Alina berjalan dengan langkah lesu keluar dari ruang ujian, dia tidak seperti siswa lain yang berwajah murung karena soal ujian tadi, melainkan ia kembali teringat akan adiknya yang sudah beberapa hari tak kunjung pulang. Ini merupakan waktu terlama selama Iyan pernah pergi dari rumah. Biasanya Iyan hanya pergi satu atau dua malam dan akan pulang seperti tak terjadi masalah apapun sebelumnya.
Berbeda dengan Alina, orang tuanya tampak tak begitu peduli dengan itu, Alina sudah coba bicara agar papa mamanya membujuk Iyan untuk pulang, tapi tampaknya mereka memilih untuk diam karena tahu kalau bagaimanapun itu tak akan bisa mengubah Iyan. Iyan sangat keras kepala, ia akan lakukan sesuatu hanya atas dasar kemauannya sendiri.
"Hey!"
Alina yang melamun tersadar dan melihat siapa yang kini berjalan disebelahnya, "Sakya?"
"Kenapa mukanya murung gitu? Soal ujiannya susah? Ah tidak mungkin seorang Alina kesulitan karena ujian bukan?" tanya Sakya yang menyandang tasnya di salah satu bahu saja berjalan santai beriringan dengan Alina.
Gadis itu tersenyum kecil, "gimana ujiannya?"
"Ah, aku tidak yakin. Aku buruk sekali dalam mata pelajaran fisika."
"Setidaknya kamu udah usaha, saat ujian akhir nanti aku yakin kamu sudah jauh lebih baik."
"Kamu kenapa hm?" Sakya kembali bertanya karena Alina terus terlihat memikirkan sesuatu yang berat.
"Kenapa apa?"
"Kamu kelihatan sedih."
"Bukan apa-apa, aku hanya teringat Iyan yang belum kunjung pulang ke rumah. Aku merasa takut kalau dia benar-benar membenciku dan semuanya." Alina memberi tahu karena hanya Sakya yang mungkin paham situasinya.
Sakya menghela napas pelan, "apa mau aku bantu bilang padanya?"
Alina menggeleng, "aku tidak mau terus merepotkanmu. Lagipula aku takut Iyan merasa tak nyaman."
"Pendaftaran kuliah jalur prestasi akan dibuka dua hari lagi. Bagaimana keputusanmu? Orang tuamu?"
Kepala Alina langsung terasa pusing mendengar pertanyaan Sakya, ia mengusap sekilas pelipisnya, "ga ada yang berubah. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Sakya pun juga bingung harus bicara apa, berada di posisi Alina pasti sulit sekali, "kamu sudah coba memikirkannya lagi? Sebenarnya permintaan orang tuamu juga tidak buruk. Itu juga akan berdampak baik pada dirimu sendiri, hidupmu kedepannya akan terjamin."
Alina tiba-tiba menghentikan langkahnya yang membuat Sakya kaget, gadis itu menatapnya sinis, "apa sekarang kamu juga menyuruhku menyerah dan mengatakan kalau aku ini salah? Siapa kemarin yang menyuruhku memikirkan apa yang aku mau dan apa yang tidak aku mau? Kenapa jadinya kamu malah sama dengan yang lain!?"
"Ah, Alina maaf, aku tidak bermaksud demikian." Sakya langsung meminta maaf pada Alina yang tiba-tiba saja emosi.
"Saat aku bicara pada yang lain kenapa mereka malah bilang aku tidak bersyukur? Memangnya salah bicara apa yang aku mau? Selama ini aku selalu menurut, tapi kenapa sekalinya aku bicara jujur tidak ada yang mau terima!? Ini menyebalkan sekali! Tidak adil!"
"Hey, tenanglah Alina.., pikiranmu pasti sedang kacau." Sakya coba menyadarkan Alina.
Alina menggeleng sambil tangannya mengepal, "semuanya jauh lebih kacau daripada pikiranku!"
"Lin! Mau kemana!?" Sakya mengejar Alina yang pergi begitu saja. Sakya yakin pasti Alina marah sekali dan merasa tertekan sampai ia bisa bertingkah seperti ini.
Gadis itu terus melangkah dengan sangat cepat dengan rasa kesal yang seperti sudah menguasai dirinya, demi apapun ia kini seperti membenci semuanya. Sedangkan dibelakangnya Sakya terus coba mengejarnya.
"Alina Alinaaa! Kamu tenang lah, kamu mau ngapain?" Sakya menahan Alina dengan cara berdiri di depan Alina setelah sebelumnya kepayahan mengikuti Alina yang entah akan kemana.
Alina memejamkan matanya sekilas sembari menarik napas dalam, "aku mau pulang."
"Aku antar?"
"Ga usah."
"Terus?"
"Aku pesen ojol."
"Mending bareng aku."
"Nggak, makasih."
Sakya menggaruk belakang kepalanya bingung, "apa kamu marah juga padaku?"
"Udahlah, toh ini masalahku, kamu tidak perlu repot ikut campur. Kamu sendiri sibuk kan?"
Sakya menghela napas pendek, "lah kok bicaranya gitu sih?"
Ucapan Sakya tak dijawab apapun eh Alina, ia malah pergi melewati Sakya begitu saja.
Melihat itu Sakya hanya bisa pasrah dan melihat Alina yang pergi begitu saja yang bahkan dari belakang saja terlihat jelas kalau ia sedang marah.
**
Alina duduk diam di meja belajarnya malam ini dengan tatapan kosong, didepannya buku catatan dan pelajarannya sudah terbuka sejak tadi namun pikirannya tak bisa diajak berdamai untuk bisa belajar.
Pikiran Alina masih dipenuhi oleh berbagai masalah, tentang keluarganya terutama Iyan, pilihan kuliahnya nanti, dan ditambah lagi rasa bersalahnya karena tadi sudah marah-marah tak jelas pada Sakya.
"Harusnya aku tidak seperti itu pada Sakya tadi. Aku pasti terlihat sangat menyebalkan bagi Sakya." Alina bergumam menyesal teringat sikapnya pada Sakya. Ia sadar kalau tadi ia malah melampiaskan emosi pada Sakya yang padahal ia pasti berniat baik untuk membantu.
"Kenapa aku bodoh sekali bersikap dalam dunia nyata?" Alina meringis sambil memijat batang hidungnya sendiri.
Untuk beberapa saat Alina terdiam sambil melamun ke arah luar jendela hingga tiba-tiba ia tersadar karena mendengar suara keributan di luar.
"Suara siapa itu? Bukankah itu Iyan??" Alina coba menyimak dengan seksama dan sangat yakin kalau ada suara Iyan di luar.
Dengan cepat Alina langsung berdiri dan berlari keluar untuk memastikan dan benar saja, di ruang tengah ada Iyan berserta mama papanya yang menjadi sumber keributan.
"Selama ini kamu selalu berlaku seenaknya seolah rumah ini tidak memiliki aturan!" itu ujar papa yang selalu menjadi lawan utama keributan Iyan di rumah ini.
"Lalu papa tidak terima aku kembali menginjakkan kaki di rumah ini?"
"Ini bukan masalah terima tak terima, tapi ini tentang bagaimana sikap kamu Giandra! Selalu pergi dan datang seenaknya, mau sampai kapan kamu seperti ini."
"Sampai papa bisa paham kalau papa tak bisa selamanya terus memaksakan kehendak."
"Bagaimana bisa anak yang masih apa-apa bergantung pada orang tua bicara demikian?"
Iyan mendengus, "papa keberatan menanggungnya? Ingin aku lepaskan segalanya bahkan juga statusku sebagai anak?"
"Iyan! Jangan bicara sembarangan!" mama yang sedari tadi diam langsung bersuara karena tak terima dengan ucapan bungsu keluarga ini.
"Kenapa, Ma? Bukankah selama ini aku tak bisa membanggakan kalian? Apapun yang aku lakukan tidak ada yang mau mendukung dan mengapresiasi. Aku tidak paham konsep keluarga ini. Ada yang bisa jelaskan?" Iyan merespon dengan menatap mama dan papanya bergantian.
"Bisakah kamu untuk berhenti membuat keributan?"
"Memangnya papa pikir aku mau keadaan yang seperti ini? Aku juga mau hidup tenang dan nyaman di rumah sendiri. Tapi nyatanya apa? Aku selalu merasa lebih baik di tempat ga jelas di luaran sana tapi dihargai daripada di rumah bak istana tapi tak ada yang peduli."
"Jika kami tak peduli kamu tak akan mungkin bisa tumbuh seperti sekarang Iyan!" mama tampaknya sangat sensitif dengan pembicaraan Iyan sekarang.
Iyan menggeleng dan menatap mamanya dengan mata sayu, "semua hanya memikirkan Alina. Segalanya Alina dan aku hanya si adik yang tidak ada gunanya. Kalian kesal karena aku tidak tumbuh seperti Alina bukan?"
"Iyan, aku minta maaf." Alina yang mendengar itu semua tidak bisa menahan air matanya dan bicara dengan suara bergetar pada Iyan.
"Lo ga perlu minta maaf, gua ga mau lo semakin terlihat baik dan gua semakin terlihat buruk. Lo bikin gua terus terlihat buruk terlebih di depan papa mama."
"Giandra! Bersikap lebih baiklah pada Alina karena dia adalah kakakmu." papa menegaskan karena kesal melihat sikap Iyan yang bahkan juga tidak baik pada kakak kandungnya.
"Bukan karena dia anak kebanggaan?"
"Anak ini benar-benar sudah keterlaluan!" geram papa sudah nyaris hilang kesabaran karena ia selalu bertengkar dengan Iyan namun tak ada perubahan apapun yang anaknya itu tunjukkan, yang ada ia malah semakin mahir dalam melawan.
"Apa tidak ada yang ingin bertanya kenapa aku kembali ke rumah?" Iyan bertanya sambil meletakkan tas yang sejak tadi ia sandang di kursi.
"Ini rumahmu, tidak perlu ada alasan kamu kesini. Iyan, berhentilah berulah." mama sudah tampak lelah dengan keributan yang tiada habisnya.
Iyan tertawa, "kenapa? Rekan bisnis mama mulai membicarakanku? Apa kehebatan Alina tidak mampu menutupi keburukanku? Ah benar juga, itu karena Alina juga sudah menentang keinginan kalian."
"GIANDRA!!" papa mulai habis kesabaran mendengar ucapan Iyan yang seolah terus ingin membuat ubun-ubun mereka selaku orang tua mendidih.
"Jujur aku sebenarnya menyayangi Alina karena dia adalah kakakku, saudaraku satu-satunya dan tidak pernah mempermasalahkan apapun yang ada padaku. Selain anak yang baik, dia juga kakak yang baik. Aku sadar kalau orang yang menyayangiku dengan tulus di rumah ini mungkin hanya dia."
Alina terkejut mendengar Iyan yang mendadak bicara tentang dirinya, "Iyan..."
"Aku sudah berpikir untuk tidak ingin disini lagi, tapi aku tidak bisa membiarkan Alina begitu saja. Tolong lepaskan Alina."
"Apa maksudmu hah?" papa mengerutkan dahinya tidak paham dengan arah pembicaraan Iyan.
"Biarkan kakakku melakukan apa yang dia mau. Dia ingin kuliah hukum, tidak ingin kuliah ke luar negeri, beri dia kebebasan, dan ia tidak mau mengurus perusahaan." jawab Iyan dengan tegas.
"Lalu kamu pikir kami akan turuti semuanya begitu saja?" papa tertawa miring mendengar ucapan Iyan.
"Harus! Karena Alina butuh itu, mau sampai kapan Alina terus hidup diatur dan kaku seperti itu?"
"Kami tidak sembarangan, kami sudah memikirkan semuanya dengan matang. Kalian masih terlalu kecil untuk bisa paham dunia yang sebenarnya."
"Apa yang papa maksud adalah gengsi? Sampai kapan orang tua terus otoriter hanya demi harga diri? Apa anak tak boleh mengatakan keinginannya? Apa semua sejahat itu?"
Papa menarik napas dalam coba menenangkan diri, berhadapan dengan Iyan sungguh melelahkan, "jadi apa inti dari semuanya hah?"
"Untuk kali ini tolong biarkan Alina memilih keputusannya sendiri. Selama ini dia sudah menjadi anak yang sangat baik, anggap ini adalah hadiah untuknya."
Papa tersenyum miring memperhatikan Iyan, "lalu bagaimana kekacauan selanjutnya? Tentang perusahaan siapa yang akan tanggung jawab?"
Iyan terdiam sejenak dan melihat Alina sekilas hingga kini ia menatap papanya tajam, "aku yang akan tanggung jawab."
Jawaban Iyan langsung membuat Alina dan mama yang menganga kaget, ini bukan suatu hal yang bisa dipercaya.
Namun tanggapan berbeda keluar dari sang papa yang malah terbahak, "sesayang itu kamu pada kakakmu sampai mengorbankan diri sendiri? Bukankah mengurus perusahaan sama sekali bukan jalan yang kamu inginkan?"
Iyan menatap papanya tajam seolah menantang, "dari mana papa tahu apa yang aku inginkan dan tidak aku inginkan? Apa kita pernah membicarakannya? Tidak kan? Seperti kata Alina, kalian tidak pernah mau membicarakannya padaku. Walau aku tak dianggap anak disini, tapi aku tetap meminta hak ku karena secara formalitas aku adalah satu-satunya anak lelaki di keluarga ini."
Jawaban Iyan langsung dibalas tepuk tangan oleh papa namun malah terkesan menertawakan, "kamu tumbuh menjadi anak yang sungguh mengejutkan. Kamu memang memiliki hak, tapi dengan kamu yang seperti ini kamu pikir papa akan memberikan hak itu? Papa juga berhak dan berkewajiban menentukan arah laju usaha yang dibangun susah payah ini. Anak yang selalu bersikap seenaknya apa bisa paham ini?"
Iyan mengepalkan tangannya menahan rasa kesal karena merasa tengah diremehkan oleh papanya sendiri, "papa selama ini berpikir aku ini anak yang bodoh kan? Karena itu papa hanya berharap pada Alina yang bagus dalam akademik."
"Menyadarinya?" tanya sang papa santai seolah tak sadar dengan anaknya uang sudah begitu emosi.
"Aku akan masuk 3 besar saat semester depan. Jika aku tak menepatinya maka terserah kalian akan melakukan apa, bahkan aku rela keluar dari keluarga ini. Tapi tolong sekarang biarkan Alina dengan pilihannya."
Alina kaget bukan main, "Iyan!! Sadarlah! Kamu bicara apa!? Kamu kenapa seperti ini!?"
"Gak sepenuhnya buat lo, gua mau buktiin kalau pandangan mama papa selama ini salah. Gua juga udah capek diremehin dan cuma dianggap anak pembangkang doang. Gua mau buktiin semuanya."
Papa yang melihat itu tertawa sambil berjalan melihat Iyan dan Alina bergantian, "okey, tapi kita tentu butuh persetujuan Alina. Apa kamu setuju dengan ucapan adikmu?"
Alina kaku dan menggeleng menatap Iyan, "ini keterlaluan Yan, aku ga mau nanti kamu gimana-gimana."
"Udah gua bilang ini kehendak gua sendiri! Lo jangan ribet ah! Ini keinginan gua buat bisa kuasai perusahaan nanti! Kalau lo ga mau perusahaan ya untung buat gua. Atau lo ga rela berikan itu semua ke gua? Tapi kan lo sendiri yang bilang kalau itu hak gua!" Iyan memaksa Alina geram karena terlalu lama.
Alina terdiam dengan pikiran campur aduk, ia melihat semuanya bergantian hingga akhirnya kembali pada Iyan, "aku yakin selama kamu pergi udah mikirin ini baik-baik, hanya aku yang bodoh tak bisa paham. Ga hanya diri kamu, tapi pasti kamu juga memimikirkan aku. Aku percaya sama kamu Yan."
Iyan tersenyum tanpa sadar pada Alina dan kini melihat papanya, "dengar sendiri kan?"