28: Menghadapi [F]

1391 Kata
Melihat Susi mendirikan tubuh dan melangkah menuju barang-barangnya. Gio bertanya, ”Kamu mau apa, Sus?” ”Sepertinya aku tidak bisa berada di sini lebih lama, Gi. Aku bisa sungguh jadi orang gila,” jawab Susi pelan. Berjongkok di sisi tas dan barang-barangnya yang berceceran di sekitar sana. Ia rapikan asal-asalan. Yang penting masuk dan resleting bisa ditutup. Gio menarik salah satu pergelangan tangan sobatnya. Bertanya, “Bukan seperti ini perjanjian kita, ‘kan?” ”Apa yang kita sepakati tempo hari hanya berlaku jika ternyata perkampungan sial ini ternyata baik-baik saja, Gi,” jawab Susi sedikit meninggikan oktaf suara. ”Bukankah kamu masih harus mencari tahu apa ada hubungan antara diriku dan perubahan… maksudku sikap kedua orang tuamu selama ini?” tanya Gio lagi. Susi menggelengkan kepala. Menjawab, ”Sudah tidak perlu lagi. Aku baru saja disadarkan bahwa situasi hidup yang ideal dan damai itu ternyata yang paling baik. Paling ideal. Bahkan jika berarti kita tidak tau apa pun.” ”SUSI!” panggil Gio. Berkeras menahan pemuda itu tetap berada di sana. Walau hanya untuk satu malam saja. Satu malam saja… Akan tetapi, Susi pun kukuh pada keputusannya untuk pergi. Perasaan yang tidak bisa ditahan lagi harus segera dibebaskan. Itu hanya bisa didapatkan di luar sana. Di mana saja asal bukan di kampung yang… bukan main plot twist-nya ini. Aku harus segera kembali memulihkan kewarasanku di luar sana. Peduli iblis lah aku harus ke mana setelah ini, batin Susi. Mengabaikan Gio yang tetap meminta ia bertahan. No more reason. Tidak ada alasan lain lagi. “Bro!” panggil Gio saat Susi sedang membuka pintu gerbang. “Aku minta maaf, Gi. Kita bertemu lagi saja di kampus beberapa hari ke depan. Jangan hubungi aku, oke,” pintanya tanpa memandang wajah Gio. ”Setelah ini kau akan ke mana?” tanya Gio. Susi menjawab, ”Tidak seperti kamu, ya. Temanku itu ada banyak. Jarang-jarang juga bisa terlepas dari pengawasan orang tua. Aku akan pergi ke kos-kosan salah satu dari mereka.” ”Kalau kau tetap berkeras pergi. Aku tidak bisa mengantarmu ke gapura depan kampung. Aku tidak mau sampai…” ucapan Gio terputus saat ia kembali membayangkan. Masa lalu yang tengah berusaha dilupakan. Susi tersenyum. Ia menjawab, ”Don’t worry. Aku masih hapal jalannya, kok. Malah aku harus minta maaf karena sudah menghancurkan rencana kita hari ini.” ”Aku mengerti,” jawab Gio. Berusaha memahami. Dan kedua pemuda itu pun terpisah di sana. Susi dengan jalan yang ia tapaki. Gio dengan kenyataan yang berusaha ia hadapi. Semua akan baik-baik saja. Semoga. Susi di jalanan sepi perkampungan Tangga Teparo yang berukuran sedang. Menyusuri lagi langkah yang membawanya ke rumah sewaan Gio dari gapura jalan masuk menuju kampung tersebut. Semua biasa saja… Tidak ada yang aneh dengan lingkungan di sana… Situasi sepinya biasa… Bagaimana tidak ada satu orang pun di sana biasa… Bahkan bagaimana betapa sunyinya suasana pun biasa… Tidak ada yang berbeda. Yang harus aku dapatkan sekarang gapura itu. Jalan keluar dari perkampungan terkutuk ini, batin Susi. Berusaha memberi afirmasi sebaik mungkin pada diri sendiri. Berjalan… berjalan… berjalan… Tep tep tep. Berjalan… berjalan… berjalan… Tep tep tep. Berjalan… berjalan… berjalan… Dan Susi mulai menyadari keanehan. Ia amati setiap susunan rumah-rumah di sana. Jika ingatannya benar seharusnya… Tapi, yang tersaji di hadapannya mengatakan hal lain. Rumah dengan dinding berwarna pink mencolok yang harusnya ada di sisi kiri di jalan tadi. Kenapa bisa tetap ada di sisi kiri juga saat ia menapaki jalan kembali yang seharusnya ada di sisi sebaliknya? Kenapa jadi seperti ini? Karena terik matahari terasa semakin membakar permukaan kulit. Dan Susi tidak mau membuang waktu lebih lama tetap berada di sana. Ia pun hanya kembali… Berjalan… berjalan… berjalan… Semakin cepat! Semakin cepat! Tepteptepteptepteptepteptepteptepteptep! Berjalan… berjalan… berjalan… Tepteptepteptepteptepteptepteptepteptep!!! Berjalan! Berjalan! Berjalan! Semakin lama ia melangkah. Semakin dalam juga keyakinan bahwa ia sedang “dipermainkan”. Ada yang tidak benar… memang, sih… dengan lingkungan itu. Seperti terdapat permainan pikiran yang membuat ia terus menerus saksikan sesuatu yang berbeda dari biasanya. Semua tidak bisa terus dibiarkan! ”Jika aku terus mengikuti permainan ’mereka’. Entah siapa mereka. Aku akan terus berada dalam labirin perkampungan Tangga Teparo. Bisa jadi sampai waktu tidak terbatas? Aku tidak tau. Yang jelas hanya ada satu cara untuk benar-benar keluar dari tempat ini…” Susi kembali melangkahkan kakinya dengan cepat. Di dalam hati ia menanamkan keyakinan bahwa yang jadi tujuannya adalah rumah sewaan Gio. Bukan yang lain. Bukan yang lain. Bukan yang lain. Bukan yang lain. Bukan yang lain. Bukan yang lain. Bukan yang lain! Dan… benar saja. Akhirnya… entah bagaimana… ia sungguhan sampai di rumah sewaan Gio. Tidak ada satu orang pun tampak di sekitar sana. Susi juga bukannya ingin bertemu dengan orang lain. Ia hanya berpikiran untuk mencoba cara selanjutnya. Ia akan berjalan ke gapura depan dengan orientasi ingin mencapai rumah sewaan sahabatnya. Terdengar bertentangan? Mungkin memang begitu. Tapi, ia merasa tak ada cara lain untuk mengelebui pengelabu kecuali dengan menjadi seorang pengelabu! Melangkah… melangkah… melangkah… Tepteptepteptepteptep!!! Melangkah dengan cepat… Sekuat yang ia mampu... Tepteptepteptepteptep!!! Melangkah! Melangkah! Terus melangkah! Tiba-tiba Susi kembali bertemu dengan penampakan rumah sewaan Giorsal. Oke, tidak masalah, batinnya berusaha optimis. Sekalipun tidak peduli berapa lama ia telah melangkah. Bayangan semua hal di sekitarnya tak juga berubah. Apakah posisi mataharinya tetap, ia bertanya dalam hati. Melihat ke arah langit yang masih terik. Padahal (harusnya) sudah cukup sore. Jauh di kedalaman hati Susi masih percaya jika semua hanya sekadar permainan pikiran belaka. Sama seperti yang terjadi pada kedua orang tuanya. Ini semua pasti tidak nyata. Aku hanya harus terus berlari dengan sekuat tenaga. Untuk keluar dari segala batas akan akal pikiran. Dan itulah yang ia lakukan. Sampai ketika suhu udara jadi semakin sejuk. Dan langit perlahan semakin gelap. Susi tidak, tidak, tidak satu kali pun berhasil ”melepaskan” diri dari ”siklus” yang membuat ia kembali ke depan rumah sewaan Gio. Mulut Susi kering melongo berusaha menakar situasi. Ini seperti reverse dari kejadian sebelumnya. Dan ia merasa sudah tidak ada jalan keluar dari kegilaan. Kleng kleng kleng. Beberapa kali ia pukul pagar rumah sewaan Gio. Walau pasti akan menggelikan untuk mengatakan peristiwa yang baru saja ia alami. Jauh dalam hati masih ada keyakinan bahwa… “Pasti ada penjelasan masuk akal untuk semua ini.” Harapnya. Cklek. Gio membuka pintu ruang tamu. Terkejut melihat sang sobat. Ia persilahkan pemuda yang tampak sangat kelelahan dengan deras kucuran peluh di sekujur tubuh itu masuk. ”Terima kasih, bro,” ucap Susi beranjak memasuki ruang tamu rumah sewaan Gio. ”Apa yang terjadi, Sus? Kenapa baru satu menit kamu pergi sudah kembali?” tanya si tuan rumah. Dengan gerakan kaku leher Susi beranjak menoleh ke arah wajah Gio yang tampak ”prihatin”. ”Apa baru saja kau bilang? Aku baru pergi berapa lama?” tanyanya. Gio melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kiri. Menjawab, ”Aku tidak yakin. Yang jelas aku ke kamar saat kamu pergi. Dan ketika kembali ke ruang tamu. Baru saja ingin menyalakan televisi kamu sudah…” Lagi. Dengan gerakan patah-patah. Susi menoleh melihat pemandangan di luar jendela. Bagaimana langit yang tadi sudah gelap saat ia berada di luar. Menjadi secerah hidup… siapa saja, lah. Yang jelas bukan hidupnya. Bruukh. Gio yang panik melihat sobatnya tiba-tiba ambruk segera berlutut kebingungan. Kepada siapa ia harus meminta pertolongan? Ketika yang namanya teriakan tak lagi memiliki makna. Kecuali simbol dari rasa putus asa. ”Sus… Sus… Sus…” panggil Gio pelan seraya menggoyang-goyang tubuh pemuda berkulit nyaris pucat pasi itu. “Susi…” Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ Keesokan harinya. Gio yang memutuskan tidur di ruang tamu karena sejak kemarin Susi sama sekali belum sadarkan diri. Ingin rasa hati memanggil ambulans, tapi berbagai kekhawatiran kembali hantui perasaan. Dan pagi hari pun datang begitu saja. Gio membuka mata. Mendapati Susi tak ada di mana pun. Saat bahkan pagar dan pintu ruang tamunya masih terkunci rapat. ”Haa… aakh… aaakh… ahhh… tolong… tol…” Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ Di kediaman keluarga Tanaya. Tuan Sudirman Tanaya dan istrinya Nyonya Gisselda Tanaya tengah berdiri bersisian di teras depan rumah mereka. Melihat lurus ke arah bawah. Menyaksikan bagaimana tubuh seorang pemuda. Yang satu tahun lagi akan memasuki usia kepala dua. Tengah berbaring dengan kesadaran tipis nyaris tanpa daya. “Papa… Mama…” ia memanggil tanpa daya. Sepasang suami istri itu hanya melihat putra bungsu mereka dengan tatapan mata hampa. Seperti berpasrah pada sesuatu yang ”tak” ada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN