30: Neraka Tak Bertepi [B]

1400 Kata
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ Di salah satu bagian halaman kampus. Tempat terdapat beberapa bola beton yang biasa dipakai duduk berada. Baik Susi maupun Ardan mengakhiri langkah mereka. ”…” “Ada apa, Sus?” tanya Ardan membulai percakapan. Melihat tampaknya Susi kesulitan menemukan topik yang bisa dijadikan pancingan. Secara alam bawah sadar sebenarnya kedua pemuda itu sudah paham soal apa yang ingin mereka bicarakan. Tapi, masih ada perasaan tidak enak juga canggung terselip dalam perasaan. Bagaimana ya memulainya? ”Bukan itu kan… yang sebenarnya ingin kau tanyakan,” respon Susi. Tak berani memandang wajah kusut pemuda di sampingnya. Dengan cepat Ardan menjawab, ”Benar. Kita persingkat saja. Aku bingung apa yang membuat kamu menjauh dari Gio setelah terakhir kita bertemu kemarin.” ”Akan aku tunda jawabannya untuk nanti. Sekarang boleh ganti aku yang bertanya?” tanya Susi. Huuft, Ardan menghela nafas pendek. ”Tentu. Boleh saja asal bisa kujawab pasti akan aku jawab,” jawabnya mengalihkan pandangan ke tempat lain. ”Kata anak-anak kemarin Gio masuk ke dalam mobilmu. Apa kamu pergi ke suatu tempat bersamanya?” tanya Susi serius. Tak seperti yang ia janjikan barusan. Ardan tak langsung melontarkan jawaban melainkan terdiam untuk beberapa saat. Memikirkan pengolahan kata paling baik agar apa pun yang ia katakan tidak melahirkan kesalahpahaman berujung debat kusir. Karena gemas melihat kediaman sobatnya Susi bertanya lagi, ”Apa kamu sudah pergi ke perkampungan di mana rumah sewaan Gio berada? Apa kamu mengalami hal aneh selama berada di sana? Itukah yang buat kamu bersikap aneh seperti hari ini? Bagaimana dengan Gio sendiri? Apa dia baik-baik saj…” ”STOP!” teriak Ardan tiba-tiba. Memotong pertanyaan beruntun Susi yang entah di mana ujungnya. Ia acak-acak rambut di depan kepala. Pertanyaan Susi benar-benar hanya buat makin sakit kepala saja. Susi jauhkan tubuh dari Ardan. Menundukkan wajah dengan tampang tidak enak. ”Aku minta maaf. Sikapku memang berlebihan,” pohonnya. Ardan merespon, ”Tidak, tidak, tidak, bukannya seperti itu, Sus. Aku senang kalau ternyata kamu masih peduli pada sahabat kita yang misterius itu. Yang buat aku pusing hanya… mungkin kamu tau jawabannya.” ”Apa?” tanya Susi. ”Sebenarnya kemarin aku memang punya niat mengantar anak itu pulang ke rumah. karena dia terlihat tidak sehat sejak pagi,” ucap Ardan mulai bercerita, ”Tapi, saat aku kembali dari masjid usai sholat Dzuhur. Tiba-tiba dia terlihat seperti orang yang sangat ketakutan. Dan membatalkan kesediaannya aku antar.” ”Eh?” respon Susi pendek. ”Kamu tau sendiri kan Gio itu orang seperti apa? Tidak begitu sering menunjukkan ekspresi akan sesuatu. Gemar ’membantu’ orang lain dan… aku tidak begitu tau perkembangannya selama tidak masuk kuliah. Apa sudah terjadi sesuatu padanya?” tanya Ardan penasaran. Huuuffftt. Susi hanya bisa menghela nafas tanpa suara kala mendengar jawaban Ardan. Tidak bisa ia bayangkan jika pemuda baik sepertinya pun harus ”turut serta” dalam parade teror kampung Tangga Teparo. Yang jadi masalah sekarang hanya Gio. Apa dia masih bisa diselamatkan? Apa dirinya sendiri masih ”mau” mengusahakan keselamatan anak itu? Setelah semua yang ia alami sendiri di sana. Ia saksikan dengan kedua mata. Ia rasakan dan yakini dengan segenap tubuh dan jiwa. ”SUS!” panggil Ardan sedikit menyentak. Ia tidak suka orang di dekatnya malah berpandangan kosong seperti itu setelah diberi pertanyaan. ”Aku minta maaf, bro,” sahut Susi menghapus sedikit peluh yang menetes dari dahi. Nyaris masuk ke mata. ”Aku sangat bersyukur kamu tidak jadi mengantar Gio pulang. Sebaiknya kamu tidak menawarkan sesuatu yang aka kamu sesali seperti itu lagi.” Ardan auto mengernyitkan dahi mendengar penuturan pemuda itu. Tidak masuk akal sekali, batinnya. Ia berkata lagi, ”Jangan berbelit-belit, Susilo Dirjen Tanaya!” ”Sudah kencang salah lagi menyebut nama lengkapku,” balas Susi datar. ”Apa pun, lah! Jadi, apa yang membuat kamu sampai berkata seperti itu? Hubungan kita sampai beberapa hari lalu masih sangat baik, lho. Apa Gio sudah melakukan sesuatu yang buruk padamu? Sampai kamu jadi sinis seperti ini padanya,” ganti tanya Ardan. ”Sebenarnya… ini malah justru sama sekali tidak berhubungan dengan Gio. Hal yang membuat aku memutuskan jaga jarak darinya,” ucap Susi. ”…” Pemuda itu melanjutkan, ”Kamu tau kan, Dan? Selalu ada hal yang terlalu privasi sampai tidak bisa diceritakan pada siapa pun. Begitu juga dengan masalah yang sedang menimpa aku dan Gio saat ini. Bahkan hal yang membuat dia tidak masuk entah kenapa.” ”Kemungkinan paling besar dia sakit dan tidak punya siapa pun yang bisa dimintai tolong, ’kan?” jawab Ardan balik tanya. ”Yah, apa pun yang sedang Gio alami sekarang. Itu pasti tidak sesederhana yang kamu pikirkan. Karena situasi di tempat dia tinggal itu… benar-benar rumit,” respon Susi memegang dagu, ”Lagipula dia juga masih ada orang tua dan keluarga, bro. Kalau terjadi sesuatu padanya dia bisa dengan mudah menghubungi mereka. ”Dua orang luar seperti kita bisa jadi hanya akan memperburuk masalah yang saat ini Gio alami.” ”Jadi, menurutmu diam itu adalah jalan paling baik?” tanya Ardan. Walau berpikir begitu jauh dalam hati ia masih merasa kurang nyaman. Rasanya acuh tak acuh sekali jika seorang sahabat sampai punya pikiran seperti itu. Terlepas dari apa pun situasi yang tengah salah satu dari mereka hadapi. Susi melihat wajah pemuda di dekatnya lekat-lekat. Menjawab, ”Benar, bro. Untuk saat ini berdiam diri sampai Gio sendiri meminta tolong pada kita adalah pilihan paling bijaksana. Percayalah padaku.” “…” Melihat pandangan mata Ardan yang masih tampak keraguan. Susi berkata lagi guna menguatkan keyakinan pemuda itu, demi kebaikannya sendiri, ”Hidup yang sedang baik aku, kamu, maupun Gio jalani saat ini bukanlah sebuah cerita dalam drama, bro. Hidup kita itu nyata. Dan sebagai manusia kita tidak bisa begitu saja berharap semua akan berjalan sesuai keinginan, bukan?” ”Manusia memang seperti itu,” balas Ardan, ”Tapi, bukankah mereka juga dibekali akal dan kekuatan untuk mengendalikan situasi di sekitarnya? Bukankah itu alasan Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi?” ”Soal itu…” ”Ucapanmu membuat sebagai manusia kita terdengar sangat lemah sampai tak bisa melakukan apa pun untuk menghadapi sebuah situasi. Yang datangnya paling tidak terduga sekalipun. ”Tapi, aku tidak akan begitu, bro. Kalau menurutmu apa yang terjadi pada Gio di rumahnya bisa membawa perkara buruk pada diriku sendiri. Aku malah jadi semakin yakin bahwa aku pasti bisa menghadapinya,” ucap Ardan percaya diri. Susi hanya bisa menundukkan kepala mendengar kepercayaan diri tanpa dasar pemuda itu. Mungkin ia memang tumbuh menjadi pribadi super positif dan tidak mudah dijatuhkan keyakinannya. Tapi… yang jadi perkara sekarang… yang terjadi pada salah satu sahabat mereka itu benar-benar di luar bayangan. Out of mind! Bagaimana cara meyakinkan pemuda yang terlalu sering menonton anime shounen (anime dengan jalan cerita khas cowok seperti Naruto, Dragon Ball, Gintama, Black Clover, One Piece) dengan karakter utama super naif cenderung tidak realistis untuk kehidupan nyata ini, tanya Susi dalam hati. Ia rasa sikap super positif Ardan dalam memandang segala sesuatu itu berasal dari influence anime-anime “heartwarming” (menghangatkan hati) seperti itu. “Jadi, di mana rumah sewaan anak itu?” tanya Ardan. Belum menyerah pada perjuangan melawan perasaan tidak enak menyangkut salah satu sobat paling baiknya tersebut. Susi memilih buang muka. ”Aku tidak ingat,” jawabnya. ”Jangan bohong, Sus!” pinta Ardan emosi. ”Ya kamu juga aneh, bro. Untuk apa sih segitunya berkeras melakukan sesuatu untuk Gio. Orang dianya saja jelas melakukan hal benar dengan menghalangi kamu mencari tau lebih,” balas Susi. ”Sus, perasaanku benar-benar tidak enak menyangkut Gio saat ini. Kamu tidak ingat apa dia pernah bilang kalau memutuskan indekos karena hubungan dengan orang tua dan keluarganya kurang baik. Peduli sedikit, kek!” pinta Ardan masih belum menyerah. Haduh, orang ini keras kepala sekali menurun dari siapa, sih? Masa dari…, batin Susi mulai emosi. Bukan dia sudah benar-benar tidak peduli lagi pada kondisi Gio. Tapi, untuk setiap manusia di atas bumi. Selalu ada batasan yang tidak bisa mereka langkahi, bukan? ”…” Susi melihat wajah menatap penuh harap Ardan. Ia dirikan tubuh. ”Kelas selanjutnya akan segera dimulai. Sebaiknya kita segera kembali kalau tidak mau terlambat,” ucapnya. ”Lho, lho, lho, Sus!” panggil Ardan seraya mengejar anak iru. Ini semua demi kebaikan kamu, aku, dan kita semua, bro. Apa yang sedang Gio alami biar dia hadapi sendiri agar tak membawa musibah bagi orang banyak terutama kita, batin Susi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN