"Yakin mau panjat pagar lagi?" Tanya Sakya ragu saat mereka kembali ke rumah Alina melalui pagar belakang.
Alina turun dari motor Sakya sambil tersenyum dan mengangguk, "ga ada cara lain."
"Aku jadi ngerasa bersalah."
Alina menggeleng, "bukan salah kamu kok."
"Iyan masih belum angkat telfon?" tanya Sakya pada Alina yang sedang menempelkan handphone nya ke telinga, ia sudah coba menelfon sejak tadi.
"Kayaknya dia ketiduran deh, soalnya tadi dia belajar, pasti kelelahan."
"Terus gimana?"
Alina memperhatikan pagar yang ia pikir lebih mudah dipanjat ketimbang tempat yang tadi ia lewati, ia menelpon Iyan agar adiknya itu bisa memindahkan posisi tangga agar nanti bisa turun dengan lebih mudah.
"Aku panjat aja deh." Alina menyimpan ponselnya dan memutuskan.
"Terus nanti turunnya gimana? Ga ada tangga dan yang jagain kamu di balik pagar."
"Aman kok, soalnya halaman belakang itu rumput, kalaupun aku jatuh pasti ga sakit banget."
Sakya masih menunjukkan wajah ragu, "yakin ga papa?"
"Udah jangan khawatir, aku panjat sekarang ya."
Sakya hanya bisa setuju dan kini membantu Alina untuk memanjat hingga akhirnya gadis itu benar-benar sudah sampai di atas dan membentuk O dengan jari telunjuk dan jempolnya yang berarti kalau ia akan baik-baik saja.
Pria yang mendongak memperhatikan Alina tersenyum dan melambaikan tangan tanda perpisahan.
Alina juga balas melambai dengan wajah penuh senyum dan akhirnya melompat ke taman belakang rumah.
"Awh!" Alina menahan rasa sakitnya saat ia sudah melompat dan terjatuh dengan tangan menahan, saat ia melihat telapak tangannya ia melihat sedikit luka lecet disana.
"Alina? Kamu baik-baik aja?" terdengar samar-samar bisikan Sakya yang khawatir dari balik pagar tembok.
"Aman kok, kamu pulang sana." Alina balas bicara dengan suara kecil sambil berdiri dan membersihkan tangan dan lututnya yang kotor.
"Yaudah aku balik, bye!"
"Bye! Hati-hati..." Alina tersenyum dan bergerak masuk ke dalam rumah sambil melihat ke sekitar berjaga-jaga.
Namun saat akan masuk ke dalam rumah, ia kaget bukan main saat mendapati papanya berdiri melihatnya sambil melipatkan tangan di d**a.
"Papa!?" Alina terbelalak dengan jantung yang sudah berdebar kencang bukan main.
Papa melihat ke arah luar dan menatap sulungnya itu lagi, "darimana?"
"Hm? Ah itu, aku baru dari taman belakang, bosan di kamar, Pa."
Papa menarik tangan Alina dan mendapati luka lecet yang agak kotor di telapak tangan putrinya itu, "sejak kapan kamu pandai berbohong? Bahkan keluar tanpa ijin sampai memanjat pagar?"
Alina membeku menyadari kalau ternyata ia sudah tertangkap basah dan ini adalah pengalaman pertamanya yang tentu ia tak bisa memikirkan cara mengelak apapun.
"Kamu kenapa Alina?"
Alina menunduk takut dan tak bisa menjawab apapun.
Papa melepaskan tangan Alina yang sudah dingin dan kaku, "ada apa dengan kalian? Saat Iyan mulai menurut, sekarang kamu yang membuat ulah? Ada apa? Roh kalian tertukar!? Apa selalu harus ada pembuat onar di rumah ini!?"
"Maaf..."
"Darimana kamu Alina?"
Alina terus diam menunduk takut yang membuat papanya geram, "Alina kamu tidak dengar papa? Kenapa kamu tidak izin? Apa artinya kamu baru saja melakukan hal yang tidak-tidak!? Jawab papa!"
"Aku cuma ketemu teman, Pa." akhirnya Alina bersuara walau masih jelas terlihat takut.
"Teman yang mana? Kenapa harus sembunyi-sembunyi?"
"Aku takut ga dikasih izin."
"Ada apa dengan kamu Alina? Kenapa belakangan ini kamu berubah? Papa perhatikan kamu sudah banyak berulah dan membangkang!"
"Ada apa ini ribut-ribut?" saat itu terlihat mama Alina datang karena mendengar keributan.
"Alina pergi tanpa ijin dengan memanjat pagar."
"Apa!?" mama kaget sampai terperangah mendengar ucapan papa. Sedangkan Alina semakin tertunduk.
"Benar itu Alina? Kenapa kamu melakukannya? Kenapa kamu senang sekali berbuat aneh belakangan ini?"
"Aku hanya ingin bertemu teman, Ma. Karena udah malam aku takut ga diijinin. Aku juga ga lama, sebentar aja kok." jelas Alina memberanikan diri mengangkat kepala.
Mama Alina terdiam menatap Alina dan seolah sedang memikirkan sesuatu, "ah, mama paham sekarang, apa itu yang namanya Sakya?"
Alina terkejut dan menatap mamanya kaget, "darimana mama tahu tentang Sakya?"
"Jadi benar? Dia yang udah ngasih pengaruh buruk padamu kan? Kamu ga perlu tahu mama mengetahui ini dari mana."
"Sakya? Siapa itu?" papa yang tidak paham langsung bertanya penasaran.
"Dia hanya anak yang terkenal nakal dan kini memberi pengaruh buruk untuk Alina. Benar-benar anak yang menyusahkan."
"Mama jangan bicara sembarangan tentang orang lain! Sakya tidak memberikan pengaruh buruk padaku!" Alina tiba-tiba menjawab dengan tegas tak terima dengan ucapan mamanya.
"Kamu membelanya? Itu seperti membenarkan ucapan mama kamu. Sejak kapan kamu bergaul dengan orang tidak berguna? Pantas saja kamu terus melawan belakangan ini. Papa sudah pernah bilang kalau lingkungan berpengaruh besar pada kita bukan?" papa mulai semakin marah.
"Tapi Sakya memang bukan seperti yang mama papa bilang! Kita ga boleh menilai orang sembarangan seperti itu!" Alina terus menjawab dengan suara yang keras.
"Membuat anak yang selama ini menurut dan bertingkah baik menjadi bisa meninggikan suaranya saat bicara dengan orang tua? Apa itu baik? Dan apa benar teman yang mamamu temui barusan adalah anak bernama Sakya itu?" papa bertanya seolah menyudutkan Alina.
Alina mengepalkan tangannya kuat menahan rasa yang sudah campur aduk, "bukan seperti itu, Pa."
"Baik, mulai detik ini jangan lagi berhubungan dengan anak itu." papa memutuskan dengan tegas.
"Ga bisa gitu dong, Pa! Kenapa sekarang papa juga urus sampai pada siapa temanku?"
"Alina, kamu kenapa sepertinya sangat membela Sakya? Siapa memangnya dia? Dia hanya anak nakal, bodoh dan bukan berasal dari keluarga yang bagus. Ga ada gunanya kamu kenal dengannya. Lihat dia hanya membuatmu menjadi anak nakal juga. Papa dan mama tidak akan biarkan itu." mama menatap Alina heran sambil tegak pinggang.
"Siapa bilang Sakya seperti itu? Memangnya mama kenal Sakya? Sakya itu sangat baik, dia ga bodoh dan walaupun bukan dari keluarga yang bagus dari sudut pandang mama, nyatanya keluarga Sakya lebih hangat dan bahagia daripada keluarga kita!"
"ALINA!!" bentak mama tak percaya apa yang baru saja diucapkan Alina yang selama ini selalu menurut dan tak pernah bersikap dan bicara buruk sama sekali.
"Sudah tak bisa dibiarkan, sepertinya pengaruh anak itu sudah besar padamu." Papa menyimpulkan sambil geleng kepala melihat putrinya itu.
"Mama dan papa keterlaluan!" Alina yang kesal akhirnya memilih untuk pergi menuju kamarnya.
"Selagi kamu masih di rumah ini jangan pernah berpikir untuk melawan Alina!" ujar sang mama memperingatkan.
Alina yang mendengar itu semakin kesal dan menutup pintu kamarnya dengan cara dibanting, "aku paham sekarang kenapa sejak awal Iyan memberontak! Keluarga ini sangat menyebalkan!"
Saat Alina berjalan menuju ranjangnya, pintu kembali terbuka dan itu adalah Iyan yang masuk dengan wajah khawatir.
"Lin lo ribut sama papa mama? Lo ketahuan ya? Sorry banget tadi gua ga bantuin lo, gua ga sengaja ketiduran waktu lagi lanjut belajar. Ya ampun gua merasa bersalah banget." Iyan duduk di samping kakaknya itu dan sangat meminta maaf dengan wajah bersalah.
"Ga papa kok."
"Ga papa apanya? Lo baru pertama kali ketangkap basah, gua aja dengerin keributan aja sampai merinding."
Alina menghela napas panjang, "ini bukan masalah ketangkap basah manjat pagar. Ini lebih kepada kenapa orang tua kita seperti itu? Mereka tidak bisa menghargai orang lain, itu masalahnya."
"Gua tadi sempet denger nama bang Sakya. Ada apa?"
"Mama bilang Sakya membawa pengaruh buruk untukku dan bicara yang tidak-tidak tentang Sakya. Aku tidak tahan hanya mendengar tanpa melakukan pembelaan."
Iyan mengerutkan dahinya menatap Alina, "mama tahu tentang Bang Sakya? Bagaimana bisa? Lo yang kasih tahu?"
Alina menggeleng, "mana mungkin? Aku juga kaget kenapa mama bisa tahu tentang Sakya."
"Lah terus gimana?"
Gadis itu menggeleng bingung, "ga tahu ah."
Iyan terdiam memperhatikan kakaknya yang tampak masih sangat kesal, "tangan lo luka, lo tadi jatoh ya?"
Alina melihat telapak tangannya yang lecet, ia mulai merasa perih sekarang, "tadi aku pindah ke tempat yang lebih mudah dipanjat, tapi turunnya ya lompat karena ga ada tangga dan yang nunggin dibawah, jadi jatuh deh. Tapi ya ga papa sih."
"Mending lo bersihin sana, kalau perlu kasih obat merah biar cepet mendingan."
Alina mengangguk dan menatap Iyan lagi, "Yan, aku sekarang sadar kalau sikapmu sebelumnya benar."
"Maksudnya??"
"Nentang mama papa, nyatanya mereka memang terlalu otoriter dan egois."
"Tapi sekarang gua malah berpikir apa salahnya mulai nurut sama orang tua? Nyatanya disaat sekarang kita memang sepenuhnya ada dibawah kekuasaan orang tua, kita belum bisa memegang beban tanggung jawab sebenarnya." Iyan bicara sambil menatap keluar jendela.
"Apa sekarang kamu menyerah?" Alina bertanya dengan menatap tajam adiknya itu.
Tidak ada jawaban dari Iyan untuk beberapa saat, "mending sekarang lo bersihin lukanya sekarang terus tidur. Besok lo mau ke sekolah bareng gua apa nggak?"
Alina mengangguk, "iya bareng sama kamu aja."