"Alina?" Sakya memanggil Alina yang sibuk menonton televisi sambil memakan makanan yang tadi dibuatkan bunda untuk mereka berdua setelah pulang dari mengantar kue.
"Hm?"
"Kamu ga pulang?"
Alina terus mendongak melihat televisi toko dan meminum air dari gelas miliknya, "iya."
"Udah mau malam loh, nanti orang tua kamu marah." Sakya mengingatkan lagi karena tampaknya Alina tidak ada niatan untuk pulang.
"Ga papa, papa mamaku lagi ga di rumah."
"Eh?"
Alina menghela napas panjang dan melihat ke arah Sakya sambil menunjukkan senyuman, "mereka lagi ada kerjaan ke luar kota. Biasanya sih aku sendirian di rumah, Iyan juga pasti bakal kelayapan kemana-mana, jadi aku pikir akan lebih baik kalau aku lebih lama disini. Apa tidak boleh? Toko belum akan tutup kan?"
Sakya menggaruk belakang kepalanya bingung, "ya belum sih, aku hanya khawatir kamu pulang terlambat."
"Hehe, Sakya mengkhawatirkanku," tawa Alina sangat senang.
Sakya memutar bola matanya malas, "aku ke atas dulu."
"Ke atas?" Alina bertanya bingung melihat langit-langit toko.
"Kamarku ada di lantai atas."
"Ooh, tapi nanti bakalan turun lagi kan?" Alina memastikan dengan wajah seolah tak ingin ditinggal oleh Sakya.
Sakya hanya mengangguk sekilas dan pergi begitu saja meninggalkan Alina. Sedangkan Alina terus memperhatikan Sakya yang pergi meninggalkannya sendirian.
Sakya merebahkan tubuhnya di ranjang sambil memejamkan matanya, ia ingin tidur sejenak karena mengantuk tapi keberadaan Alina di bawah masih mengganggu pikirannya karena langit sudah mulai gelap karena hendak malam.
Tangan Sakya bergerak mengambil ponselnya dan mengirim sebuah pesan.
.
.
Kepada: Iyan
Yan, lo udah pulang?
.
Dari: Iyan
Udah bang, kenapa?
.
Kepada: Iyan
Kakak lo lagi sama gua.
.
Dari: Iyan
Hah!? Alina lagi sama lo!?
.
.
Sakya yang baru saja akan membalas pesan Iyan kaget karena Iyan sudah menelponnya.
"Halo Yan," jawab Sakya sambil duduk dari posisi rebahannya.
"Bang, seriusan Alina lagi sama lo?"
Mendengar Iyan yang sangat penasaran dan seolah kaget membuat Sakya menjawab dengan kebingungan, "i..iya. Makanya gua kasih tahu lo, dia lagi di toko nih."
"Syukurlah...."
"Eh? Memangnya kenapa?"
"Iya bang, soalnya gua kaget pas di rumah ga nemu Alina, barusan nyokap gua nelpon nanyain Alina karena dia ga ngangkat telpon. Biar ga bikin panik gua bilang aja dia ketiduran di kamar, gua udah mau nyariin dia loh bang, takut kenapa-napa. Kok bisa sama lo sih bang?"
Sakya menarik napas pelan, "dia tadi maksa ikut gua nganter kue pas pulang sekolah. Terus tadi gua udah ingetin buat balik tapi dianya ga mau."
"Ya ampun si Alina kenapa sih? Heran gua, kepincut banget kayaknya dia sama lo bang."
"Lo yang bakalan jemput apa gua yang anter?" tanya Sakya sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya.
"Gua yang kesana aja deh bang, gua takut ngerepotin lo."
"Lo lagi ga sibuk kan? Kalau sibuk gua ga masalah kok anterin dia pulang, secara gua yang bawa dia kesini."
"Santai kok bang, makasih ya udah kasih tahu gua. Gua udah panik karena Alina jarang banget keluyuran diam-diam begini."
"Sip Yan."
*
Sakya turun untuk kembali ke toko dan mendapati Alina sedang duduk bersama adiknya, Andari yang tidak biasa-biasanya duduk di toko jam segini. Ia mendekat dan mendapati Alina tengah mengobrol asik dengan Andari sambil tertawa-tawa, bahkan adiknya sulit sekali untuk tertawa, adiknya ini terkesan sangat jutek setahunya.
"Eh Sakya!" sapa Alina menyapa Sakya.
"Kalian ngapain?" tanya Sakya ikut duduk.
"Nggak kok, ngobrol santai aja."
"Bang Sakya! Kok bisa kenal Kak Alina?" tanya Andari langsung menodong Sakya dengan pertanyaan.
"Ya kenal aja, emang kenapa?"
"Karena aku suka sama abang kamu, hehe." Alina malah memotong untuk menambahkan jawaban.
Andari terbelalak sedangkan Sakya juga ternganga karena jawaban Alina yang kini tersenyum lebar.
"Apa!?" bahkan kini ada suara kaget dari arah belakang, bahkan bunda juga mendengar jawaban Alina dan tak percaya.
Andari tertawa, "ah mana mungkin, Kak Alina ini bisa aja."
"Memangnya kenapa?" tanya Alina polos.
"Ya ampun kak, emang kakak ga tahu abang aku? Dia kan anak nakal? Ga cocok sama Kak Alina." Andari jelas-jelas tidak bisa percaya dan menganggap itu hanya gurauan.
"Abang kamu keren kok Andari, tapi sayang aja aku ditolak sama Sakya, mungkin aku bukan tipenya, sedih banget."
"Hah!?" Andari ternganga diikuti bunda yang mendekat dengan wajah tak percaya. Mereka melihat Sakya dan Alina secara bergantian coba menebak mereka sedang menonton sebuah cerita omong kosong atau nyata.
Sakya menepuk jidatnya sambil menghela napas panjang, "Alina, bentar lagi Iyan kesini jemput kamu."
"Kok Iyan tahu aku disini?"
"Aku yang kasih tahu, dia nyariin kamu. Nyatanya kamu ga ngabarin siapapun kalau pulang terlambat kan?"
Alina terdiam karena ucapan Sakya, hingga akhirnya Iyan benar-benar datang membuka pintu dan mendekati mereka.
"Lo beneran disini ternyata," Iyan lega melihat Alina kini sudah ada dihadapannya.
"Iyan..." Alina tidak bisa bicara apapun karena rasanya kini ia sedang dihakimi secara tidak langsung.
"Sudah malam, sebaiknya kalian pulang." ujar Sakya pada Iyan dan Alina.
Iyan mengangguk, "thanks ya bang."
Akhirnya setelah pamit kini Iyan dan Alina benar-benar pergi untuk pulang.
"Bang Sakya!" panggil Andari yang masih duduk bersebalahan dengan bunda pada Sakya yang akan bergerak kembali ke atas.
"Apa?"
"Sini dulu bentar." minta Andari agar abangnya tersebut mendekat.
"Ngapain?"
"Kak Alina itu beneran suka sama abang ya? Kok bisa? Abang pakai guna-guna ya?"
"Ih apaan sih? Udahlah jangan didengerin."
"Kita penasaran aja karena anak sebaik Alina bisa suka sama kayak kamu Kya," tambah bunda ternyata juga kepo.
Andari menggeleng menatap bundanya, "nggak hanya baik bun, Kak Alina itu terkenal dengan kepintarannya. Bahkan di sekolah Nda aja Kak Alina masih jadi murid yang dijadikan teladan padahal Kak Alinanya udah SMA dan mau tamat sama kayak Bang Sakya."
"Wah, kelihatan sih dari sikapnya kalau dia bukan anak biasa."
"Makanya Nda kaget Bang Sakya bisa bawa Kak Alina kesini bahkan Kak Alinanya ngomong suka sama abang, bahkan abang nolak dia. Gila ga tuh?"
Sakya memutar bola matanya malas sambil berdecak, "aku sama Alina cuma kenal sekedarnya. Dia cuma main-main, ga usah didengerin."
"Eh tapi emang abang ga suka sama Kak Alina?"
Sakya menggeleng, "nggak. Bahkan bersama dengannya sebentar saja rasanya aneh. Dah lah, aku keatas lagi."
Andari dan bunda hanya bisa saling tatap dengan dahi mengerut melihat sikap Sakya yang tampaknya memang tak tertarik dengan Alina.
*
"Lin, lo kok ga angkat telfon nyokap sih dari tadi?" tanya Iyan yang membawa motor pada Alina yang duduk di belakangnya.
"Ga sempat aja."
"Bohong banget lo. Bahkan lo ga ngasih tahu hasil lomba hari ini."
"Terus kamu udah kasih tahu?"
"Udah."
"Pantas mama ga nelfon lagi. Mama cuma mau tahu hasil lomba aja," kekeh Alina sambil merapikan rambutnya yang kembali diterpa angin.
"Lo kenapa sih? Aneh banget."
"Ternyata seru juga ya nyari masalah sama orang tua."
"Hah??"
"Aku tahu kok kalau mama papa nggak bener-bener perhatian padaku dibanding kamu, mereka cuma perhatian pada prestasiku dibanding prestasi kamu biar bisa dibanggain ke teman-teman bisnisnya. Kasihan banget ya kita Yan."
Iyan kaget mendengar ucapan kakaknya itu, "lo kenapa? Kok bisa-bisanya lo ngomong begini?"
Alina terkekeh, "bukankah hari ini aku keren? Aku tidak langsung pulang ke rumah, keluyuran sampai malam dan ga ngabarin siapapun."
"Ya ampun, jangan bilang karena baru kenal beberapa hari sama Bang Sakya lo udah terpengaruh dan berubah?"
"Enggak, aku cuma mau ngelakuin hal baru saja. Terkait Sakya tampaknya dia sangat sulit untuk ditembus. Apa menurutmu Sakya tidak menyukaiku karena aku terlalu baik? Apa aku harus benar-benar berubah jadi anak nakal agar dia menerimaku?"
Iyan geleng-geleng kepala, "sebegitu kepincutnya lo sama Bang Sakya sampai berpikiran begini?"
"Baru kali ini aku ngerasa harus dapatin sesuatu bagaimanapun caranya."
"Bang Sakya itu punya pola pikir sendiri, lo ga usah repot-repot untuk dia kalau dia emang ga mau sama lo."
Alina memukul punggung Iyan kesal, "kok kamu malah terkesan nyuruh aku mundur sih!?"
"Ga gitu, gua cuma ga mau lo ngelakuin hal sia-sia."
Alina menghela napas kesal sambil kini otaknya berpikir keras untuk tetap bisa mendapatkan cara untuk menaklukan Sakya.