30: Neraka Tak Bertepi [C]

1091 Kata
Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ Kembali ke rumah sewaan Gio. Pemuda itu yang sempat kehilangan kesadaran akhirnya mendapat kembali kemampuan untuk melihat dunia. Untung saja, syukur saat ia sadari tubuhnya masih berada di tempat sama dengan ingatan terakhir. Tak bisa ia bayangkan jika harus pingsan di ruang makan sekaligus dapur bersih. Namun, malah tersadar di ruang tamu atau kamar mandi rumah tetangga. Ia bisa benar-benar gila. Walau hal semacam sepertinya memang apa yang paling ia butuhkan saat ini. Kebiasaan dalam menghadapi situasi menggilakan. Ah, peduli setan. Kabar baik lainnya. Gio merasa kondisi tubuhnya sedikit, sedikit, hanya sedikit sekali terasa jauh lebih baik timbang sebelumnya. Ia memang belum benar-benar sembuh. Hanya saja rasanya tubuh itu sudah bisa dipakai mencari kehidupan, maksudnya makanan, ke luar. “Ayo, Giorsal Junior! Kamu pasti sudah mempertimbangkan kejadian seperti ini bukan saat memutuskan hengkang dari kediaman Giorsal Senior dan para demit peliharaannya?” tanya Gio pada diri sendiri. Berusaha menyamankan perasaan dengan menyebut tiga homo sapiens itu sebagai demit peliharaan saja sekalian. Perlahan-lahan ia ganti pakaian yang sudah ia kenakan sejak kemarin. Penuh dengan aroma peluh yang telah mengering. Sangat tidak sedap. Karena ia belum kuat mandi atau membasuh tubuh. Ia kenakan saja pakaian baru dan padu padan minyak wangi mahal sebanyak mungkin. SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOTT! SPROOOOOOOOOOOOTT! ”Aaahh, mantap,” tutup Gio akhirnya bisa mencium aroma sedap. Setelah sejak kemarin hanya bergulat dengan aroma asem tubuh sendiri. “Dengan begini aku bisa jadi lebih percaya diri pergi. “Tuhan, semoga tidak ada hal aneh terjadi dalam usaha menyelamatkan hidup ini,” doanya seraya melihat salib yang ia letakkan di ketinggian kamar. Sekaligus rosario yang baru-baru ini saja aktif ia genggam. Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ Beberapa saat kemudian. Gio Jr. hanya bisa melangkah lesu menyusuri jalan-jalan kampung Tangga Teparo. Yang jadi masalah… sepertinya di kampung itu tidak ada minimarket konvensional yang umum ada di ”dunia luar”. Seperti Indoapril atau Aprilmart. Bahkan sejauh mata memandang tak terlihat satu pun rumah yang membuka warung. ”Jalanku kurang jauh… apa bagaimana, sih?” tanya Gio pelan. Yang ia inginkan saat itu hanya makanan. Apa saja yang penting bisa mengganjal perut yang terus meronta tak karuan. Sangat menyakitkan. Mana ia lupa bawa air minum lagi. Perjalanan “pendek” menyusuri jalan jalan perkampungan pun jadi terasa seperti usaha panjang dalam mengarungi gurun Sahara. Panas. Kering. Haus. Lapar. Dehidrasi. Karena rasa sakit dari dalam yang semakin menyakiti. Ditambah lingkungan sekitar yang terasa sangat sepi. Beberapa indera di tubuh Gio seperti semakin ”menajam”. Dalam artian yang tidak bisa dibanggakan. Kliing… kliing… kliing… kliing… kliing… kliing… kliing… Plaak… plaak… plaak… plaak… plaak… plaak… plaak… Wroaahh… wroaah… wroaah… wroaah… wroaah… wroaah… wroaah… Zzzrrrsshh… zzzrrrsshh… zzzrrrsshh… zzzrrrsshh… zzzrrrsshh… zzzrrrsshh… zzzrrrsshh… Klaang… klaang… klaang… klaang… klaang… klaang… klaang… Grrooaar… grrooaar… grrooaar… grrooaar… grrooaar… grrooaar… grrooaar… Ssshh… ssshh… ssshh… ssshh… ssshh… ssshh… ssshh… PERSETAN! Kenapa jadi berisik sekali, sih? Gio hanya bisa mengumpat dalam hati. Ia tutup dua daun telinga dengan rapat menggunakan telapak tangan. Kalau terlalu sepi membuat pusing karena seperti tersasar ke dunia lain. Tapi, kalau terlalu ”ramai” seperti ini juga ujungnya jadi terasa tidak nyaman. Huuft. ”Memang tidak ada yang benar di perkampungan sialan ini,” umpat Gio. Masih dalam cengkraman rasa lapar dan sakit yang semakin melilit. Di hadapan mata yang semakin mengabur karena sakit tidak terukur. Ia seperti menyaksikan sebuah rupa berwarna hitam semakin mendekat. Apakah itu wujud dari Sang Pembawa Kematian? Malaikat pencabut nyawa. The Grim Reaper yang akrab muncul di produksi pop berbagai negara di seluruh dunia. Ia tidak tau. Bisa jadi usianya memang hanya akan sebatas ini. Karena semakin dijalani hidup memang hanya akan jadi semakin sulit ditangani. Kedua lutut pemuda itu tak lagi kuasa berdiri tegak. Mulai kehilangan tenaga semakin menekuk. Merendah ke tanah. Sampai… dukh. Benar-benar terjatuh di seluruh tubuh. Sosok hitam serupa bayangan itu terus mendekat. Semakin besar menipiskan jarak. Sampai benar-benar hitam menutup pandangan. Gio telah kehilangan autoritas atas tubuhnya sendiri. Entah karena rasa lapar atau sakit tidak tertahankan. Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ Gio berusaha mengerjapkan kedua mata walau terasa berat. Ia menyaksikan tubuhnya tak lagi berada di permukaan aspal yang kering lagi berdebu. Melainkan sebuah permukaan dingin juga rata. Seperti lantai. Tapi, di lantai manakah dirinya kini berada? Apakah secara “ajaib” ia berada di lantai rumah sewaannya sendiri? Atau tempat lain? Yang paling masuk akal… apakah ini yang disebut alam kematian? “Apa Anda baik-baik saja?” tanya sebuah suara yang ada di dekatnya. Dalam hati Gio kembali bertanya-tanya, apakah seorang malaikat pencabut nyawa atau malaikat dunia kematian akan menanyakan hal seperti itu? Sepertinya tidak, deh. Dengan kekuatan yang semakin tumbuh di dalam dirinya. Gio memaksakan diri membuka mata untuk menatap siapa pun, atau apa pun itu yang berada di dekatnya. Ia tidak peduli bahkan jika itu merupakan sesuatu yang mengerikan atau tak bisa dibayangkan. “Hah!” Gio terlonjak saat melihat sosok yang tengah duduk bersimpuh dengan pose indah di sisinya. Seorang lelaki yang kelihatan masih cukup muda. Memiliki tampilan wajah jauh dari apa yang sejak tadi imajinasi berlebihannya gembar-gemborkan. Aku belum pernah melihat seseorang yang begitu indah secara langsung seperti ini, batin Gio. Glekh. Menenggak ludah berusaha meyakinkan diri ”kakinya” masih berada di atas bumi. Menyaksikan sesuatu yang begitu menakjubkan seperti ini. Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Ia tampari wajahnya sendiri berulang kali. Tepat tiga belas kali. Angka yang ia percayai angka ”cantik”. Berusaha menghalau pemikiran sendiri. Rasanya sangat geli berpikir seperti itu jika ia memang lelaki. ”Mengapa Anda bersikap seperti itu? Anda bahkan belum menjawab pertanyaan saya,” ucap… karena suaranya seperti laki-laki… pemuda itu lagi. ”Apa aku masih hidup?” tanya Gio meraba-raba sekujur tubuhnya sendiri. Ia cubiti juga untuk semakin meyakinkan masih ada di dunia nyata di mana kesakitan itu ada. Sial, sakit sekali… ”Saya rasa Anda sudah menemukan jawaban dari pertanyaan yang baru Anda lontarkan. Benar sekali. Kita masih berada di dunia fana. Dan belum akan pergi ke mana pun juga dalam waktu dekat ini sepertinya,” jawab pemuda bersuara indah itu. Terdengar seperti ada di range (jangkauan) antara bass dan tenor. TAPI! Jika memang benar apa yang pemuda itu katakan. Mereka masih ada di dunia nyata dengan kata lain kampung Tangga Teparo. Gio kembali bergidik ngeri. Karena apa pun hal baik yang ia pikir saat ini tengah terjadi. Bisa berubah seratus delapan puluh derajat jadi sesuatu paling buruk yang bisa dibayangkan. Ia tak ingin lagi bersikap naif. Akankah semua itu berhasil?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN