Alina tersenyum melihat hasil ujian try out beberapa waktu lalu yang baru saja dipampang di papan pengumuman sekolah saat jam pulang dan dikerumuni oleh banyak siswa kelas 12, bahkan juga dari para junior yang sekedar ingin tahu.
"Selamat ya Alinaa, wah ranking satu nih." ujar seseorang yang kini ada didekat Alina.
"Ga heran sih kalau Alina," timpal siswa lainnya yang membuat Alina hanya bisa tersenyum.
"Makasih ya, semoga nanti kita sama-sama dapat nilai yang bagus di ujian akhir nanti." jawab Alina pada semua orang yang menyadari kehadirannya dan memberikan selamat padanya.
Setelah melihat nilai yang terpampang, para siswa mulai bubar dan membuat papan pengumuman menjadi sepi, tapi Alina masih disana dengan mata fokus melihat seluruh nama satu persatu, ia sedang mencari nama Sakya.
Mata Alina membelalak saat mendapati nilai yang terpampang atas nama Sakya, bahkan ada beberapa nilai mata pelajaran yang kosong yang artinya mungkin ia tidak mengikuti ujian tersebut.
"Astaga Sakya..," Alina bergumam dan coba memastikan apa yang ia lihat memang benar nama Sakya atau tidak. Tapi berapa kalipun ia coba melihat ulang, hasilnya sama saja, nilai Sakya benar-benar memprihatinkan.
"Ga bisa ga bisa ga bisa! Sakya ga boleh punya nilai seperti ini," Alina geleng-geleng kepala dan kini mengambil ponselnya dari saku.
.
.
Kepada: Sakya Ganteng!
Sakyaaaaa
Kamu dimana?
Udah pulang?
.
.
Alina menunggu jawaban dari Sakya sambil berjalan menuju salah satu kursi yang ada di sekitaran papan pengumuman memperhatikan semua orang yang tampak bergerak menuju gerbang sekolah untuk pulang.
.
.
Dari: Sakya Ganteng!
Kenapa?
Aku mau pulang
.
Kepada: Sakya Ganteng!
Dimana??
Aku mau ketemuu
.
Dari: Sakya Ganteng!
Ngapain?
.
Kepada: Sakya Ganteng!
Udah dibilang mau ketemu :)
.
Dari: Sakya Ganteng!
Maksudnya mau ngapain ketemu?
.
Kepada: Sakya Ganteng!
Mau ngomongin hal penting
Urgent!!
Aku deket papan pengumuman
Atau aku yang nyamperin?
Dimana kamu?
.
Dari: Sakya Ganteng!
Yaudah aku kesana
Tapi bentar aja ya
.
Kepada: Sakya Ganteng!
Okey!
.
.
Sakya berjalan mendekati Alina yang memang sedang duduk sendirian di dekat papan pengumuman, gadis itu menunjukkan senyum lebar saat ia datang.
"Sakyaaaaa!"
"Ada apa?"
"Duduk dulu sini," Alina menyuruh Sakya duduk karena Sakya terlihat tidak berniat duduk agar bisa bicara lebih santai.
Walau awalnya malas Sakya akhirnya duduk juga, "jadi kenapa?"
"Udah lihat hasil try out?"
Sakya melihat ke arah papan pengumuman dan geleng kepala, "sekolah ini benar-benar, bahkan mereka memampang nilai anak murid begitu saja tanpa ijin. Sama sekali tidak bisa menghargai privasi anak murid."
"Jadi kamu udah lihat?"
"Enggak, malas."
"Ih Sakyaaaa! Kamu ga belajar ya? Dan malah ga ikut beberapa ujian!?"
"Kamu kesini ingin memarahiku?" Sakya berdiri dan berjalan ke arah papan pengumuman dan tertawa miring, "pantas saja, kamu si ranking satu ternyata."
Alina mendengus dan ikut berdiri ke dekat Sakya, "kamu ga boleh gini, aku yakin kamu ga belajar."
"Kurasa itu bukan urusanmu."
"Sakya, aku tahu kamu ga suka belajar, tapi setidaknya lakukan sedikit demi ujian akhir. Kamu ga bisa lulus dengan nilai seperti ini."
"Kenapa tidak? Aku tidak akan menggunakan nilaiku nantinya." Sakya berbalik dan kembali duduk di kursi.
Alina mengikuti Sakya, "kamu nggak mau lanjut kuliah memangnya?"
"Tidak."
"Hah??"
"Kenapa? Aku tidak ingin kuliah, tidak akan ada gunanya untukku."
Alina memperhatikan Sakya, "tapi kamu perlu untuk lulus kan? Bundamu pasti diam-diam juga sedih kalau kamu seperti ini."
Ucapan Alina membuat Sakya terdiam sejenak, namun akhirnya berdecak malas, "kenapa kamu ikut campur sekali?"
"Setidaknya kamu lulus dengan nilai yang tidak begitu buruk, anggap saja sekedar menyelesaikan semuanya dengan baik. Terserah apa keputusanmu selanjutnya. Aku akan bantu kamu."
"Tidak perlu, terima kasih." Sakya berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Alina begitu saja.
Namun Alina tidak tinggal diam, ia malah mengikuti Sakya walau jelas-jelas Sakya tampak tak senang.
"Bisakah kamu berhenti?" kesal Sakya karena Alina mengikutinya bahkan sampai ke tempat parkir.
Gadis itu menggeleng, "aku ga bisa biarin kamu begini."
"Terus mau kamu apa??"
"Aku bakal bantu kamu belajar!"
Sakya tersenyum miring, "bantu aku? Bahkan kita tidak berada dalam jurusan yang sama."
"Aku bisa bantu dalam mata pelajaran umum. Dan menurutku walaupun aku bukan anak IPA, tapi sepertinya pengetahuan dasar kimia, fisika dan biologiku lebih baik darimu." jawab Alina santai sangat percaya diri.
"Apa? Tidak mungkin!"
Alina tersenyum membanggakan diri, "aku bisa jamin itu. Saat luang aku suka mempelajari mata pelajaran lain."
"Tidak bisa dipercaya."
"Kamu pikir kenapa aku bisa disebut siswa kebanggaan sekolah?" untuk pertama kalinya Alina bicara seperti ini, bahkan sebelumnya ia tidak pernah memuji dirinya sendiri di depan orang lain karena terasa memalukan. Tapi entah kenapa ini terasa berbeda saat dihadapan Sakya.
Sakya mendengus malas, "aku bisa belajar sendiri."
"Sakya aku mohon ijinin aku bantu kamu, mau ya?"
Sakya mengerutkan dahinya heran melihat Alina, "kenapa malah kamu yang nafsu sekali mau repot untukku?"
Gadis itu tersenyum dengan wajah aneh, "kamu tahu sendiri alasannya kan?"
Sakya bergidik sambil mundur melihat Alina, "dasar aneh."
"Dua minggu lagi akan ada ujian try out lagi dari sekolah, jadi apa kita bisa mulai hari ini?"
Sakya menggeleng dengan cepat, "tidak! Aku tidak bisa terburu-buru, mentalku belum siap untuk belajar."
"Jadi untuk menyiapkan mental, apa hari ini kita bisa jalan dulu?" modus Alina bertanya sambil menaikkan alisnya agar bisa bersama dengan Sakya hari ini.
Namun ia langsung mendapatkan penolakan karena Sakya langsung menuju motornya memakai helm sambil menggeleng, "ada yang harus aku lakukan, aku harus pergi sekarang."
"Ngapain? Bantu bunda antar kue? Aku bantu deh!"
"Bukan, mendingan kamu pulang sekarang."
Alina hanya diam dengan bibir melengkung ke bawah melihat Sakya yang sudah akan melajukan motornya untuk pergi.
"Aku pergi dulu." Sakya pun akhirnya pergi meninggalkan Alina begitu saja.
"Ih Sakya itu kapan bisa luluhnya sih!?" Alina menendang kerikil didepannya kesal dan memutuskan untuk pulang ke rumah saja.
**
"Hai sayang?" pintu kamar Alina terbuka menunjukkan sang mama yang hendak masuk.
Alina yang tadinya tengah merapikan beberapa buku di rak rak tersenyum dan duduk di sudut ranjang, "hai ma."
"Kabarnya hasil try out kemarin udah keluar ya."
"Udah ma, tadi pas pulang sekolah."
"Tadi mamanya Rendi bilang sama mama, gimana hasilnya?"
"Bagus sih ma."
"Ranking satu?"
Alina mengangguk sambil tersenyum kecil yang membuat sang mama mengusap puncak kepala Alina bangga, "memang seperti anak mama yang biasanya."
"Oh iya, mama udah dapat info tentang universitas yang mama bilang waktu itu, kamu tolong siapin data data dan tambahan semua sertifikat prestasinya ya." tambah mama Alina bicara serius.
"Maksud mama yang mana?"
"Kuliah bisnis di Amerika yang kita bahas waktu itu, mama udah ngobrol sama temen mama yang anaknya lagi kuliah disana. Bukan hal sulit untuk kamu bisa kesana ternyata."
Alina terdiam dengan mata tak tenang melihat mamanya, "mama jadi suruh Alina kesana?"
"Kenapa tidak? Bahkan papa kamu juga sudah persiapkan semuanya. Kalau mau kita bisa kesana dulu untuk lihat-lihat, kamu mau? Papa dan mama akan cari waktu untuk nememin kamu." dengan sangat semangat mama Alina bicara.
"Tapi kan waktu itu aku belum bilang setuju tentang ini," Alina menjawab dengan ragu karena tidak setuju.
"Dengan semua prestasi kamu, kenapa tidak? Semua anak rekan bisnis mama papa berusaha untuk masuk kesana, kualitas kamu bahkan jauh lebih baik dari mereka. Apa kamu ingin ke kampus yang lebih bergengsi?"
Alina kembali diam menatap mamanya, ia sebenarnya sangat tidak suka kalau orang tuanya sudah membanding-bandingkan dan terlalu meluarbiasakan dirinya.
"Alina?"
"Aku ga mau kuliah ke luar negeri dan ngambil jurusan terkait bisnis ma..,"
"Apa!?" mama Alina langsung tak terima dengan apa yang sulungnya itu katakan.
Alina tertunduk dan genggamannya menguat mencari keberanian untuk bicara, "aku mau disini aja."
"Kamu bicara apa hah!? Kamu mau nyia-nyiain apa yang udah kamu raih sebelumnya? Prestasi kamu luar biasa dan kita mampu biayain apapun yang terbaik untuk kamu! Kamu jangan bikin malu dong Alina! Lalu kamu bilang ga akan ambil terkait bisnis? Lalu apa gunanya sertifikat prestasi ekonomi dan lainnya hah!? Lalu siapa yang akan urus bisnis kita?"
Kemarahan mamanya membuat Alina makin tertunduk dan takut, bahkan kini tangannya bergetar karena tak terima namun tak sanggup bicara. Ia terlalu lemah dan penakut.
Mama Alina kini berdiri dihadapan Alina, "kamu harus pikirkan ini lagi! Jangan sembarangan dan jangan bikin mama kecewa. Tidak ada banyak waktu untuk berpikir!"
"Tapi ma..."
"Mama ga suruh kamu jawab sekarang!"
Alina menghela napas panjang melihat mamanya yang pergi begitu saja, bahkan pintu kamar terdengar ditutup dengan emosi. Ia mengusap wajahnya sendiri dengan gusar. Semakin kesini ia semakin didesak oleh hal ini.
Sejak awal mama dan papanya seolah sudah mengatur kemana arah langkah Alina tanpa memastikan dulu pada dirinya mau atau tidak. Ini terkait masa depan, dan mereka meminta Alina melanjutkan kuliah ke luar negeri agar bisa nanti mengurus bisnis keluarga. Awalnya Alina baik-baik saja, tapi makin kesini Alina merasa dia tak bisa mengikuti semuanya sepenuhnya.
Memang dirinya bagus dalam perhitungan ekonomi serta bisnis karena telah dikenalkan sejak dini, prestasinya sudah menjadi bukti nyata segalanya. Namun semakin ia mendalaminya, Alina sadar kalau itu bukanlah jiwanya. Ia tidak ingin terlalu jauh lagi, untuk mengambil alih kendali usaha keluarganya nanti, Alina benar-benar tak tertarik. Ia ingin berontak, tapi ia terlalu takut.
Tanpa sadar Alina meneteskan air mata sambil menunduk, "aku ngerasa nggak baik-baik aja dengan semua ini."
Cukup lama Alina diam sambil menangis meratapi dirinya sendiri yang seolah tak pernah bisa memperjuangkan apa yang sebenarnya ia inginkan. Hingga pintu kamarnya kembali terbuka dan itu adalah Iyan yang kini ikut duduk disamping Alina.
"Lo kenapa?" tanya Iyan melirik sang kakak.
"Ga tahu." Jawab Alina pendek sambil mengusap bekas air matanya dan menatap kedepan berlagak biasa.
"Gua tadi denger mama ribut disini. Ngapain?"
Alina menarik napas dan menghembuskannya keras, "masalah kuliah ke Amerika."
"Lo masih ga mau?"
"Mikirinnya aja aku sedih banget. Gimanapun keadaan keluarga kita, aku ga mau pisah jauh."
"Tapi kan itu ga lama, palingan lo juga bakal dibebasin untuk sering bolak balik sama bokap nyokap. Apa sih yang nggak buat lo? Lagian ini juga demi lo sendiri."
Alina melihat Iyan dengan sudut matanya, "kamu pasti tahu ini bukan untukku, tapi untuk gengsi papa mama dihadapan teman-teman dan rekan bisnis mereka."
Iyan tak bisa menjawab lagi karena toh memang demikian adanya, "lo jangan nangis lagi deh, kasihan gua liat lo, jelek banget."
Dengan cepat Alina kembali mengusap air matanya yang tanpa sadar mengalir sambil berusaha tersenyum.
"Lo mau ikut gua nggak?" Iyan mendekat dan bertanya sambil berbisik.
"Kemana?"
"Malam ini Bang Sakya bakal tampil disalah satu kafe, gua jamin lo bakal happy lagi dan bisa ngelupain masalah ini deh."
Mata Alina terbuka lebar, "tampil??"
Iyan mengangguk, "Bang Sakya emang sering tampil nyanyi, secara sekarang kan malam minggu. Ayoklah keluar!"
"Tapi kita pasti ga bakal diijinin keluar, secara mama baru aja marah padaku."
"Siapa yang bilang kalau kita mesti minta ijin?"
Alina menatap adiknya itu ragu, "nah terus?"
"Cabut aja diem-diem, gua sering kok, lo ikutin cara gua aja, nanti kalau ada apa-apa biar gua yang tanggung jawab."
Beberapa saat Alina terdiam karena ragu, namun akhirnya ia mengangguk setuju dan memutuskan ikut dengan cara Iyan, berada di rumah hanya akan membuatnya terus bersedih.