12: Keraguan Diakon Avi [A]

1114 Kata
Sudah satu harian ini Romo Bartolomeus terus berusaha keras untuk melepaskan sepasang papa dan putra itu dari cengkraman kegelapan yang entah berasal dari mana. Namun, tak peduli apa yang ia usahakan. Perjuangannya hanya kembali berakhir ke kegagalan. Kalau boleh jujur ia sendiri tak yakin mampu menghadapi hal ini. Tapi, hanya ialah yang Gio Sr. beri kepercayaan untuk mengatasi semua. Terkadang memang memberi beban. Tapi, lebih banyak mengindikasikan kepasrahan. Rupanya pria yang begitu digdaya seperti kamu pun memiliki sesuatu yang tak mampu ditangani seorang diri, batin Romo Bartolomeus. Setelah berpikir seperti itu ia jadi berpikir lagi, apa ini ada hubungannya dengan keluarga Dhika? Apakah keluarga Dhika berusaha melakukan ”itu” pada Giorsal dan putranya? Bukankah sejak dulu mereka memang selalu mengatakan hal itu? Sebagai seorang ”Giorsal”. Tidak boleh lari atau melepaskan diri dari tanggung jawab. Pria itu melepas pakaian liturgi kebanggaannya. Menunjukkan deretan bisep dan trisep yang terbentuk sempurna. Menciptakan visual akan bentuk tubuh lelaki nyaris tanpa cacat. Namun, alas an ia melepas pakaian liturgi bukanlah untuk mengagumi keindahan tubuh sendiri. Melainkan karena… “Aku selalu mengetahui hal itu. Bahwa aku sama sekali tidak pantas mengenakan atribut keagamaan dari kepercayaan apa pun. ”Entah apakah Tuhan yang ada di langit tinggi itu mendengar doa ini.” * Sementara di kamar tidurnya. Adisti tengah duduk di kursi meja rias. Menatap lurus ke arah cermin. Beberapa kali membelai rambut yang lurus, halus, juga tebal mengembang indah. Mengagumi betapa cantik. Betapa rupawan. Betapa indah dirinya sendiri. Ia dirikan tubuh. Mengamati tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seonggok tubuh yang hanya dilapisi oleh pakaian ”dinas” sebagai seorang istri berbodi hot jeletot mak keprot. Gaun tidur super tipis yang masih memperlihatkan dengan jelas. Apa saja yang ada di baliknya. ”Wanita cantik sempurna yang begitu elok seperti dirimu, Adisti. Apakah akan menghabiskan sisa hidup sebagai pasangan hidup dari seorang pria tidak normal seperti dia? Untuk selamanya? Apa kamu yakin, Adisti Febriyani Melati?” tanyanya pada bayangan diri yang terpantul di cermin. Gggrrhh… Gggrrhh… Gggrrhh… Wajah wanita itu yang tadi tampak begitu anggun, elegan, berkelas, serta rupawan nyaris sempurna. Kini mengerut membentuk lipatan demi lipatan yang jadi manifestasi isi hati. Ia sangat kesal! Ia sangat kesal! Ia sangat kesal! Ia benar-benar kesal! Kenapa hidup mudah tanpa masalah yang telah ia perjuangkan sejak lama jadi terasa bermakna ganda? Kenapa tidak ada hanya kebahagiaan saja dalam hidupnya? Padahal… padahal… padahal aku sudah melalui begitu banyak hal berat dalam hidup… Ia tegakkan lagi punggung. Wajah yang tadi tampak ”kacau balau” ia benahi. Ia tata kembali agar hanya tampak keindahan serta pancaran aura istri sempurna dari sana. Karena akhirnya ia memahami sesuatu. ”Wahai suami belahan jiwaku Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Senior. Kau sudah bukan lagi sosok pria ideal untuk hidupku. Untuk cita-citaku. Hasrat yang menggelora dalam dadaku,” ucapnya di depan cermin dengan sorot wajah datar. Adisti melangkah keluar dari dalam bilik rias yang terdapat di ujung kamar tidur bersama Gio Sr. Kini ia telah mengenakan pakaian harian yang mewah serta bagus. Seperti biasa. Ia lihat kedua malaikat kecilnya yang tengah terlelap di atas tempat tidur. Sungguh polos dan tanpa dosa raut wajah mereka yang masih suci dari kegelapan dunia. ”Kalian berdua merupakan gadis yang sungguh luar biasa. Kalian akan menjalani hidup dan tumbuh besar menjadi sosok wanita yang sama luar biasanya seperti Ibu. Wanita yang bisa mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Wanita yang mampu menaklukkan siapa pun yang ia kehendaki di muka bumi ini. “Seperti iblis manis yang menangis sambil tersenyum tipis untuk mendapatkan perhatian dari para pria super kaya berpenampilan klimis. “Fantastis.” * Dok dok dok. Pintu ruangan tempat Gio Sr. dan Gio Jr. terbaring tiba-tiba diketuk dari luar. Padahal Bartolomeus telah meminta para pelayan untuk tidak memberinya gangguan. Paling tidak sampai ia memberitahu bahwa kondisi sepasang papa dan putra itu telah cukup ”kuat”. Untuk mengadakan interaksi dengan hal-hal yang berasal dari ”luar”. Ia pun menghampiri pintu. Namun, tidak langsung membuka. ”Siapa di sana?” tanya Bartolomeus berjarak setengah meter dari daun pintu. Suara di luar menjawab, ”Maafkan saya sebelumnya, Romo. Saya adalah Adisti. Istri Giorsal Dhika Senior yang sedang berbaring di dalam.” Oh, istrinya Gio, ya. Kebetulan aku belum pernah bertemu muka dengannya. Tapi, apa para pelayan tidak mengabarkan pesanku untuk tidak mengizinkan siapa pun bertandang selama belum aku izinkan, tanya Romo Bartolomeus dalam hati. Setelah itu ia pun bertanya, ”Ada keperluan apa, ya?” Wanita itu di luar ruangan menjawab, ”Bukan hal penting sebenarnya. Hanya saja saya ingin memberi sedikit bantuan untuk kembali menyadarkan suami saya. Tentu saja itu pun hanya jika Romo Bartolomeus mengizinkan.” ”Hmm, maaf, Nyonya Dhika. Apa Anda tidak diberitahu untuk menjauhi ruangan ini oleh para pelayan di luar sana selama belum saya buka pintunya?” tanya Romo Bartolomeus. ”Mmm, sebenarnya mereka telah mengatakan itu dan menghalangi saya sampai di sini. Akan tetapi rasa khawatir yang tengah berkecamuk dalam diri semakin tidak tertahankan lagi. Mungkin saya bukanlah wanita berpendidikan tinggi dari kalangan atas. Hanya seekor tikus tidak berharga. Yang diselamatkan oleh Tuan Gio menuju dunia dengan semua gemerlap cahaya… hiks hiks hiks…” Eh? Dia menangis? ia menoleh lagi ke arah Gio Sr. dan Gio Jr. Sekujur tubuh mereka yang hanya ia tutupi dengan pakaian yang terbuat dari satu helai kain putih. Tampak semakin pucat. Tinggal sedikit lagi sampai menyamai warna putih kain. Jika terus dibiarkan seperti ini tanpa perkembangan berarti… Gio dan putranya bisa jadi tidak akan bisa diselamatkan lag… Dok dok dok! ”Romo, Romo, Romo Bartolomeus, apakah Anda bisa mendengar suara saya? Tolong izinkan saya masuk! Paling tidak buka saja pintunya. Saya ingin membuat ia mendengarkan nada dari kotak musik kesayangannya. Ia bilang kotak musik ini merupakan pelipur lara. Peninggalan yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Dhika. Saya yakin ini bisa memban…” JGLEK. Romo Bartolomeus pun membuka kunci dan daun pintu ruangan itu dengan kasar. Menatap wajah wanita berkulit gelap di hadapannya dengan penuh harap. Sudah lusinan “doa” untuk mengusir keburukan ia lontarkan. Sudah banyak usaha ia upayakan selama rentang waktu sejak ia tiba di kediaman itu. Tapi, semua seolah tak berdaya guna. Hanya sedikit saja kondisi Gio Sr. dan Gio Jr. bisa membaik. Namun, hanya tidak lama kemudian langsung kembali anjlok. Kegelapan yang tengah menjerat alam bawah sadar keduanya begitu kuat. Begitu berpengaruh. Mungkin menyangkut masa lalu buruk sepasang papa dan putra tersebut. Romo Bartolomeus melihat sebuah kotak musik yang berada di telapak tangan Adisti. Ditambah raut wajah yang menunjukkan betapa tulus kecemasan seorang pasangan hidup. Ia pun mengizinkan wanita itu melangkah masuk. Ia sendiri memang telah kehabisan akal. Jika benar ada yang bisa memberi masukan maka…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN