Suara sendok yang beradu dengan cangkir teh menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruang makan sore ini. Aleeya duduk bersandar malas di kursi rotan, mata sembab, wajahnya kosong. Cangkir di depannya nyaris tak tersentuh, padahal aroma melati dari tehnya begitu menenangkan. Mami Naura menghela napas pelan dari balik majalah fashion yang sebenarnya hanya jadi alasan. Perhatiannya tak pernah lepas dari anak gadis satu-satunya itu sejak keluar dari kamar, dengan langkah lesu dan mata merah. Kini, setelah menunggu cukup lama, Mami Naura meletakkan majalah dan bersuara pelan, “Kamu mau cerita sekarang atau Mami harus pura-pura jadi detektif dulu?” Aleeya menunduk, bibirnya tertarik membentuk senyum kecut. “Aku kayaknya diputusin, Ma. Tapi nggak ada kata ‘jadian’ dan ‘putus’-nya.” Mami

