperti ini. Yang namanya rumor itu bisa menyebar dengan mudah. Sampai hal yang sangat intim mengenai diri kita sendiri juga bisa saja diketahui orang dari kampung di seberang.” ”Gi, Gi, Gio, jangan buat aku takut, bro. Gelagatmu sekarang benar-benar menyeramkan,” pinta Susi. Akankah hal yang ia khawatirkan jadi kenyataan? Secepat ini? Gio tersenyum lebar. Sesuatu yang tentu saja membuat perasaan pemuda di depannya jadi semakin tidak karu-karuan. Jantung berdebar dengan kencang. Nafas mulai terasa tidak bebas. Semua karena situasi tidak jelas yang tengah ia alami. Orang tuaku sendiri mulai terlihat ”belangnya”. Jika sampai sahabatku juga… ”Aku bertanya-tanya saja, bro,” lanjut Gio, “Apa kamu benar-benar tidak mengetahui apa pun mengenai kampung Tangga Teparo sebelumnya? Lha wong orang kota ini yang pertama aku temui di bus saja tau kok soal kampung ini,” ucapnya. Cenderung menuding bahwa Susi sendiri telah ”memainkan” sesuatu di ”balik tirai”. Cerita baru. Bisa jadi? Segera ie gelengkan kepalanya cepat. Susi benar-benar tak kuasa berpikir dengan sehat. Pribadi yang biasa ”memudahkan” saja masalah apa pun yang menimpa diri tiba-tiba seperti hilang entah ke mana. Ia benar-benar panik saat ini. ”Tidak ada, bro. Sepanjang umurku tinggal di kota ini belum pernah satu kali pun mendengar yang namanya kampung Tangga Teparo. Iya, benar. Aku sama sekali tidak tau men…” ”Ah, masa, sih,” balas Gio antipati. “Orang yang kamu temui saat pertama tiba di kota ini itu… dari mana dia berasal?” tanya Susi. ”Ah, iya. Bicara soal itu dia tinggal di kampung seberang yang punya nama kampung Pepa… Pepa… Pepadhane Pati,” jawab Gio datar. APALAGI ITU?! ”Selama tinggal di sini aku belum pernah dengar nama itu, Gi,” beritahu Susi. Gio yang merasa Susi hanya sedang mempermainkannya menyalakan layar ponsel cerdas. Mengetik nama kampung Tangga Teparo dan kampung Pepadhane Pati. Not Found. ”Bagaimana? Pasti tidak ada, ‘kan?” tanya Susi menantang. Ingin meluruskan situasi yang terasa hanya makin membingungkan. “Ya dua kampung ini juga pasti hanya daerah kecil, ‘kan?” balas Gio mengangkat kepala melihat wajah Susi yang cemas, “Bisa jadi tidak terdaftar karena ini hanya wilayah yang dihuni beberapa orang saja. Lagipula orang-orang lain di luar sana juga tau kok soal kampung Tangga Teparo. Mungkin mainmu saja yang kurang jauh, bro.” Hhh… hhh… hhh… Nafas Susi semakin sesak. Seperti ada gumpalan hitam tak terlihat tersangkut di batang tenggorokan. Sangat menyakitkan. Tapi, perasaan itu tak sanggup ia utarakan. Tep tep tep. Tubuhnya yang kesulitan mempertahankan keseimbangan. Beranjak mundur, mundur, mundur hingga terhentikan tembok. Zruutt. Ia jatuhkan bokongnya ke lantai. Gio mendirikan tubuh dan menghampiri sobatnya. Berjongkok di depan Susi dan berkata dengan wajah simpati, “Seharusnya aku tidak mengatakan hal seperti itu, bro. Aku minta maaf.” ”Kalau kau serius ingin meminta maaf…” ucap Susi, ”…kita harus segera pergi dari sini. Aku tidak ingin kau mengalami sesuatu yang lebih buruk dari yang baru saja kita alami barusa, Gi. ”Kampung ini bukanlah tempat biasa. Begitu juga dengan para warga di dalamnya. ”Apa kamu bersedia menjadi salah satu dari mereka?” tanya Susi. Gio tersenyum kecil. Merasa Susi sudah mulai sentimentil. Menjawab, “Itu tidak akan pernah terjadi, bro. Sampai detik ini pun aku belum melupakan semua yang pernah kualami di sini. Hanya saja terdapat sikon yang membuatku tak bisa pergi…” ”APA?!” tanya Susi. Gio menggelengkan kepalanya pelan. Menjawab, ”Kamu tidak akan paham, Sus. Yang jadi pilihanku sekarang hanyalah berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan ini. Itu kenapa aku memintamu ke sini. Agar aku bisa memastikan sendiri… ”…batas antara kenyataan dan imajinasi.” ”Gio,” panggil Susi lemah. Rasanya tadi itu belum juga ada satu jam sejak ia tiba di perkampungan ini. Ia telah mengalami berbagai macam hal yang dinalar logika. Mulai dari seorang anak kecil tak berdosa yang diperlakukan sangat mengerikan di pinggir jalan. Sampai hidangan tidak masuk akal yang disajikan oleh tetangga… ah!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN