Sepertinya lingkungan ini tidak terlalu buruk, komentar Gio diiringi senyum kepuasan. Saat menyusuri jalan perkampungan menuju tempat rumah yang akan ia sewa berada.
Jalan yang tengah ia lewati tidak begitu besar. Tidak begitu kecil juga. Cukup lah jika hanya untuk laju dua mobil yang berasal dari arah berlawanan. Tidak ada trotoar untuk pedestrian di kedua sisi jalan. Tidak seperti di daerah tempat ia tinggal saat bersama dengan Gio Sr. (dan keluarga iblisnya) dulu.
Bukan hanya itu. Di sana walau masih siang hari juga cukup sepi. Tidak ada banyak orang yang berlalu lalang. Entah dengan motor, mobil, atau macam kendaraan lain. Sejauh mata memandang ia hanya menikmati keindahan lingkungan tanpa latar belakang suara penuh kebisingan. Benar-benar berbanding terbalik dengan kehidupan di tempat yang baru ia tinggalkan.
Deg!
Mengingat kata dulu. Tiba-tiba membuat bulu kuduk Gio berdiri. Ia jadi terkenang kembali oleh apa yang terjadi belum lama ini. Dan bagaimana usahanya untuk bersikap bahwa semua itu tidak pernah terjadi. Terulang kembali hanya karena peristiwa yang memancing nostalgia.
Tep. Glekh. Ia hentikan langkah. Ia bungkukkan tubuh untuk mengatur nafas di d**a yang mulai terasa kembang kempis. Gio memang sengaja meminta diturunkan di bagian gerbang kampung saja karena ingin menikmati pemandangan sekitar. Namun, kini ia sesali keputusan itu. Rasanya jauh lebih baik turun langsung di depan pintu pagar rumahnya saja. Agar tidak perlu mengalami banyak drama.
”Kuatlah, Giorsal… Kuatlah, Giorsal… Kuatlah, Giorsal…” usahanya menanamkan afirmasi positif pada diri sendiri. Lingkungan di sekitar sana memang cukup sepi. Tapi, bukan berarti tipikal ”sepi” yang sama dengan kejadian ganjil waktu itu.
Ini berbeda, Giorsal. Saat ini kamu benar-benar sudah bebas. Terpisah jarak puluhan hingga ratusan kilo dari kediaman tempat orang tuamu berada. Kamu tengah berdiri dengan kekuatan kakimu sendiri.
Ia tegakkan lagi tubuhnya. Melebarkan senyuman perlambang kepuasan serta kebahagiaan. Tak akan ia biarkan bayangan akan ketidakrealistisan kembali merusak seluruh keyakinan. Mungkin memang ada hal kurang menyenangkan terjadi selama dalam perjalanan ke tempat ini. Tapi, ia percaya jika semua itu hanya mimpi. Maka tidak mengapa untuk melupakannya.
Meninggalkan bersama masa lalu kelabu.
Sekitar lima belas menit kemudian. Pemuda itu sampai di depan sebuah rumah sederhana bertingkat satu dengan pagar berwarna tembaga kemerahan. Ia tersenyum lebar kala menyadari bisa sampai di tujuan tanpa harus kembali mengalami kejadian mengerikan yang tak bisa diterima akal.
Hufftt.
Gio memasuki rumah itu. Di bagian depan tampak sebuah taman berukuran tidak terlalu besar yang kurang terawat. Mungkin karena rumah itu sudah lama tidak memiliki penghuni. Ia berniat membeli peralatan bercocok tanam untuk memperindahnya nanti.
”Untung saja rumah ini tidak terlalu besar,” komentarnya kala berdiri di depan pintu berwarna putih yang hanya terlihat seperti pintu rumah orang biasa. Bukan pintu berat penuh ukiran berharga mahal seperti di kediaman sang papa. Itu membuat ia merasa jauh lebih nyaman. ”Dan lagi rumah kecil ’bisa’ meminimalisir gangguan makhluk tidak jejadian kasat mata. Ha ha ha!” tawanya bahagia.
Berharap hal yang selama ini jadi mimpinya. Benar-benar akan menjadi nyata. Bukan hanya kebahagiaan semu seperti yang terjadi sediakala.
Tiba-tiba ia terbayang wajah rupawan dan tubuh semlohai Mikaila. Kemunculannya saat itu benar-benar tepat di saat sepi seperti ini. Akankah jika ia harapkan wanita itu akan muncul kembali.
Siapa sebenarnya wanita itu sendiri?
*
Hah!
Gio membuka kedua mata, namun menyadari masih terkurung oleh kegelapan di sekitarnya. Sekejap ia menyadari, oh iya, sejak tiba tadi pagi aku belum menyalakan listrik sama sekali. Dan langsung terlelap seperti orang mati. Kira-kira sudah jam berapa ini? Ia bertanya seraya menyalakan gawai. Tampak waktu telah menunjukkan pukul dua puluh tiga lebih tiga puluh menit.
”Wah, gila, sih. Aku tidur lama sekali, ya. Apa karena tidak bisa tidur sama sekali saat di dalam perjalanan kemarin?” tanya Gio pada diri sendiri.
Tidak. Bisa. Tidur. Sama. Sekali.
Kalau kemarin aku memang tidak bisa tidur. La, Lalu mimpi yang aku alami itu apa? Kejadian apa? Glekh. Pertanyaan karena satu perkara saja sudah lebih dari cukup untuk membuat ia kembali merasa tidak nyaman. Ia geser layar kunci di telpon genggam. Mencari nomor Mas Tarto yang baru saja ia simpan. Ia amati nomor itu beberapa saat.
”Aku yakin seribu persen kalau Mas Tarto itu benar-benar orang yang aku temui dalam perjalanan di bus. Tapi, ingatan soal apa yang terjadi saat itu…”
Greph. Pemuda yang duduk di sisinya tanpa aba-aba mencekik leher Gio dengan kekuatan luar biasa. Duukh. Tak ayal d**a pemuda itu menghantam bagian atas senderan dari kursi depan.
”Aaa… aaakkh… aaaakkhhh…” rintihnya. Tak kuasa mengeluarkan suara. Terlebih saat semua orang di sekitar sana. Menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang terjadi padanya. Dan bersikap biasa saja.
A, Apa aku ma… sih benar-benar… hidup di atas du… nia…? Apakah ini semua sunggu… han nyata? Me, Me, Menga… pha? Tho… toloong… a… ku… sela… mat…
Saat kekuatan tak bisa dikeluarkan. Ketika perlawanan tak kuasa diberikan. Suatu masa di mana suara tidak ada gunanya. Wajah Gio yang sudah basah oleh campuran dari lelehan keringat, air mata, ingus, juga liur. Tangannya hanya bisa berusaha menggapai ke arah pak supir bus yang sejak tadi hanya diam saja.
Namun, tidak lama kemudian supir bus bertubuh cukup berisi itu ikut menoleh ke arah dirinya. Mendirikan tubuh dan berjalan mendekat. Membiarkan kendaraan itu melaju tanpa pengemudi.
”Selamat datang,” ucap si pak supir bus dari arah cukup jauh.
Selamat datang. Selamat datang. Selamat datang…
Ucapan sambutan selamat datang yang seharusnya memberi rasa aman serta perasaan diterima oleh lingkungan baru. Malah terasa jadi horor yang melahirkan kecemasan serta paranoid tersendiri untuk pemuda itu.
”Kenapa sih baru juga satu hari keluar dari rumah pria itu aku sudah mengalami kejadian seperti ini lagi?” tanya Gio ”gemas”. Seraya mencengkram poni berantakan yang terjatuh tak beraturan di depan dahi.
”Aku harap itu semua tidak akan jadi pertanda buruk di masa depan nanti. Soalnya aku belum ada rencana kembali ke rumah Papa dalam waktu dekat ini,” doanya pada pemandangan gelap di luar jendela.
Ia dirikan tubuh. Beranjak menyalakan listrik dan seluruh penerangan. Malam ini mungkin ia akan begadang untuk menyusun beberapa rencana. Akan ada banyak hal yang harus ia lakukan esok hari.
Sreett sreett sreett. Ia mencatat semua di atas selembar kertas. Mulai dari kegiatan. Sampai waktu dan nama tempat yang akan dikunjungi. Gio memang telah memeriksa semua sejak masih di kediaman Gio Sr.
”Sudah tidak ada kesempatan lagi untuk menarik kaki, Giorsal Junior. Kamu harus menemukan wanita yang bisa mempesonamu seperti Mikaila. Dan segera menciptakan Giorsal Kedua.
”HWAHAHA... HA HA HA HA HA!!!” tawanya panjang lebar seperti orang tidak waras.
”Bercanda,” tutupnya dengan kata terlontar berintonasi datar.