Keesokan harinya. Sudah nyaris seharian ini Gio hanya bisa terbaring tanpa daya di atas tempat tidur. Ia yang tidak begitu suka panas sampai mematikan pendingin ruangan karena tubuhnya terus terasa dikungkung oleh hawa dingin tidak nyaman. Bukan dingin sepoi-sepoi ala iklan panas dalam. Tapi, dingin gambaran neraka j*****m.
Keadaan Gio sudah seburuk itu tepat sejak Susi… entah bagaimana menghilang dari rumah sewaannya. Dan muncul kembali dengan raut wajah “tanpa dosa” di kampus.
”Perasaan aku tidak merasa habis melakukan sesuatu yang bisa buat sakit sampai seperti ini, deh,” pikir Gio ”kelelahan”. Bertarung dengan rasa sakit yang menggerogoti dari dalam.
Wuuussh… Di dalam ruangan yang pintu dan jendelanya tertutup rapat. Tiba-tiba ia rasakan hembusan angin entah dari mana. Angin yang seolah bawa pesan…
“Ini merupakan hukuman…”
Deg.
“Hu, Hukuman atas hal apa? Atas kesalahan… apa…?” tanya Gio ”terpancing”. Segera ia kendalikan lagi dirinya. Bisa berbahaya jika ia mudah disulut sesuatu yang tak jelas keabsahannya. Keberadaan maupun kenyataannya.
Jika aku biarkan itu aku bisa benar-benar…
Situasinya saat ini Gio tidak miliki siapa pun yang ”bisa” beri ia bantuan. Tidak, tidak, tidak. Bukan karena ia benar-benar tak bisa minta tolong pada siapa pun. Lebih karena… ”Aku jarang menghubungi siapa pun saat ada di sini. Aku baru sadar baik sinyal telpon maupun sinyal internet tempat ini benar-benar sampah,” keluhnya lirih. Selama ini ia selalu menggunakan wifi pribadi. Peduli setan dengan sinyal yang tipis. Tapi, kenapa justru di saat mendesak begini malah…
”Router-nya rusak. Ampas!”
Gio hela nafas berat, haaaaarkh. Dadanya terasa sangat sesak. Seperti ada gumpalan kapas menghalangi laju nafas. Kepala sangat pusing seperti berputar-putar tujuh keliling. Keringat dingin tidak berhenti menetes basahi sekujur tubuh, pakaian, dan ranjang. Kedua tangan dan tungkai kehilangan seluruh tenaga. Buat ia bahkan tidak kuasa walau untuk hanya…
“Aku belum makan apa pun sejak kemarin,” ratapnya putus asa.
Mari kita kesampingkan dulu masalah soal misteri yang ada di balik identitas masa lalu atau apa pun yang menyangkut Giorsal Sr. papanya. Mari kita kesampingkan dulu masalah soal perkampungan di mana begitu banyak hal mengerikan telah terjadi. Mari kita kesampingkan dulu masalah mengenai teman-teman kuliah yang hanya datang saat ingin memanfaatkan.
Mari kita kesampingkan dulu itu semua!
Yang jadi masalah utama sekarang… selain tubuhku yang semakin lemah akibat penyakit tanah antah berantah. Aku kelaparan berat… Saking kelaparannya Gio. Ia sampai melihat barang-barang di sekitar sana tampak menggandakan diri.
Apakah pada akhirnya… ia malah akan kehilangan nyawa karena alasan semacam itu? Kelaparan?
”Yang benar saja,” jawabnya pada pertanyaan yang baru terlontar dalam pikiran. Mungkin Gio Jr. memang tidak ”sekuat” anak lain yang sejak kecil telah hidup di lingkungan keras penuh perjuangan berat. Tapi, itu sama sekali tidak buat hidupnya sendiri jadi begitu saja terasa mudah. Ia pun miliki daya juang. Yang buat ia tak akan kalah hanya dari rasa sakit ”sederhana”.
”Yang paling mungkin jadi penyebab kematianku sekarang adalah keinginan untuk hanya diam menunggu pertolongan,” pikirnya seraya berusaha bangkit. Menunggu pertolongan di kampung yang mulai dari lingkungan, penduduk, sampai penunggunya sama-sama seperti demit begini. Sama saja cari mati.
”Haahhh,” Gio menghela nafas kala akhirnya berhasil mendudukkan tubuh di tepian tempat tidur. Selama ini ia sudah ”biasa” hidup sendiri. Hanya bedanya jika dulu sendiri di sebuah rumah. Sekarang sendiri di sebuah perkampungan.
Tidak ada bedanya, batin pemuda itu. Berusaha meraih pegangan di sekitar agar bisa berdiri dan mulai berjalan. Perlahan-lahan menuju dapur untuk mencari makanan. Dan…
Bagaimana bisa tidak ada apa pun yang bisa aku konsumsi di sini, tanyanya dalam hati. Ingatannya tidak begitu baik. Ia sendiri tidak yakin apakah memang memiliki makanan. Sekadar mie instant pun tidak ada.
Benar-benar mengerikan, batinnya lagi mengernyitkan dahi. Tangan kanan meremas perut. Sementara tangan kiri mencengkram kepala.
Aha, untung saja zaman sekarang sudah ada yang namanya memesan makanan online!
Wajah Gio kembali sedih saat mengingat sedang tidak ada sinyal internet di tempat itu. Jalan buntu tersaji di depan mata. Seolah pilihan apa pun yang diambil akan mengantar pada kematian.
PLOK PLOK PLOK. Ia tepuk-tepuk kencang kedua pipi. Beri semangat pada diri sendiri. ”Kamu tidak… boleh manja… Giorsal!” pintanya pada diri. Dan…
Bruukh!
”Aku akan benar-benar mat…
”…”
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ
Sementara itu di kampus The Mockingbird University. Ardan yang biasa aktif bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan para mahasiswa lain. Hari itu tampak jauh lebih pendiam dan mengasingkan diri. Dunianya dengan sang sohib Susi pun seolah terasa terpisah. Hal itu menimbulkan desas-desus di antara para mahasiswa lain.
”Habis balik dari luar negeri kenapa si Ardan malah jadi begitu, dah?” tanya seorang mahasiswa pada teman-temannya.
”Kemarin aku lihat dia memasukkan si Gio ke mobilnya, sih,” beritahu seorang mahasiswi.
“Apa yang mereka lakukan setelah itu?” tanya seorang mahasiswa.
”Kenapa kalian harus menyangkutpautkan sikap aneh Ardan hari ini dengan Gio, sih?” tanya Susi yang ada di antara mereka. Melontarkan pertanyaan tidak suka.
”Lha, kenapa malah jadi kamu yang baper sih, Sus? Yang sedang kita bicarakan sekarang itu kan Gio dan Ardan,” respon seorang mahasiswa sewot.
”Iya nih Susi baper banget. Padahal kan normal saja kalau menghubungkan sikap aneh anak itu dengan hal yang baru dia alami kemarin,” tambah seorang mahasiswi.
”Kira-kira mereka berdua mau apa, ya?”
”Kira-kira mereka berdua melakukan hal apa, ya?”
”Kira-kira dua anak itu habis ngapain, ya?”
Baper kalian bilang, batin Susi semakin sensi. Sejak kejadian hari itu. Emosinya memang jadi sangat mudah tersulut bahkan jika oleh hal paling sederhana. Tapi, untuk menjaga kehidupan sosialnya tetap berjalan normal. Ia tak boleh menunjukkan ketidaksetujuan pada lingkungan lebih dari ini.
”Habis Gio itu kan sedikit dalam tanpa kutip, yah. Jadi, rasanya wajar saja kan kalau kita mengaitkan hal aneh yang terjadi pada anak normal seperti Ardan kalau berhubungan dengannya,” ucap seorang mahasiswi tukang rumpi. Semakin mengompori ghibahan grup para lelaki di siang hari.
Mendengar itu membuat Susi melihat teman-temannya dengan pandangan semakin sinis. Dalam hati berpikir, bisa-bisanya kalian semua anak yang pernah “dibantu” oleh Gio mengatakan hal begitu soal dia saat tidak ada.
Ya Tuhan, ampunilah aku jika memang melakukan hal seperti itu merupakan kesalahan, pohonnya melihat langit. Suatu tempat yang mungkin jadi lokasi keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
”Yah, tapi kalau sampai terjadi sesuatu pada Gio dan dia tidak masuk lagi setelah ini… masa depan kehidupan perkuliahanku kemungkinan besar bisa jadi suram, sih,” ucap seorang mahasiswa jujur. Melanjutkan ucapannya dengan tawa ringan, ”Ha ha ha.”
Harus ia akui sendiri. Seorang Susilo Dirman Tanaya bukan orang yang baik baik banget. Bukan orang yang benar-benar suci. Bersih. Baik. Tidak pernah berkata kasar. Selalu menghindari segala macam bentuk pergunjingan. Bukan. Ia hanya seperti anak muda laki-laki pada umumnya yang menjadikan kesalahan sebagai kebiasaan walau tau itu tak akan pernah mengubahnya jadi kebenaran.
Tapi, untuk yang kali ini… ia benar-benar jengah mendengar berbagai macam ucapan buruk. Terus terlontarkan dialamatkan pada dua sahabat paling baik yang ia akui.
Zraakk.
”Mau ke mana kamu, Sus?” tanya seorang mahasiswa melihat pemuda di sampingnya mendirikan tubuh tanpa permisi.
Susi tersenyum kecil. Menjawab, ”Ada sesuatu yang harus aku urus sebentar. Kalau makananku datang nanti kalian habiskan saja.”
Beberapa orang anak di sana tersenyum dan melonjak senang. Walau itu hal yang biasa saja untuk sebagian orang. Mendapat makanan gratis untuk mahasiswa rantauan seperti mereka terasa cukup menggembirakan.
Susi berjalan menghampiri tempat Ardan duduk seorang diri. Tanpa mengutarakan apa pun hanya sedikit menyentuh pundaknya. Ardan yang langsung paham segera membereskan beberapa barang di atas meja. Berdiri dan mengikuti ke arah mana pemuda berpakaian kasual itu melangkah.