11: Kesucian, Kesucian, Kesucian

1352 Kata
Matahari pagi terbit di cakrawala sebelah timur. Mulai memberi kehangatan untuk dunia para manusia yang baru saja mengarungi dinginnya malam. Adisti membuka jendela yang sudah satu harian kemarin tertutup rapat akibat segala keonaran yang terjadi di luar. Membiarkan aroma kesegaran pagi mengalir masuk ke dalam kediaman rumah. Usai berjam-jam bertarung menghadapi ”sesuatu”. Yang bahkan ia tidak tau apa itu. Adisti menekuk jari di bawah dagu. Menatap segala kekacauan yang tersaji lewat pemandangan di luar jendela. ”Sepertinya aku telah mengikat tali pernikahan dengan pria yang kurang tepat,” komentarnya menatap bayangan wajah sendiri yang terpantul lewat bening kaca jendela. Padahal semua baik-baik saja selama ini. Tuan Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. merupakan tipikal pria sangat ideal. Untuk perempuan berwajah rupawan tanpa banyak talenta serta kemampuan seperti dirinya. Yang punya mimpi untuk menghabiskan sisa usia menjadi nyonya kaya raya banyak harta tanpa perlu banyak usaha. Mungkin pria itu memang cukup… “unik”. Ia memiliki begitu banyak hal atau rutinitas yang tidak pernah Adisti bayangkan sebelumnya. Seperti ritual aneh tahunan ke villa yang terdapat di lingkungan pedalaman hutan atas gunung. Sikap lembut yang tiba-tiba bisa berubah jadi sangat mengerikan. Bahkan bukan hanya macam ”keanehan” yang berada dalam diri pria itu sendiri. Contohnya kediaman dengan luas tanah sekitar lebih dari empat hektar ini. Semenjak diperistri dan dibawa tinggal di sana. Belum semua bagian kediaman itu ia kunjungi. Yah, hanya yang “indah” saja. Seperti taman bunga. Taman yang berisi beberapa jenis rimbun pepohonan. Lokasi di mana para hewan ternak juga kuda dipelihara. Sisanya ya ia hanya bersantai saja di kediaman utama layaknya seorang nyonya besar jumawa. ”Saya sudah menahan terlalu lama selama ini. Untuk pertama dan terakhir kalinya akan saya peringatkan pada kamu, Adisti. Kalau kamu katakan lagi hal buruk mengenai putra kesayangan saya. Tubuh kamu saya pastikan akan menjadi makanan dari para hewan yang hidup di semua tanaman itu!” Bbbrr. Bulu kuduk wanita itu merinding seketika kala mengenang ucapan yang pernah sang suami katakan. Ia tidak tau apakah hal itu akan sungguhan jadi kenyataan atau hanya bualan. Yang jelas semua kedamaian yang selama ini terasa begitu memanjakan. Lenyap bak ditelan bumi sejak putra sialan suaminya meminta agar diizinkan hengkang dari kediaman. Kehidupan sempurna yang sekian lama aku perjuangkan jadi tidak jelas seperti ini semua gara-gara dia, ia menuding dalam hati. Wanita itu remas telapak tangan sampai kuku palsu panjangnya nyaris patah. Lagipula memang kenapa juga sih Papa tidak mengizinkan anak menyebalkan yang selalu buang muka jika sedang berhadapan denganku itu keluar dari rumah ini? Karena Papa larang kita jadi mendapat musibah seperti ini, ’kan? Segera ia tutup mulutnya dengan dua telapak tangan. Bisa bahaya sampai ia keceplosan dan tanpa sadar melontarkan ketidaksukaan. Ia tak tau apakah suaminya serius atau hanya melontarkan ancaman kosong. Yang jelas ia tidak ingin mengambil langkah tidak aman. Setelah semua hal yang terjadi. Đ≠Ă≠Ŕ≠Ķ . Ħ≠Ė≠Į≠Ŕ Tubuh kedua Giorsal baik yang Sr. maupun yang Jr. sama-sama tengah tidak sadarkan diri di ”Kamar Besar”. Ruangan itu sendiri bukanlah kamar yang secara khusus digunakan oleh Giorsal Sr. maupun Giorsal Jr. Mereka berdua ditempatkan di sana berkat permintaan dari seorang ahli agama yang telah Gio Sr. pesankan pada para pelayan sebelumnya. ”Hubungi dia jika sesuatu yang buruk terjadi sampai tidak bisa aku tangani!” pesan pria itu sebelum jatuh kolaps. Ahli agama bernama Bartolomeus tersebut meminta papa dan putra yang masing-masing tampak tengah berjuang keras melawan kegelapan dalam diri mereka sendiri. Untuk dikumpulkan dalam satu ruangan. Dengan begitu ia akan jauh lebih mudah mengarahkan kekuatan ”positif” dari luar kediaman. Untuk menetralisir efek dari sesuatu yang tengah berseteru dalam diri masing-masing. ”Romo, apa ada lagi yang bisa kami lakukan untuk membantu pemulihan Tuan Gio dan Tuan Muda Gio?” tanya seorang pelayan laki-laki. Pria paruh baya itu tak banyak merespon. Hanya sedikit menggerakkan kepala. Sisanya terdiam seolah berharap itu saja sudah cukup untuk memberi jawaban. Padahal masih ada banyak rasa penasaran yang ingin dipuaskan. Pria yang dipanggil romo itu selanjutnya berkata, “Lebih baik kalian membentuk sebuah formasi untuk berjaga di luar. Jangan biarkan ada orang atau bahkan hanya benda mencurigakan yang sampai masuk ke dalam rumah ini. ”Itu bisa jadi sangat berbahaya. Jika mengingat kejadian ini saja terjadi akibat sebuah kotak kayu dengan ukiran lambang misterius.” Tiga orang pelayan laki-laki yang ada di ruangan itu auto melihat si Romo dengan tatapan ”aneh”. Masalahnya sejak kejadian tidak biasa yang menimpa kediaman itu kemarin. Hanya ialah hal ”asing” yang datang dan masuk ke dalam kediaman. ”Bagaimana Anda ingin meyakinkan kami bahwa Anda sendiri bersih dari hal yang bisa memancing datangnya hal itu?” tanya seorang pelayan. Romo Bartolomeus menjawab seraya mengangkat kedua belah tangan, ”Busana liturgi yang saya kenakan ini telah diberkati oleh pemimpin tertinggi gereja. Juga dimandikan oleh holy waters. Jangankan dikenakan oleh sesuatu yang mampu membawa musibah begitu besar. Iblis, kutukan, dan bala sekutunya pun bisa terpanggang hidup-hidup jika membuat kontak dengan pakaian ini.” Para pelayan pria yang mendengar hal itu berlagak seolah mengerti. Walau dalam hati akan tetap bersikap hati-hati. Ketiganya keluar dari ruangan dan menutup pintu dari luar. Hanya mengharapkan yang terbaik. Untuk sang majikan. Romo Bartolomeus kini menatap Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. yang sedang tak sadarkan diri. Nafasnya sudah tidak lagi menderu seperti saat ia baru tiba. Alam bawah sadar pria itu sudah terlihat merespon kedatangan-Nya. Dengan jadi semakin lembut serta tenang. Namun, ketenangan itu bisa jadi hanya yang saat ini tampak di luar. Ia sentuh d**a pria itu. Sesuatu yang jauh lebih penting. Jauh lebih berpengaruh di dalam sana. Bisa jadi bergemuruh lebih kencang ketimbang ”badai” yang baru saja kediaman besar ini alami. ”Obice yang kau ciptakan untuk melindungi kediamanmu dari mereka sebenarnya sudah sangat bagus, Gio. Hanya saja apa yang baru putramu bawa pulang bukanlah sesuatu yang sanggup ditahan hanya oleh itu,” ucap Bartolomeus. ”Ah!” Ia menoleh ke kiri dan kanan. Berusaha mencerna situasi. Di ruangan yang ia anggap telah “bersih”. Dari segala macam pengaruh kegelapan. Mulanya ia bisa percaya pada kemampuannya sendiri. Namun, kini malah jadi terasa sesuatu tengah “menggelitik” jiwa. Mengusik ketenangan. Membuat ia tak kuasa kembali berkata-kata. Perasaan tidak enak apa ini? Perasaan tidak enak apa ini? Perasaan tidak enak apa ini? Pria itu terus mengulang pertanyaan yang sama dalam hati. Berharap pemikiran sendiri bisa memberi jalan keluar pasti. Namun, yang namanya kepastian tidak akan pernah ada di atas dunia ini. Pria itu melangkah ke bagian diantara tempat tidur Gio Sr. dan tempat tidur Gio Jr. ia tau sesuatu yang lebih buruk timbang sebelumnya akan terulang kembali. Apabila tidak ia lancarkan “serangan” antisipasi. Apa yang saat ini tengah kediaman itu hadapi. Bukanlah sesuatu yang berwujud pasti dan dapat dibayangkan oleh imajinasi. Karena terkadang daya pikir manusia penuh batasan karena tak bersedia libatkan hati. Membuat mereka bahkan tak mampu mendeteksi keberadaan musuh sejati. Ia rentangkan kedua tangan. Agar aliran energi yang dibutuhkan tempat itu dapat mengalir ke segala tempat dengan jauh lebih maksimal. Sepasang bibirnya mulai berkomat-kamit, ”Mane lucem, etsi non laetitiam. Nox tenebras attrahit, haud sine periculo. Lux periclitatur omni homine corrupto corde. Sordida castitas serpentes vocat ad saltandum. Circum plexos angues pomum nocentem. Caelum tollit omnem dolorem. sicut Infernus omnem felicitatem ignorat. ”Auferte carmina magistrorum e terra tenebrarum! Auferte omnem dolorem et malum quod cor dominatur. Hi sunt Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Senior et Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Junior. Tuae poenitentes sectatores. In nomine sanctitatis! In nomine humilitatis coram Deo! In nomine emundationis ab omnibus sordibus sordibus. ”Sanctus! Sanctus! Sanctus! "SANCTUS!” * Mantera kesucian telah dirapalkan. Kekuatan Tuhan telah disebarluaskan di bumi manusia yang penuh dengan dosa serta nestapa. Namun, pada akhirnya manusialah yang akan jadi penentunya. Akankah mereka warisi baton kegelapan dari sang penguasa neraka? Atau sebaliknya memilih cahaya surgawi dengan segala keindahannya? Bagaimana dengan Anda? Mana yang akan Anda pilih? Kiri atau kanan? Atas atau bawah? Putih atau hitam? Kebaikan atau kejahatan? Kotoran atau kesucian? Kejelasan atau kebingungan? Atau malah tidak yang mana pun juga? Maka... nantikanlah resikonya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN