18: Pertemuan dengan Makaila

1580 Kata
Pukul setengah lima pagi. Gio bangun tepat waktu walau baru tidur tiga jam yang lalu. Itu memang sudah seperti jadi kebiasaan untuknya sejak dulu. Bangun tidur di awal waktu. Ia adalah seorang Early Bird sejati. Bahkan walau tidak seperti umat Muslim yang memang memiliki kewajiban bangun saat subuh di setiap pagi. Ia tetap menikmati aktivitas itu walau tanpa paksaan atau tekanan dari pihak mana pun. ”Haaahhh.” Ia menghirup udara penuh kenikmatan di teras rumah. ”Menikmati hari normal yang masih gelap juga tenang. Udara super sejuk bersih dari polusi juga kotoran. Dan yang paling penting…” Gio menoleh ke arah bagian dalam kediaman. ”Tidak ada Gio Sr. Tidak ada wanita si p***n. Dan tidak ada anak-anak mereka yang menyebalkan serta sok paling suci di bawah kolong langit. ”Aku yakin perjalanan hidupku setelah ini akan jadi surga duniawi. Sudah pasti, hi hi hi.” Setelah itu ia lekas bersiap-siap. Ia bahkan belum benar-benar membersihkan diri sejak tiba di sana kemarin. Walau kamar mandi rumah sederhana itu berukuran hanya seperempat kamar mandi yang biasa ia gunakan di kediaman Gio Sr. Ditambah tidak ada bathtub. Tidak ada shower dengan pemanas air. Semua itu sama sekali bukan masalah. Ia selesai membersihkan tubuh. Mengenakan pakaian yang ia bawa di dalam ransel. Setelah mencuci bersih pakaian kemarin pergi menjemur di halaman depan. Dan selesailah semua persiapan pagi di hari kedua pertama kali hidup mandiri. ”Ini menyenangkan sekali. Akhirnya aku bisa hidup tanpa bayang-bayang pria itu lagi,” komentarnya bangga. Seraya menatap baju dan kolor di jemuran. Namun, semua tidak selesai di sana. Ia baru menyadari hal itu saat genderang berbunyi mengajak perang. Kkkrryyuukk kkkrryyuukk kkkrryyuukk... Ia pegang perut yang sebenarnya sudah melilit sejak tadi pagi buta. Tapi, karena ia, entah kenapa, masih merasa sangat ngantuk. Akhirnya pun memutuskan kembali terlelap. Mengabaikan suara tidak bersahabat. Segera ia keluarkan satu bungkus makanan favorit andalan, Indomie (Seleraku), dari dalam ransel. Karena diletakkan di bagian belakang. Mienya jadi sedikit renyek. Tapi, bukan masalah karena yang paling penting sekarang adalah… Di dapur. ”Oh iya, aku belum beli tabung gas,” sesalnya saat melihat ke bagian bawah meja dapur. Di atasnya memang ada satu buah kompor seperti yang dijanjikan sang induk semang di telpon kemarin. Ia lupa jika rumah sewaan itu tidak menyertakan sumber daya untuk menyalakannya. Cih, sama saja bohong, omel Gio dalam hati. Melihat renyekan mie instan di dalam bungkus. Terpikir ingin memakan seperti saat ia masih kecil dulu saja. Yaitu dengan meremasnya agar semakin jadi serpihan. Dicampur minyak bumbu. Dan jadilah. Tapi, untuk tubuhnya yang sudah besar seperti itu ide tersebut sama sekali tidak menarik. Mau tidak mau ia harus keluar mencari penjual sarapan kalau tidak mau pingsan sebelum matahari terbit. Cap go! Ia mengenakan sepatu. Membuka pintu gerbang. Dan siap melangkah. Swuush. ”Eh?” Gio menolehkan kepala cepat. Karena merasa seperti ada sesuatu berwarna putih yang lewat di dekat sana. Namun, saat ditengok rupanya tidak ada apa pun. Hanya kegelapan pagi yang membatasi pandangan. Hhh. Ia hembuskan nafas ”tidak” peduli. Ia gelengkan kepala untuk bersihkan pikiran. Kembali melangkah menyusuri jalan. Tap tap tap. Eh. Gio mulai merasakan sedikit keanehan. Tapi, sepertinya kemarin jalan yang ia lewati tidak seperti itu. Apa yang terjadi, ya? Ditambah suasana sepi mencekam yang tidak terbantahkan. Bukankah seharusnya sekarang sudah masuk waktu bagi umat Muslim untuk menunaikan ibadah sholat Subuh mereka? Kenapa tidak ada satu pun laki-laki yang membawa sarung dan kopiyah atau peci melintas di sekitar sana? ”Oi, oi, oi,” risaunya seraya melongok ke arah jam dengan tali kulit sintetis berwarna cokelat gelap yang melingkar di pergelangan tangan. Jarum pendek dan jarum panjangnya dengan jelas menunjukkan bahwa ini sudah pukul lima pagi. Bukankah seharusnya umat Muslim sudah sholat Subuh sejak tadi? Tapi, kenapa tidak ada suara Adzan atau baca-bacaan doa sama sekali? Bulu kuduk Gio seketika meremang. Ia amati lingkungan sekitar tanpa beranjak dari tempatnya berdiri. Deg deg deg. d**a yang berdebar kencang sama sekali tak menjelaskan alasan dari galaunya perasaan. Kenapa rumah-rumah di sana pintunya masih terkunci rapat? Kenapa bahkan… lampu jalan masih menyala dengan terang? Ia lihat lagi ke arah jam tangan bermodel klasiknya itu. Ia belalakkan kedua mata. Waktu tidak bergerak! Beberapa kali Gio ketuk kaca jam tangan hadiah kelulusan SMP yang diberikan oleh Gio Sr. itu. Sengaja ia pertahankan bertahun-tahun karena suka dengan modelnya. ”Apa ini sudah mati, ya? Memang sudah cukup lama, sih,” ia berkomentar memasang raut aneh. Padahal ia ingat betul. Baru beberapa minggu lalu mengisi baterainya. ”Pasti karena sudah tua,” simpulnya memudahkan saja. Ia tidak ingin sampai hal sederhana seperti itu. Semakin memperburuk suasana hati yang sudah sangat buruk. Gio pun melepas jam tangannya. Dan dimasukkan ke dalam tong sampah. ”Saat keluar untuk membeli berkat nanti lebih baik aku cari yang baru,” pikirnya optimis. Ia terus melangkah menyusuri jalan mencari tukang jualan nasi uduk, nasi kuning, lontong, atau tipikal makan pagi semacam itu yang lumrah di Indonesia. Yang biasanya memang selalu ada nyaris di setiap pemukiman. Gio menolehkan lagi kepalanya ke kiri dan kanan. Sama sekali tak menemukan yang ia inginkan. Bahkan satu orang pun batang hidungnya tidak ada yang kelihatan. Mulai ia putar balik langkah hendak kembali saja ke rumah. Mungkin memang salah memutuskan keluar di lingkungan asing saat masih gelap. Dan belum mengetahui medannya. Aku hanya ingin kembali! Drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap!!! Tolong! Tolong! Tolong aku! Drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap drap!!! Ke, Kenapa kondisi jalannya jadi seperti ini, sih? Perasaan tadi tidak ada pohon berbentuk itu di sana. Apa pikiranku saja yang sudah gila? Ia bertanya seraya mengedarkan pandangan ke segala arah. Benar-benar sepi. Tidak ada seorang pun sejauh mata memandang. Apakah kejadian saat itu kembali terulang…? Ah! Gio mencepatkan langkah saat menyadari di dekat sana terdapat sebuah pos ronda. Pasti ada jam dinding bukan di tempat semacam itu? Syukurlah benar-benar ada, batinnya. Akan tetapi… kenapa waktu yang ditunjukkan sama dengan jam tangan yang sudah ia buang? Glekh. Pemuda itu menghembuskan nafas keputusasaan. Ia tundukkan wajahnya. Melihat bagaimana sesuatu yang telah ia hempaskan ke dasar tong sampah. Kembali terlilit di pergelangan tangan. Seolah enggan meninggalkan. Haakkh haakkh haakkh!!! Deru nafas menjadi satu-satunya hal yang menemani langkah Gio mencari keselamatan. Saat akhirnya ia bisa berpikir lebih rasional. Ia mulai merasa bahwa yang tengah ia alami hanyalah mimpi. Ya, pasti hanya mimpi, batinnya percaya diri. Habis mau bagaimana lagi? Tentu tidak ada penjelasan lain yang jauh lebih masuk akal untuk menjelaskan situasinya kala itu. Rasa lapar yang melilit perut. Yang membuat ia sampai mengalami semua ini saja sampai tidak lagi terasa. Peduli setan dengan yang namanya makan pagi. Aku hanya ingin kembali!!! BRUUUKH. Terus berlari sembari melihat kedua kaki karena tak berani melihat suasana mencekam sekitarnya. Tanpa sadar Gio jadi menabrak sesuatu. Eh. Atau seseorang? Nyalinya sangat ciut saat harus kembali mengangkat wajah. ”Apa yang terjadi? Kenapa Anda tampak sangat ketakutan?” tanya seseorang yang baru saja ia tabrak. Cukup kencang sebenarnya. Tapi, nada suara wanita itu terdengar tidak begitu terganggu. Sedikit demi sedikit Gio berusaha memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Jika dilihat dari bawah wanita itu tampak mengenakan pakaian gamis berwarna putih. Seperti seragam dari para biarawati gereja Katolik. Tentu saja ia tidak berharap akan melihat wajah Valak di bagian atasnya. Ahh. Untung saja. Hanya tampak wajah seorang wanita yang sangat biasa. Mengenakan velum yang menutupi seluruh kepala hingga bagian leher. Seperti suster pada umumnya saja. Untung saja. Fiuuuhh. ”Permisi,” ucap wanita itu lagi dengan suara nan lemah lembut menghangatkan hati di tengah situasi adem nyenyep. ”Maafkan saya, Suster. Saya pikir tidak ada orang di sini,” usaha Gio menjelaskan. Pandangannya tidak bisa fokus. Ia merasa kurang sopan jika terlalu lama menatap wajah seorang mempelai Tuhan. ”Sejak tadi hanya kegelapan yang ada. Padahal seharusnya hari semakin beranjak pagi. Namun, saya tidak melihat adanya…” Tep. Suster itu menyentuh salah satu pundak Gio. Ia tak lagi bisa berkata-kata. ”Terpaksa” ia tatap wajah wanita itu. Dan tampaklah cahaya pertama di lingkungan tempat tinggal barunya. ”Siapa nama Anda?” tanya suster tersebut. ”Gio… Giorsal… Maha Saputra… Iswari Dhika… Junior,” jawab Gio perlahan. Ia sendiri tidak tau kenapa tiba-tiba menyebutkan nama lengkap di pertemuan pertama. Ohh. ”Sungguh nama yang memiliki makna indah serta luar biasa. Apa Anda baru di kampung Tangga Teparo?” tanya suster itu. Raut wajahnya tampak begitu bersahaja. Seorang ada cahaya kasih Tuhan yang memancar dari raut lembut. Seketika Gio seperti dimabuk kepayang. Ia pun balik bertanya, ”Kalau nama Suster sendiri siapa? Apa boleh saya mengetahuinya?” Suster itu menaruh jari telunjuknya yang panjang, langsing, dan lentik di depan bibir. Berbisik lembut memberikan jawaban, ”Makaila. Nama saya adalah… Makaila.” Gio membelalakkan kedua mata dan sedikit membuka rongga mulutnya. Mengeluarkan suara tanpa makna, ”Hha… aahh…?” Sungguh nama yang menggiring pada nostalgia tanpa jejak. Nama yang padahal juga tidak sama. Tapi, mengingatkannya pada sebuah kenangan yang belum lama. Entah siapa. Entah apa. Wajah mereka berdua saja berbeda. Tapi, di saat yang sama juga terasa serupa. Suster Makaila mendekatkan bibir tipis berwarna pink-nya ke tepi daun telinga si pemuda baru dewasa. Berbisik dengan suara lirih yang menjerumuskan, ”Ayo kita kembali saja ke rumahmu. Tidak ada apa pun yang bisa atau akan kamu dapatkan di luar sini.” Dan ia. Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. Seperti seekor sapi yang dicucuk hidungnya. Kembali langkahkan kaki. Mengikuti wanita dengan tubuh yang mengeluarkan semerbak aroma surgawi yang baru saja ia temui.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN