29: Jangan Coba Mengerti

1429 Kata
Hari Senin beberapa hari kemudian. Sejak saat ”itu” sampai hari di mana mereka harusnya bertemu di kampus. Baik Gio maupun Susi sama sekali tak menghubungi atau saling bicara satu sama lain. Seolah tak ada hal yang ingin mereka konfirmasi. Hanya membiarkan semua berjalan seolah tak ada yang pernah terjadi. Hal itu tentu membuat Ardan bertanya-tanya. Apa gerangan yang terjadi pada dua sobatnya? Sepertinya terakhir bertemu kemarin baik-baik saja, deh. Kenapa hari ini jadi seperti saling bermusuhan saja? Karena Susi sendiri anak yang cukup gaul. Tidak ada masalah dengan kehidupan sosialnya jika ”bermusuhan” dengan seseorang seperti Gio yang ”bukan” siapa pun itu. Yang buat Ardan prihati justru kondisi Gio yang jadi benar-benar terasingkan. Anak-anak lain tidak banyak bersedia membuat kontak dengannya. Sementara ia selalu memasang sikap eksklusif seolah tidak membutuhkan siapa pun untuk berhubungan dengannya. Ardan yang sebenarnya hanya anak normal rata-rata air mahasiswa di sana. Hari itu memutuskan mendekati Gio saja. Ia khawatir Gio dan Susi terlibat masalah serius. Dalam situasi seperti itu orang seperti Gio tampaknya mudah berubah jadi impulsif dan memutuskan menghabisi nyawa sendiri. Amit-amit jabang baby. Đ ≠ Ă ≠ Ŕ ≠ Ķ . Ħ ≠ Ė ≠ Į ≠ Ŕ Di kantin saat waktu bebas kampus. Gio seperti hari-hari biasa dalam hidupnya sebagai seorang mahasiswa muda. Hanya berkumpul dengan sahabat sejatinya yaitu beberapa buah gawai. Untung saja ia selalu mampu menemukan hal baru yang harus dilakukan. Ia ingin memenuhi isi kepala dengan apa saja. Yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang ia alami. Plok. Ardan menepuk salah satu pundak pemuda ”keren” itu dari belakang. Melangkahi bangku dan duduk di sisinya. Dengan intonasi ramah menyapa, ”Hai, bro.” Gio malah tampak kaget melihat Ardan. ”Lho, kapan kamu kembali, bro?” tanyanya. Wah, sampai acara lupa kalau kita baru saja bertemu akhir minggu kemarin. Sepertinya cukup serius, ya. ”Sudahlah, tidak penting. Apa yang terjadi denganmu dan Susi? Kenapa kalian kelihatan saling mendiamkan begitu?” tanya Ardan. Gio kembali melihat layar laptop di atas meja. Menggaruk bagian bawah kepala yang tidak gatal. Menjawab, “Bukan hal penting, sih.” “Yah, aku tau dalam kehidupan manusia itu pasti ada saja yang namanya turun naik dalam hubungan. Yang jelas apa pun yang terjadi pada kalian… jangan sampai semua terjadi hanya karena salah paham,” nasihat Ardan. Gio menoleh sedikit ke arah pemuda di sampingnya. Bertanya, ”Salah paham macam apa yang kau maksud?” “Yaahh, seperti… perbedaan persepsi?” jawab Ardan tenang, “Habis berdasar pengalamanku. Yang namanya manusia itu paling sering berubah dari teman jadi musuh bebuyutan hanya karena hal yang enggan mereka katakan. Akhirnya menyebabkan perbedaan sudut pandang yang berujung pada perselisihan. ”Hal semacam itu… ironis sekali, bukan?” tanya Ardan. Hhh. Gio menghela nafas tanpa suara. Bagaimana bisa ia jelaskan pada pemuda di sampingnya. Bahwa sama sekali “tak” ada perselisihan di antara mereka. Tidak ada perbedaan pendapat. Yang ada hanya perasaan kurang nyaman untuk melakukan konfirmasi pada kenyataan. Dalam hati Gio bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi pada Susi? Apa dia mengalami sesuatu seperti yang aku alami? Dan lagi… ke mana dia pergi saat tiba pagi hari? Mengapa ia meninggalkan rumah sewaannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun? Apakah Susi merasa marah? Tidak terima? Tertekan? Apa semua salahku? Sementara dalam hati Susi turut bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi padaku kemarin? Apa semua nyata? Apa bukan Gio sendiri yang buat aku alami semuanya? Bagaimana bisa aku hilang kesadaran di rumahnya dan malah terbangun di… akh! Sungguh ingatan yang tidak ingin aku putar kembali. Bagaimanapun juga… terdapat beberapa batasan. Untuk hal yang ingin mereka berdua ucapkan. Karena Gio tak segera menjawab. Ardan jadi mengamati lebih lekat raut wajah tidak biasa pemuda itu. Sepertinya ada yang salah. Ia pun memutuskan bertanya, ”Kamu juga… sepertinya lagi kurang sehat, ya?” Gio menjatuhkan dagu di permukaan meja. ”Sepertinya begitu. Aku sudah merasa tidak enak badan sejak beberapa hari terakhir.” Segera ia tegakkan lagi punggung. ”Tapi, ini bukan masalah. Aku akan segera kembali baik-baik saja tidak lama lagi.” Ia menyentuh dahi Gio dengan punggung tangan. Cukup hangat. ”Lebih baik kamu ke rumah sakit, deh. Kalau sedang merantau di kota lain dan tidak ada keluarga itu jangan main-main dengan kesehatan. Aku tidak mau saja tiba-tiba kamu ditemukan sudah jadi mayat beberapa hari ke depan,” saran Ardan. ”Sialan. Kamu mendoakan aku cepat mati, ya,” balas Gio tersenyum kecil dengan sepasang bibir kering. Ardan tidak membalas lagi. Dan hari ”ketiga” pemuda itu pun berlanjut begitu saja. seolah ”tak” pernah ada masalah di antara mereka. Đ ≠ Ă ≠ Ŕ ≠ Ķ . Ħ ≠ Ė ≠ Į ≠ Ŕ Usai kegiatan belajar mengajar di kelas. Gio yang merasa kondisi tubuhnya jadi semakin berlawanan dengan yang ia harapkan. Melangkah lemah menuju pintu keluar. Sepertinya ia akan naik taksi online saja. Keadaannya sekarang kurang mendukung gerakan cinta lingkungan. Tap tap tap. Gio merasa seperti ada suara langkah tengah mengikutinya. Tapi… Tap tap tap. Suara itu muncul lagi. Siapa itu? Apa itu? Pertanyaan demi pertanyaan hanya bisa terus bermunculan dalam d**a. Tidak kuasa menolehkan kepala. Memfokuskan kekuatan kiri pada kaki yang dipaksa melangkah semakin cepat. Sesuatu yang tidak terlihat telah menaruh bidikan pada jiwa. Aku harus… Aku harus… Aku harus… Plok. ”Gi,” panggil seseorang. ”HAAAAAKH!” teriak Gio sampai tubuhnya terjatuh. Bruukh. Ardan yang terkejut melihat reaksi tak terduga Gio segera mengulurkan tangan membantu pemuda kembali bangkit. ”Are you okey, bro?” tanyanya lirih, ”Apa kamu baik-baik saja?” Beberapa mahasiswa lain di sekitar sana, termasuk Susi, yang lewat memilih mengabaikan. Siapa juga Gio sampai harus mendapat perhatian mereka. Dengan tubuh gemetar Gio menyambut uluran tangan Ardan. Kembali melangkah dibantu olehnya. “Kamu aku antar pulang saja, ya,” tawar Ardan membuka percakapan mereka. Saat keduanya telah sampai di bagian depan gedung kampus. Hah. Sirine tanda bahaya kembali menyala dalam kepala. Bagaimana bisa Ardan yang masih “suci” tidak mengetahui apa pun mengenai kengerian kampung itu ia biarkan mengantarnya ke sana. Aku tidak ingin lagi ada hubungan yang dirusak oleh kenyataan itu, batin Gio, awalnya hubunganku dengan Papa. Hubunganku dengan Susi. Kalau pertemananku dengan Ardan pun harus berakhir gara-gara “mereka”. Demi Tuhan aku tidak akan pernah rela. ”Aku tidak mau merepotkan. Aku ingin pulang naik taksi online saja,” tolak Gio pelan. ”Dengan penampilan mentereng begini. Aku sedikit cemas kalau kamu sampai naik kendaraan seperti itu, bro,” peringat Ardan. Khawatir berlebihan. ”…” Sebenarnya Gio ingin menolak lagi. Tapi, karena rasa sakit yang tengah mencengkram dirinya semakin sulit ditoleransi… ia berakhir mengikuti langkah pemuda itu ke mobilnya di parkiran. Saat Ardan akan masuk ke kursi kemudi Mercedes Benz sport dengan tipe AMG GT-S berwarna merah segar itu. Tiba-tiba ia tarik kembali kakinya. “Ada apa, bro?” tanya Gio lemas. “Aku lupa belum shalat Dzuhur, bro. Sudah mepet waktunya. Aku tinggal sebentar, ya,” jawabnya meminta izin. Blam. Pintu pun tertutup dari luar. Gio di tempat duduk langsung berpikir, ”Selama ada di luar negeri dia pasti tidak pernah shalat.” Ia tutup kedua matanya dengan salah satu lengan bawah. Gio pun memejamkan kedua mata. Berusaha menetralisir rasa tidak nyaman yang tengah mengaduk-aduk bagian dalamnya. … … … Ardan yang sudah selesai menunaikan sholat wajib, meski di akhir waktu, itu kembali sambil menenteng sebuah kresek berisi obat dan vitamin. Melihat sobatnya sedang tertidur lelap. Ia masukkan saja keresek itu ke dalam tas Gio. Saat siap tarik gas… “Rumahnya di mana, ya?” tanya pemuda itu dengan dagu di atas kedua tangan yang bertumpuk di kemudi. “Mau bangunkan tidak enak. Ingin ditunggu bangun mau sampai kapan?” ”HAAAAAARRGGH!!!” teriak Gio tersentak seperti kesetanan. Bangun dari mimpi ”panjang”. ”Ada apa, Gi?” tanya Ardan. Berusaha tenang mengatur emosi. Tanpa menjawab Gio membuka pintu mobil Ardan dan beranjak turun. Dari luar ia berkata, ”Terima kasih atas niat baiknya. Tapi, sebaiknya kamu tidak berhubungan dengan tempat tinggalku.” Ardan yang hanya semakin dibuat kebingungan bertanya, “Maksudmu apa, sih? Apa itu ada hubungannya dengan penyebab kamu dan Susi bertengkar?” Gio menggelengkan kepala pelan. Menjawab, ”Sebaiknya kamu tidak mengetahui apa pun, bro. Dan jangan coba-coba cari tahu. Karena ada kalanya… ketidaktahuan jadi sesuatu yang paling diinginkan. ”Untuk beberapa alasan.” ”Gio! Gio! Gi, Gi, Gi!” panggil Ardan belum menyerah dari dalam mobil. Namun, pemuda bertampang berantakan itu tidak menggubris. Bahkan tidak menolehkan wajah. Hanya ingin kembali menyusuri jalan yang menariknya menuju kegelapan tanpa tepian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN