Adisti segera bergegas masuk dan menuju sisi kiri dari sang suami. Sisi yang menjauhi si putra tiri yang dibenci. Ia menangis bombay di sana menunjukkan betapa besar kesedihan. Ketakutan akan kehilangan. Namun, tidak terlalu lama. Setelah itu ia membuka kotak musik yang diharap membantu pemulihan suami tercinta.
”Aku persembahkan. Irama cinta ini hanya untukmu, wahai suamiku,” bisik wanita itu di daun telinga Gio Sr.
Nadanya terus bermain. Mulai dari melodi yang lembut dan nyaman didengar oleh telinga. Sampai… berkembang jadi semacam manifestasi partitur gagal yang AMAT SANGAT LUAR BIASA memekakkan serta membuat sakit inder pendengaran. Sungguh tidak terelakkan. Suara gesekan instrumen biola dalam musik yang benda itu keluarkan terdengar semakin cepat. Semakin rapat. Ddrrkk ddrrkk ddrrkk. Tubuh Gio Sr. yang tadi diam saja mendadak mulai mengalami kejang.
Romo Bartolomeus tidak menganggap bahwa itu merupakan gerakan yang memiliki makna baik. Suhu tubuh pria itu jadi semakin rendah. Kerendahan suhunya sampai membuat tubuh manusia (yang seharusnya) masih hidup itu seolah berada di lokasi di bawah titik beku.
Parahnya ia seperti dicengkram oleh alunan musik yang tengah bermain. Malah wanita itu terlihat baik-baik saja. Seolah tak ada hal aneh dengan efek yang kotak musik itu berikan.
”Ny, Ny, Nyona Dhi, Dhika… to, tolong… tu… tup… ko…” ucapnya terbata-bata. Sekujur tubuhnya seolah kaku. Begitu juga dengan tenggorokan yang hanya mampu mengeluarkan suara gagu.
Wanita itu menghentikan derai air mata yang entah miliki makna apa. Mendirikan tubuh setelah itu menolehkan wajah ke arah si pemuka agama. ”Ada apa Romo memanggil saya? Bukankah Anda datang ke tempat ini bersama dengan kekuatan Tuhan? Lantas di manakah Tuhan yang Anda sembah itu tengah berada?” tanya Adisti dengan nada suara datar dan tatapan mata yang sulit diartikan.
Bartolomeus. Pria yang sadar bahwa dirinya tidak pantas bersanding bersama dengan seluruh atribut agama atau ketuhanan dari kepercayaan mana pun di atas dunnia. Pria yang seratus persen sadar diri. Bahwa ia tak pantas dianggap atau menganggap diri sebagai seorang romo (panggilan untuk imam keuskupan dalam ajaran agama Katolik yang berkembang di tanah Jawa). Namun, situasi yang berhubungan dengan giorsal dari keluarga Iswari Dhika. Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Kadang tak memberi ia banyak pilihan. Kecuali mengikuti jalan yang telah diinstruksikan sejak saat “itu”.
Saat di mana semua berawal.
Ia hanya bisa terdiam mematung. Melantunkan rangkaian “doa” yang telah ia hapal di luar kepala pun tak kuasa. Kekuatan kegelapan yang sangat pekat telah ikut mencengkramnya dari “luar”.
Wajah wanita itu, Adisti Febriyani Melati, yang tadi tampak manis rupawan. Dalam waktu singkat berubah jadi menyerupai seperti sosok monster yang sangat mengerikan. Bibirnya berubah bentuk mirip seperti mulut seekor babi hutan. Wajahnya mirip dengan serigala yang dicampur orang utan. Di dahinya muncul dua buah tanduk yang melengkung ke belakang tak ubahnya seekor domba aduan. Sementara iris dari sepasang netra besarnya kini berwarna merah menyala. Tak ubahnya seekor burung hantu yang tengah mengincar mangsa.
Bartolomeus telah melakukan kesalahan besar. Kesalahan pesan yang selalu bisa terjadi pada siapa pun. Namun, tidak seharusnya terjadi pada diri-Nya.
Sekujur tubuh pria itu bagai telah kehilangan seluruh tenaga. Kala menyaksikan bagaimana wanita di hadapannya. Kedua tangan dan kakinya berubah menjadi semakin panjang dan berwarna hitam. Bergerak menjauh untuk mengambil alih kekuasaan dari seluruh ruangan. Yang sempat ia anggap telah “suci” bersih dari segala kotoran.
Sesungguhnya dalam hati yang terkontaminasi. Selalu terdapat jalan masuk untuk kegelapan sejati.
Musik itu. Camille Saint Saëns, La Danse Macabre. Sang Tarian (Pembawa) Kematian. Terus bermain seolah tengah iringi dansa kematian dari ”semua” makhluk tak kasat mata yang ada di sana. Buah dari the seventh deathly sin (ketujuh dosa besar).
*
Beberapa saat sebelumnya. Di Katedral Santa Maria Pengayom Diangkat ke Surga yang terletak di keuskupan kota sebelah.
”Romo, apa Anda yakin tidak membutuhkan pendamping?” tanya seorang pria berpakaian liturgi yang usianya baru saja menginjak kepala tiga itu cemas.
”Diakon Avi, kenapa Anda terlihat begitu tidak percaya diri terhadap kemampuan saya?” tanya Romo Bartolomeus kalem. Sembari memberi respon pada perhatian salah satu pemuka agama di rumah ibadah tempatnya mengabdikan diri. Kedua tangannya tetap serius mempersiapkan berbagai macam hal di dalam tas ”kerja”. Mulai dari beberapa jenis salib, beberapa botol kaca bening berisi air suci, beberapa buah rosario, beberapa eksemplar buku doa serta mantra pengusir kekuatan gelap, jimat, serta patung berwujud para santo/santa (orang suci).
Diakon yang memiliki nama lengkap Avimelech Hadar Edzhar Nasution itu akhirnya memberanikan diri mengutarakan alasan sesungguhnya, ”Saya khawatir karena panggilan kali ini berhubungan langsung dengan keturunan dari keluarga… Dhika.”
Romo Bartolomeus menutup tasnya dan berdiri tegak menatap si pemuka agama ”setengah matang”. Berkata, ”Memang apa yang sudah Anda ketahui mengenai keluarga Dhika, Diakon Avi?” tanyanya.
Diakon Avi menundukkan wajah. Malah diam saja. Sesuatu yang berat seperti tengah menimpa dadanya. Menghalangi ia untuk menguak apa pun. Mengenai kenyataan keluarga Dhika.
Tak ubahnya suatu urban legend. Sesuatu yang bisa jadi ada, namun dianggap juga tidak ada di saat yang sama. Sesuatu yang eksistensinya melampaui batas logika manusia.
Kini ia tepuk kedua pundak kaku pria di hadapannya. Berkata dengan kematangan percaya diri ekstra, ”Anda tidak perlu khawatir. Tuan Giorsal Dhika sudah tau jika hal seperti ini suatu saat akan terjadi. Dan saya adalah satu-satunya orang yang ia percaya. Untuk mengatasi masalah apa pun yang muncul. Begitu juga dengan yang terjadi sekarang.
”Tenang saja. Saya mampu mengatasi semua. Justru berbahaya jika pengabdi jalan Tuhan yang masih muda dan belum siap seperti Anda terlibat.”
”Baiklah kalau begitu, Romo Bartolomeus. Sama seperti Tuan Giorsal Dhika. Saya pun juga akan mempercayai Anda,” ucap Diakon Avi. Memaksakan senyuman yang entah bermakna apa.
Berusaha menutupi kegundahan yang sesungguhnya masih merajai jiwa.
Segala misteri juga kengerian menyangkut keluarga Dhika.
*
Kembali ke saat ini.
Sepasang kaki Diakon Avi melangkah cepat menuju kediaman Tuan Giorsal Dhika Sr. Sudah benar perasaannya tidak enak sejak tadi. Sesuatu yang bahkan tidak bisa dikendalikan oleh Romo Bartolomeus pasti telah terjadi. Tak sanggup ia hadapi. Karena semua yang berhubungan dengan dunia ”bawah” kadang memang tidak terkendali.
Saya akan menyelamatkan Anda, Romo Bartolomeus! Tuan Giorsal Dhika! Dan setelah itu…
Apa gerangan yang akan pria muda itu lakukan? Tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang sejak kecil ia pelajari dan yakini. Atau bersedia sedikit membelot demi sebuah penyesuaian yang tidak dikehendaki?
Tuhan, berilah hamba jawaban...