Sembilan Belas

1948 Kata
"Lin, udah jangan didengerin lagi." Sakya memperingatkan Alina yang akan menekan tombol play pada lagu lain di laptopnya untuk didengarkan. "Ih kenapa? Bukannya kamu bikin lagu buat bisa didenger orang?" "Ya ga gini juga, aku kan tadi niatnya cuma coba dengerin dan kamu kasih penilaian aja." Alina tersenyum lebar, "bagus kok, makanya aku mau denger lagi karena bagus. Pindahin ke handphone aku aja gimana? Biar bisa aku denger lagi nanti." Dengan cepat Sakya menggeleng dan menjauhkan laptop dari hadapan Alina, "jangan!" "Ih Sakya kok gitu? Pelit bangeett!!!" "Aku ga percaya diri, lagian itu masih butuh banyak perbaikan." Alina menatap Sakya malas, "gimana sih? Kok ga pede banget? Bukankah karya itu untuk dinikmati?" "Aku masih butuh banyak belajar." Alina meluruskan kakinya dan bersandar di kaki ranjang Sakya, "jika seperti ini aku pikir tidak apa kamu tidak kuliah. Kamu akan menjadi penyanyi terkenal yang akan membuat lagumu sendiri." Pertanyaan Alina membuat Sakya merasa canggung, "mungkin itu akan sulit." "Hey! Kenapa dari tadi bawaannya ga pede aja sih? Apa ini benar-benar Sakya yang kukenal?" Sakya tertawa, "aku akan berusaha semampuku." "Nah gitu dong, aku bakal selalu dukung kok. Sakya pasti bisa." Sakya tersenyum melihat Alina yang sangat bersemangat, "ngomong-ngomong kamu sendiri ingin kuliah jurusan hukum kan? Apa yang kamu inginkan nanti pada akhirnya?" "Aku? Hm.., mungkin ini juga akan sulit." "Sulit? Kenapa? Aku tak bisa membayangkan sesuatu yang sulit dari seorang Alina." Alina menghela napas panjang, "hei jangan seperti itu. Sebenarnya aku merasa tidak nyaman saat orang lain memandangku hebat, itu membuatku tertekan karena sebenarnya aku memiliki kesulitan dalam berbagai hal." Sakya menaikkan alisnya, "apa yang mengganggumu?" "Aku sering merasa tidak tahu dan kebingungan pada apa yang sebenarnya sedang aku lakukan. Aku seperti tak pernah memiliki alasan sendiri saat melakukan sesuatu. Kadang aku merasa sangat payah dibanding orang lain yang bisa melakukan sesuatu dengan alasan yang jelas." "Apa sekarang masih seperti itu?" Alina tersenyum pada Sakya, "aku merasa lebih baik. Kamu masih ingin tahu kenapa aku ingin kuliah jurusan hukum?" "Kenapa?" "Aku ingin menantang diriku sendiri. Aku tidak begitu pandai dalam bicara apalagi berdebat. Aku juga tidak begitu bisa melihat dengan jeli permasalahan di kehidupan nyata. Aku tidak bisa banyak membantu saat ada sebuah masalah." Sakya mengerutkan dahinya bingung menatap Alina, "kamu ingin keluar dari zona nyamanmu? Tapi bukankah itu terlalu beresiko? Maaf, aku tidak bermaksud meremehkanmu, tapi melihat kehebatan kamu dibidang lain, aku pikir ini keputusan yang luar biasa." "Justru aku sedang mencari zona nyaman. Aku belum pernah memiliki zona nyaman sebelumnya. Berbeda denganmu yang hebat dalam hal musik, kamu menikmati dan berani memperjuangkan impianmu. Aku sebelumnya tak pernah menikmati apapun yang kulakukan, aku hanya bergerak seperti boneka. Aku berpikir dengan perjuangan menaklukan kelemahanku pada akhirnya aku akan sangat puas pada hasilnya dan menikmati apa yang aku lakukan." Sakya terdiam memperhatikan Alina yang bicara sambil tersenyum, "kamu ternyata punya cara berpikir yang berbeda." Alina terbahak, "walau tidak tahu bagaimana hasilnya, aku hanya bermodalkan nekat. Bahkan aku baru bisa untuk berani bicara apa yang kumau pada orangtuaku." "Setidaknya kamu sudah mencoba. Aku yakin hasilnya nanti akan baik. Walau bagaimanapun Alina yang kutahu orang yang bisa melakukan segala sesuatu dengan baik." "Apa itu ponselmu yang berdering?" Sakya bertanya karena mendengar dering handphone tapi bukan dari handphonenya. Alina langsung mengambil ponselnya yang ada di dalam tas, ada panggilan dari Iyan. "Halo Yan, kenapa?" tanya Alina meletakkan ponsel di telinganya. "Lin! Lo ga langsung pulang? Kemana sih lo?" terdengar suara Iyan yang langsung ngegas dari seberang. "Emang kenapa?" "Mama udah di rumah. Lo gila apa ya? Kemarin aja lo baru ribut dan sekarang udah sore gini lo masih aja keluyuran di luar. Mama nanyain lo dan gua ga tahu mau jawab apa." Alina terdiam sambil melirik Sakya yang kini mulai sibuk membereskan laptopnya, "yaudah aku pulang sekarang." "Emang lo lagi dimana sih? Jangan bilang lo ke tempat Bang Sakya!?" "Kalau iya memangnya kenapa?" "Astaga Alina, gua pikir lo bakal jaga jarak dulu sama Bang Sakya gara-gara mama papa udah tahu tentang dia." Alina menarik napas dalam dan menghembuskannya lagi dengan kencang, "aku pulang sekarang." dan Alina langsung mematikan ponselnya dan mulai bergerak membereskan barangnya. "Eh? Mau ngapain? Mau pulang sekarang?" tanya Sakya saat kini Alina sudah berdiri dan seperti akan pergi. Alina mengangguk, "aku pulang sekarang ya?" "Eum.., ya baiklah. Kalau gitu aku antar." Dengan cepat Alina menggeleng dan menghentikan Sakya yang juga ingin bersiap-siap pergi, "ga usah Sakya. Biar aku pulang sendiri." "Ga papa, biar aku antar." "Seriusan biar aku sendiri aja. Makasih ya udah ijinin aku kesini. Aku pulang sekarang." Sakya hanya bisa menurut dan melihat Alina yang pergi dengan terburu-buru. *** Alina tersenyum lebar saat berdiri di papan pengumuman yang berisikan hasil nilai ujian sebelumnya, akhirnya hasil ujian yang Alina tunggu-tunggu keluar. Baru kali ini ia sangat tidak sabar menanti hasil ujian, bahkan Alina sudah berdiri di depan papan pengumuman sejak kertas-kertas itu baru akan ditempel. Nama pertama yang ia cari bukanlah dirinya, melainkan nama Sakya. Begitupula dengan Sakya, ia biasanya tidak peduli pada hasil ujian, bahkan melihat hasilnya saja tidak tertarik. Namun melihat papan pengumuman dikerumuni banyak orang, Sakya juga sangat ingin ikut masuk dalam kerumunan, tapi rasanya sangat malu dan canggung sekali, disisi lain ia juga deg-degan dengan hasil ujian. Alina masih berada di depan papan pengumuman saat orang-orang sudah silih berganti datang dan pergi, ia menoleh ke sekitar mencari Sakya dan mendapati Sakya berdiri di paling belakang seolah ragu untuk masuk dalam kerumunan atau tidak, terlihat sangat lucu bagi Alina. Hingga akhirnya mata mereka bertemu dan Alina melambaikan tangan yang mengisyaratkan Sakya untuk mendekatinya di depan papan pengumuman, walau ragu Sakya pun mencoba menerobos dan akhirnya ada disamping Alina. "Wah kamu peringkat satu lagi Alina." Sakya takjub melihat hasil nilai Alina dan tersenyum memberi selamat. "Bukan hal mengejutkan bukan? Mau tahu sesuatu yang lebih mengejutkan? Lihat ini," Alina menunjuk salah satu nama. Sakya mengikuti arah tunjuk Alina dan membuat matanya terbuka lebar dan menatap Alina tak percaya, "apa ini benar-benar nilaiku? Ah ini luar biasa." Alina tersenyum, "sebanding dengan kerja kerasmu. Dan peringkatnya juga sangat mengejutkan." Sakya bingung dan kembali melihat ke arah namanya di kertas pengumuman, ia terperangah karena masuk dalam tiga puluh teratas dalam jurusannya. Alina tertawa melihat wajah kaget Sakya yang bahkan ia coba memeriksa berulang kali untuk memastikan apakah ia tak salah lihat. "Udah udah, jangan dilihat berulang-ulang, nanti malah berubah masuk sepuluh besar malah jantungan." canda Alina sambil kini menarik Sakya untuk keluar dari keramaian. "Thanks ya Lin, aku bahkan kaget dengan hasilku sendiri." "Apa itu sudah cukup untuk membalas usahamu? Kamu belajar siang malam." Sakya menggaruk kepalanya malu, "bahkan aku merasa hasilnya terlalu berlebihan. Aku hanya berharap nilaiku tidak begitu buruk." Alina tertawa sambil kini mengangkat tangannya, "usaha kita tidak sia-sia." Sakya juga mengangkat tangannya untuk bertepuk tangan dengan Alina sambil kini mereka tersenyum bangga. "Apa kita harus rayakan ini?" tanya Alina mengangkat alisnya. "Apa aku harus mentraktirmu sesuatu 'mentorku'?" "Tentu!! Kita pergi sekarang!" Disaat mereka sedang asik berencana tiba-tiba seorang murid lain menghampiri mereka, "Sakya!" "Ya?" Sakya menoleh. "Kamu dipanggil Bu Astrid." "Bu Astrid? Hm, baiklah. Terima kasih." Sakya mengangguk dan siswa itupun pergi meninggalkan mereka. Alina melihat Sakya penasaran, "kenapa Bu Astrid manggil kamu?" Wajah Sakya juga heran sambil angkat bahu, "aku juga tidak tahu. Sudah lama aku tidak masuk ruang BK, apa Bu Astrid merindukanku?" Sakya tertawa. Alina menarik ujung bibirnya, "hm.., yaudah. Aku tungguin kamu ya." Sakya mengangguk, "kalau gitu aku pergi dulu ya. Kamu ga papa nungguin kan?" "Ga papa kok, buruan sana pergi biar cepat selesainya." Sakya menggangguk dan berjalan pergi meninggalkan Alina. * Sakya mengetuk pelan pintu ruangan yang rasanya sudah cukup lama tak ia sambangi selaku siswa yang terkenal sebagai tamu utama ruangan ini, "permisi." "Ouh Sakya, silahkan masuk." Bu Astrid memanggil dan menyuruh Sakya duduk pada kursi di hadapannya. Sakya masuk dan duduk didepan Bu Astrid, "ada apa bu?" Bu Astrid diam sejenak tampak ragu untuk bicara, "ibu mau bertanya, mengenai ujian kemarin apa kamu mengerjakannya dengan baik dan jujur?" "Hah?" Sakya kaget dengan pertanyaan yang diajukan kepadanya, "maksud ibu saya melakukan kecurangan!?" "Tunggu tunggu Sakya, ibu hanya bertanya saja karen..." "Saya benar-benar merasa tersinggung dengan pertanyaan ibu. Apa karena nilai saya kali ini lebih baik maka saya langsung dicap melakukan hal buruk dan curang?" Sakya sangat emosi dan tak terima. "Sakya dengarkan ibu dahulu. Ini hanya karena kamu melakukannya dengan sangat baik dan membuat para guru kaget. Ibu yakin kamu tidak akan melakukan hal seperti itu karena ibu tahu walaupun kamu terkenal nakal tapi kamu adalah anak yang baik. Dan ibu juga merasakan perubahan kearah yang lebih baik karena belakangan ini kamu tidak membuat ulah apapun." "Lalu dimana salahnya bu? Apa tidak boleh saya mendapatkan nilai baik? Belajar dengan lebih giat? Saya tahu ini terlambat, tapi karena saya sadar kalau saya terlambat dari yang lain makanya saya bekerja keras. Tapi hasilnya apa!?" Sakya sampai tidak sadar menggebrak meja yang membuat Bu Astrid kaget. "Iya ibu tahu Sakya, ibu hanya ingin dengar langsung dari kamu agar ibu bisa meredakan keraguan orang lain atas kamu." "Apa semua guru meragukan saya? Saya tidak paham kenapa sikap orang yang selalu mengajarkan hal baik bisa seperti ini hanya karena sikap saya sebelumnya? Saya pikir saya akan mendapat apresiasi baik, tapi malah hinaan seperti ini." Bu Astrid ikut menghela napas, "maafkan ibu, ibu tidak bermaksud menghina kamu dan ibu juga minta maaf atas sikap guru lain yang membuatmu kecewa." "Udahlah bu, kalau memang perubahan baik saya malah menjadi hinaan, lebih baik saya kembali lakukan apapun sesuai keinginan saya yang bebas. Itu akan terasa lebih baik dan tampaknya membuat sekolah ini senang bisa terus menghukum saya." "Sakya jangan seperti ibu. Ibu mohon maaf dan ibu sangat bersyukur atas pencapaian kamu yang luar biasa ini." "Saya pamit bu, terima kasih." Sakya berdiri dan pamit pergi begitu saja meninggalkan ruangan. "Sakya tunggu!" * Alina duduk sambil mengayun-ayunkan kakinya menunggu Sakya di lorong sekolah yang sudah sepi. Ia tersenyum saat melihat kehadiran Sakya, namun wajahnya terlihat sangat kesal. "Sakya? Kamu kenapa?" Alina berdiri dan bertanya penasaran. Sakya menoleh ke samping, itu adalah papan pengumuman hasil ujian, tangannya mengepal menahan rasa emosi, ia benar-benar merasa dihina dan direndahkan. "Sakya?" "Guru-guru menuduhku melakukan kecurangan karena hasil ujian ini." "Apa!?" Alina kaget bukan main. Sakya tertunduk sambil mengusap kasar wajahnya, "menyebalkan sekali bukan?" "Apa-apaan itu? Mereka bahkan tidak tahu seberapa keras kamu berusaha dan malah bicara seenaknya! Aku sangat marah selaku orang yang juga berusaha membantu dan menyemangatimu! Apa mereka pikir itu mudah!?" Sakya hanya bisa tersenyum kecil, melihat keamarahan Alina malah membuatnya sedikit terhibur, "sepertinya tidak boleh ada perubahan di sekolah ini. Yang buruk tetap harus buruk, yang baik juga harus tetap baik." "Apa nilai ini yang menjadi acuannya!? Ini bukanlah segalanya bukan!? Aku kesal sekali!!!!" Alina tampaknya jauh lebih merasa sakit hati ketimbang Sakya itu sendiri. "Ayolah kita pergi, setidaknya kamu tahu aku berjuang untuk ini." ajak Sakya pada Alina agar lebih tenang. "Ish dasar nilai tak berguna!" Alina malah pergi entah kemana yang membuat Sakya kaget. "Alina!? Mau kemana? Ngapain?" Sakya langsung mengejar dan ia kebingungan saat kini Alina sudah memakaikan plastik di tangannya dan mengambil lumpur di lapangan karena tadi sempat hujan. Alina tidak menjawab apapun dan dengan lumpur ditangannya ia kembali ke arah papan pengumuman dan melemparinya dengan lumpur. Tentunya Sakya terkejut luar biasa sampai ternganga tak percaya dengan apa yang dilakukan si anak teladan peringkat satu sekolah ini, "ALINA!? KAMU NGAPAIN!?" Alina melepas plastik di tangannya dan melempar asal sambil tertawa puas, "nilai ini ga berguna!" "Tapi kan..." Sakya sudah bingung harus bicara apa. "Woi! Apa yang kalian lakukan!?" tiba-tiba terdengar teriakan dari ujung lorong mengejutkan mereka. "Argh sial! Alina kabur!" Sakya langsung menarik tangan Alina untuk lari sekencang-kencangnya dari satpam sekolah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN