Wujud makhluk “astral” yang tadi tak dapat ditangkap oleh pandangan itu kini jadi semakin jelas. Penampakan tubuh super ceking. Menjulang tinggi sampai langit-langit lantai dua. Sepasang mata nyaris berdempetan memancarkan cahaya berwarna merah yang bagai tengah merepresentasikan segarnya darah. Para makhluk itu. Sekitar berjumlah tiga belas “wujud”. Berdiri dengan postur membungkuk di hadapannya.
Rasanya akan jauh lebih mudah. Jika bisa melepaskan segala masalah, menyerah, dan kabur seperti seorang pecundang. Akan tetapi seorang Avimelech Hadar Edzhar Nasution tidak datang ke tempat itu untuk berdiri di pihak yang kalah. Untuk menyerah. Mengakhiri masalah tanpa penyelesaian. Apalagi kabur layaknya seorang pengecut yang tidak memiliki mental juang!
Dahi pria itu kembali berkerut menunjukkan antusiasme akan perlawanan. Sepasang bibirnya kembali merapal, “Gaudens angelus testatur humanitatis sinceritatem. Auxilia canales ab omnipotente. Virtus albae omnes tenebras vincet. Abiit! Abiit! Abiit!!!”
Ketika ia dapatkan lagi kekuatan untuk berdiri. Segera dilangkahkan kaki untuk menghampiri sosok-sosok itu. Mereka tak diam saja dan mulai mengarahkan tangan tangan yang besar serta panjang untuk mengejarnya. BRAAKH BRUUKH BRAAKH . Diakon Avi berusaha keras menghindari ”keberadaan” para makhluk itu. Termasuk efek dari kehancuran yang mereka akibatkan. Kediaman yang tadinya indah megah menawan serta rupawan. Kini hanya tampak seperti bagian dalam sebuah kastil setan.
”WAAAAAAAAKKHH!!!” Pria itu tak bisa menahan teriakan memilukan yang meluncur keluar dari rongga mulut. Ketika ia rasakan sesuatu yang tampak ”tidak berwujud” mencengkram salah satu pergelangan kaki. Mengangkat tubuhnya dalam posisi tidak terbayangkan. Setelah itu…
BRAAKHBRUUKH BRAAKHBRUUKH BRAAKHBRUUKH!!!
Pakaian liturgi suci yang begitu ia banggakan pun sudah tak lagi sempurna. Terkoyak nyaris di segala bagiannya.
Kesadaran bagai akan menghilang. Ia adalah seorang diakon. Seorang agamawan yang memiliki misi membawa perdamaian ke seluruh penjuru dunia. Walau memang memiliki tubuh ”cukup” kuat. Ia sama sekali tidak cakap. Masalah penggunaan kekuatan fisik untuk menyelesaikan sesuatu.
Hal yang sepertinya harus ia pikirkan ulang setelah ini. Itu juga kalau masih bisa hidup.
*
Pria itu, Diakon Avimelech Hadar Edzhar Nasution, seorang laki-laki yang lahir di sebuah daerah yang terletak di Provinsi Sumatra Utara. Asli berasal dari etnis Batak Mandailing (Angkola). Namun, sejak masuk sekolah dasar pindah ke wilayah Kelurahan Banua Anyar, Kecamatan Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Mengikuti sang ayah yang baru saja disumpah dokter. Dan memutuskan jadi pegawai tidak tetap (PTT) di Kementerian Kesehatan sebagai dokter dengan penempatan di daerah terpencil.
Cinta kasih pada kedamaian. Dan sikap berserah diri diiringi perjuangan. Adalah beberapa hal dasar yang selalu ayahnya, Dokter Batara Anju Ingot Nasution, tanamkan dalam kepala serta hatinya sejak kecil. Tidak pernah satu kali pun pria itu meninggikan suara di hadapan anak serta istrinya. Semua penjelasan. Semua perintah maupun permintaan. Bahkan semua kemarahan juga ketidakpuasan. Akan ia utarakan dengan sangat lembut penuh belas kasih. Ia juga sosok umat Katolik taat yang rajin pergi ke rumah ibadah. Dan memberi banyak sumbangan kemanusiaan walau dirinya sendiri hidup sederhana.
Cinta kasih pada kedamaian. Dan sikap berserah diri diiringi perjuangan. Adalah hal yang memberi Edzhar, begitu ia biasa dipanggil saat kecil, motivasi untuk hidup di atas jalan pelayanan terhadap Tuhan.
Di awal ia pikir akan begitu.
*
Kamu tidak benar-benar mengabdikan diri di jalan menuju cahaya ilahiah Tuhan yang menguasai alam semesta ini, Avi…
”Ti… Ti… dak.”
Makhluk ”itu” menggantung terbalik tubuh Diakon Avi nyaris menyentuh langit-langit ruangan yang tinggi. Pria itu sudah tak kuasa lagi merapal lantunan ”mantra” maupun doa. Bahkan ia mulai merasa apabila hal yang ia putuskan itu sangatlah naif. Seorang romo yang jauh lebih saleh dan taat seperti Bartolomeus saja kesulitan menghadapi ”mereka”. Bagaimana dengannya sendiri? Terlalu percaya diri tanpa memahami situasi.
Kata siapa tidak? Kamu sok mendaftar ke sekolah seminari menengah begitu lulus dari sekolah menengah pertama agar bisa membuat orang-orang di sekitarmu merasa kagum. Terutama ayahmu. Kamu mengharapkan ”kebanggaannya” lebih dari apa pun. Tapi, bukan tipe rasa bangga karena kamu sudah jadi calon pemuka agama. Melainkan kesombongan serta keangkuhan. Yang membuat dirimu merasa jauh lebih tinggi. Lebih baik. Jauh lebih suci timbang domba tersesat yang lain!
Kamu tidak ada bedanya dengan iblis yang telah menjerumuskan Adam agar mencicipi buah ”ilmu pengetahuan”, Avi.
Hypokrites (Munafik).
”Ti… Ti… Ti…”
Benar sekali! Satu-satunya alasan kamu datang pun begitu. Kamu berpikir bahwa dirimu sudah cukup hebat. Sudah cukup mampu. Itu kenapa kamu tidak mengatakan kunjunganmu ke tempat Romo Bartolomeus bertugas pada siapa pun di katedral.
Hati yang kamu pikir putih dan bersih bagai kapas itu sejatinya begitu ternodai oleh nafsu duniawi juga sisi burukmu sendiri.
”Musta… hil.”
Apa lagi yang saat ini kamu kehendaki, Avimelech Hadar Edzhar Nasution?! Kamu hanyalah pendusta. Bahkan jauh lebih buruk timbang para domba tersesat biasa. Kamu adalah kotoran yang bersembunyi di balik busana liturgi. Agar orang-orang selalu berpikir tentang betapa bersihnya kamu.
“Maafkan… aku. Maafkan… aku. Ampuni… aku.”
Lebih baik kamu tidak pernah ada di atas dunia…
BRUUKH!!!
Aah, seperti beberapa tulang di tubuhku sudah patah. Bukan hanya itu. Organ dalamku juga pasti sudah dalam kondisi sangat parah, batin pria itu lemah.
Namun, ia tak akan membiarkan semua berakhir begitu saja! Ia berusaha keras kembali mendirikan tubuh. Terus berusaha melakukan perlawanan ia percaya hanya akan jadi ajang bun*h diri. Ia simpan rapat seluruh rapalan yang ia khawatirkan malah jadi senjata makan tuan.
Berkat ucapan iblis itu. Kini Diakon Avi menyadari noktah kegelapan dalam hati sendiri.
Kaburrr!
Sungguh luar biasa memang kediaman milik Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Hanya untuk sekadar berjalan dari pintu masuk utama melewati ruang tamunya saja perjuangan yang harus dikeluarkan begitu besar. Cukup jauh melalui jalan ”panjang” di ruang tamu yang sangat luas. Ia membatin mungkin bisa mengadakan sebuah pesta dansa hanya di ruangan itu saja.
BRAAKHBUAAKH DUUKHDUAAKH BRAAKHBUUKH!!! Berkali-kali serangan makhluk itu berusaha kembali mengenai tubuh Diakon Avi. Saat ini kondisi tubuhnya bisa jadi memang jauh, jauh, jauh lebih lemah ketimbang saat baru tiba. Tapi, hasutan yang makhluk itu lontarkan tampaknya tak tepat sasaran. Bukan rasa rendah diri juga pesimisme ia rasakan. Semua ungkapan buruk hanya memberi ia aliran semangat untuk semakin memperbaiki diri di masa depan.
Dan yang namanya hari esok bersama semua kesempatan yang ada padanya. Tak akan pernah datang pada mereka yang memutuskan mati (menyerah) hari ini. Bahkan kalaupun aku harus kehilangan nyawa. Aku tidak akan kembali ke pangkuan-Nya dalam kondisi berputus asa. Aku akan mati bersama kepercayaan serta tekad yang ku…
JLEB!
”Hehh…?”
JLEBJLEBJLEB!!!
Awalnya hanya satu. Dari sesuatu yang terasa seperti sebuah tentakel slendy nan fleksibel, namun juga sangat bertenaga di saat sama. Setelah itu serangan demi serangan ia terima. Dapat ia saksikan dengan jelas bagaimana deras cairan merah kehidupan miliknya mengalir bagai derai air terjun. Ini sudah tidak sama dengan yang sejauh ini ia terima.
Kalau seperti ini sudah sulit ditoleransi.
Bersama pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan segera berakhir. Pandangan mata yang mulai buram menunjukkan bagaimana para iblis di hadapannya menari bahagia. Dengan rupa mereka yang mengerikan. Akan jadi pemandangan penutup kehidupan yang tidak pernah ia harapkan.
”Tolong maafkan saya, Romo Barto…”
Apakah perjuangan seorang manusia berakhir ketika ia menutup mata?
Selama harapan masih ada seharusnya seseorang bisa terus kembali berdiri. Itu kenapa harapan tidak boleh berakhir di sini! Atau di mana pun juga!