Lima Belas

1541 Kata
Iyan berjalan santai dari arah bagasi mengeluarkan motornya pagi ini dari bagasi hingga tiba-tiba ia terkejut mendapati Alina berdiri dihadapannya dengan wajah tersenyum lebar. "Astaga kaget!" "Hehe, yuk bareng ke sekolah." Iyan membelalakkan mataya menatap sang kakak, "lo kok belum pergi sih? Bukannya lo masih ujian? Dah jam berapa nih!?" "Aku mau pergi bareng kamu, kan udah lama ga pergi sama kamu." "Ya tapi lo tahu gua pergi telat! Gila ya lo?" "Makanya buruan, aku juga udah ambil helm nih." Alina menunjukkan helm yang ia pegang. "Ya ampun, padahal gua mau nyantai di jalan! Bikin repot aja sih hidup lo!? Yaudah buruan!" "Yeay!" Alina dengan wajah senang mengambil posisi di belakang Iyan dan adiknya sudah melajukan motor dengan cepat meninggalkan rumah. "Yan!" Alina memanggil adiknya itu. "Apaan?" jawab Iyan jutek. "Kamu beneran sayang ya padaku? Kayak kata kamu kemarin itu." "Apaansih lo?" "Cie maluuuu, thanks ya udah mau balik ke rumah." Alina berterima kasih karena sejak kemarin ia belum bicara dengan Iyan karena adiknya itu mengunci kamarnya rapat-rapat. "Kenapa lo bilang terima kasih? Gua balik demi diri gua sendiri. By the way lo ga marah sama gua?" "Kenapa?" "Lo seriusan mau biarin gua yang nanti pegang perusahaan papa?" Alina mengerutkan dahinya, "aku yakin ga bakal bisa tangani itu nanti. Kamu sendiri kenapa bisa berubah pikiran? Apa karena aku?" "Lo jangan kepedean, gua udah bilang ini demi diri gua sendiri." "Maksudnya??" "Bukankah nanti hidup menjadi orang dewasa itu sulit? Kenapa gua harus sia-siain apa yang udah gua punya? Apalagi yang harus gua harapin di keluarga ini selain materi? Gua cuma ingin berpikir logis." Alina terdiam mendengar jawaban Iyan, mereka belum pernah membahas tentang hal ini sebelumnya. "Usaha papa itu gede dan sangat menjanjikan, buktinya kita bisa hidup serba berkecukupan seperti sekarang. Sebagai anak gua cukup bersyukur ada disini walaupun memang hanya itu saja yang bisa gua dapat. Melepaskan ini belum tentu hidup gua akan lebih baik nantinya." Alina masih diam mendengarkan ucapan Iyan, "apa kamu benar berpikir demikian?" "Bagaimana? Apa setelah mendengarnya lo jadi berubah pikiran dan mau ambil hak perusahaan itu lagi?" Alina menggeleng, "aku tahu batasanku Yan. Ketimbang aku, kamu pasti lebih baik. Aku memikirkan apa yang udah dibangun papa dan mama susah payah bisa dilanjutkan dengan baik." gadis itu menutup ucapannya dengan senyum. "Kenapa sih Lin lo selalu aja punya pikiran baik?" Alina tertawa sambil memperbaiki poaisi helmnya, "tahu ga Yan? Aku makin deket sama Sakya loh." "Seriusan Bang Sakya mau deket sama lo?" "Ih Iyan meremehkan! Aku ini cewek populer sekolahan loh!" "Ya karena lo populer gua ga percaya Bang Sakya mau sama lo!" "Lah yang bilang Sakya mau siapa? Aku cuma bilang kami lebih deket!" Iyan terbahak mendengar jawaban Alina, "aduh kasian banget sih lo Lin, Bang Sakya mah sama siapa aja mudah deket." "Bukannya dukung dan hibur kakaknya kenapa malah matahin sih? Kenapa sih Yan kayaknya sejak awal kamu ga dukung aku yang suka sama Sakya!?" "Ya karena kalian ga sefrekuensi." "Maksudnya?" "Bang Sakya keren sedangkan elo nggak." "Iyan!" Alina memukul helm Iyan keras. "Woi! Lo gila apa ya? Kita jatoh lo ga jadi ujian!" "Ya kamu nyebelin!" "Eh lo udah siapin berkas daftar kuliah? Kabarnya besok mulai pendaftaran jalur prestasi." Gadis itu mengangguk, "udah dari lama, cuma ninggal lampu hijau aja. Thanks udah bantu bikin aku dapat ijin dari papa mama yaa." "Ga cuma say thanks doang, lo mesti kasih gua sesuatu." "Lah kok pamrih!?" Alina memajukan bibirnya dengan dahi mengerut. "Ga ada yang gratis di dunia ini Alina." "Emang mau apa?" "Nanti deh gua pikirin. Lo siap-siap aja." "Ish Iyan! Eh ngomong-ngomong selama ga di rumah kemarin kamu nginap dimana?" Alina membuka topik pertanyaan baru karena penasaran. "Pengen tahu aja lo. Rahasia lah, nanti kalau lo tahu, besok gua lari dari rumah bakal kesulitan lagi nyari tempat baru. Awalnya gua mau ke tempat Bang Sakya, tapi pas ingat kalian deket, gua jadi ga bisa kesana." Ucapan Iyan membuat Alina tersenyum aneh, "akhirnya kamu mengakui kami dekat hahaha." "Dasar! Ga gitu, lebih tepatnya karena lo sering ngegatel ke Bang Sakya, nah guanya yang jadi ga enak ke dia. Paham lo sekarang?" "Ya ampun Iyan mulutnya bisa disaring nggak!?" "Telinga lo aja yang disaring, kenapa musti mulut gua yang lo urusin?" Tangan Alina langsung bergerak mencubit Iyan gemas, "ya tuhan punya adek kenapa ga ada akhlak sama sekali gini??" ** Akhirnya ujian hari ini berakhir, semua siswa kelas dua belas tampak memasang wajah lega termasuk Alina. Setelah mengobrol dengan teman-temannya ia kini berjalan hendak pulang namun langkahnya terhenti melihat kehadiran Rendi yang menghampirinya. "Ouh, Ren?" Pria berkulit cerah itu tersenyum, "Alina, kabarnya kamu tidak apply pendaftaran kuliah ke luar negeri sama sekali." Alina mengangguk, "iya, memangnya kenapa?" "Kamu serius? Tapi bukankah orang tuamu sudah lama merencanakan semuanya?" "Mereka memang merencanakannya tapi aku tak bisa melakukannya." "Kenapa??" Alina mengangkat bahu, "ya aku hanya tidak mau. Apa kita harus selalu mengikuti apa yang orang lain suruh pada kita? Bagaimanapun bukan mereka yang akan menjalankannya nanti." Jawaban Alina membuat Rendi terheran, "apa aku benar sedang bicara dengan Alina?" "Banyak hal yang harusnya kita pikirkan lagi Ren, salah satunya untuk menikmati apa yang kita jalani." ujar Alina sambil tersenyum dan tiba-tiba perhatiannya teralih ke arah lain. Menyadari itu Rendi mengikuti arah pandang Alina dan mendapati Sakya yang sedang duduk bersama beberapa orang di salah satu pendopo sekolah. "Alina sepertinya belakangan ini kamu dekat dengan Sakya." Alina kembali melihat ke arah Rendi dan tersenyum, "kamu mengetahuinya? Apa kami sudah terlihat dekat?" "Aku rasa itu tidak baik untukmu." Dahi Alina langsung mengerut menatap Rendi, "kenapa kami bisa bicara seperti itu?" "Kamu berubah Lin, apa keputusanmu untuk tidak mengikuti permintaan orang tuamu juga karena dia? Sakya sangat terkenal karena kenakalannya, harusnya kamu tidak mudah untuk terpengaruh hal buruk, apa yang telah kamu usahakan sebelum ini bisa berantakan hanya karena ini." Ucapan Rendi langsung membuat Alina merasa tak terima, "sepertinya kamu gak berhak bicara seperti itu tentang orang lain." "Aku bicara seperti ini karena aku peduli padamu. Kita sudah kenal lama bahkan keluarga kita juga dekat. Kamu baru saja kenal dengannya tapi kamu berubah banyak. Aku juga dengar tentang para guru yang kaget dengan rencana pilihan kuliahmu." "Seberapa lama kita kenal seseorang belum tentu sebanding dengan kualitasnya. Aku baik-baik saja dan merasa tidak ada masalah apapun, jangan salahkan Sakya atas apapun keputusanku." "Tapi Alina..." "Ren, bisakah kamu tidak ikut bersikap menyebalkan?" "Aku hanya tidak ingin kamu menyesal nantinya." Alina menghela napas malas, "aku hanya sedang belajar untuk menjadi diriku sendiri. Dan hal yang terpenting menurutku saat ini adalah jangan bicara tentang orang lain tanpa tahu bagaimana yang sebenarnya." Rendi hanya bisa membalas ucapan Alina dengan diam. "Kamu sedang mendaftar kuliah di luar negeri kan? Kuharap kamu bisa lulus dan sukses disana. Aku pergi dulu." Alina menunjukkan senyuman kecil dan pergi meninggalkan Rendi. Disepanjang langkahnya Alina masih terpikirkan ucapan Rendi dan membuatnya gelisah. Ini bukan karena ia membenarkan ucapan dan peringatan Rendi, melainkan ia memikirkan apa semua orang berpikiran buruk tentang Sakya? "Orang sebaik Sakya ga seharusnya mendapatkan penilaian seperti itu." Alina kesal sendiri dan coba melihat ke arah dimana Sakya tadi duduk dengan teman-temannya, tapi kini tidak ada kehadiran Sakya tampak disana. "Sakya kemana? Apa dia akan pulang? Mungkin dia sudah ke tempat parkir, aku mau bertemu dengannya dulu. Aku harus minta maaf soal sikapku kemarin padanya." Alina memutar arah kakinya menuju tempat parkir demi bertemu Sakya. Alina agak berlari saat kini ia sudah akan sampai di tempat parkir, arah matanya langsung menuju tempat biasanya Sakya memarkir motor, itu sudah seperti tempat yang tetap dan tidak akan ada yang mengganggu. Namun langkah Alina langsung langsung membeku saat mendapati Sakya tidak sendirian, ada seorang wanita di depannya. Tapi dari seragamnya terlihat dia bukan dari sekolah ini. Alina mundur perlahan dan mencari tempat yang rasanya tidak membuat mereka sadar dengan keberadaannya, kini otak Alina dipenuhi pertanyaan siapa wanita itu dan apa yang ia lakukan dengan Sakya? "Wih liat tuh, beneran disamperin si Sakya sama tuh cewek." terdengar obrolan beberapa orang anak laki-laki yang ternyata juga memperhatikan Sakya. "Coba tebak kali ini Sakya bakal terima apa nggak?" "Gila sih kalau ditolak, itu kan cewek populer dari sekolah sebelah. Cantik woi, selebgram, banyak endorsenya." "Tapi cewek yang kemarin lebih cantik tetap aja tuh ditolak sama Sakya." "Heran gua sama si Sakya, sok kecakepan banget nolakin cewek cewek cakep. Apa dia ga suka cewek kali ya?" "g****k, gua bilang Sakya abis lo digebukin." "Nyantai dong anjir. Eh tapi gua lihat belakangan ini si Sakya deket sama Alina, sejak kapan ya? Tumben banget Sakya bergaul ama anak elit kayak Alina. Pacaran?" "Pacaran? Ga mungkin deh kayaknya. Gua rasa tipe Sakya bukan yang kayak Alina deh." "Padahal Alina cantik loh, mana pinter dan anak orang kaya." "Nah makanya, Alina mah sama aja kayak cewek-cewek yang Sakya tolak sebelumnya. Kayaknya dia insecure sama semua cewek yang deketin dia." "Kali aja si Sakya emang ga pengen punya cewek, secara kan dia sibuk banget bantuin bundanya, nyari tempat nampil buat nyanyi dan dia juga belajar jadi komposer sendiri." "Iya juga sih, eh tapi kok itu malah pulang bareng wei!? Diterima!?" "Lah iya, kok pulang bareng?" "Fix sih ini jadian." Alina yang sejak tadi menyimak pembicaraan beberapa anak laki-laki sembari ikut memperhatikan Sakya juga kaget, "lah kok Sakya pergi sama cewek itu!? Hua Sakyaaaaaaaaaaa!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN