JANGAN AMBIL ANAKKU

1556 Kata
           Sore itu aku ingin sekali makan yang segar di lidah. Aku ingin ayam goreng dengan sambel mangga yang diberi perasan jeruk nipis. Sambal khas Pontianak yang ada di Resto Mak Ijah, dekat dengan rumah Om Bowi.         Mama sudah mengingatkanku untuk makan tanpa sambel karena baru saja pulih dan mulai doyan makan. Namun, aku ngotot dan beralasan sedang ngidam. Akhirnya Mama menuruti keinginanku. Mas Dewa meminjam motor Om Bowi untuk pergi ke Resto Mak Ijah. Alhamdulillah tak sampai satu jam, Mas Dewa tiba. Dia membelikan semua pesananku. Aku makan dengan lahap. Sambel yang dipesankan di rumah makan langganan itu tandas. Kuhabiskan sendiri. Mama dan Dewa menatapku bahagia. Baru kali ini aku bisa makan banyak selama masa kehamilan. Karena kenyang sekali, aku jadi mengantuk.         “Ma, aku tidur dulu ya. Ngantuk banget.”         “Kamu kan habis makan banyak, Nak. Kalau langsung baring nggak baik. Apalagi ini sudah menjelang Maghrib.”         “Jadi mesti menunggu setelah lewat Magrib ya, Ma?”         “Iya, tidur setelah Ashar termasuk waktu yang dilarang.”         Aku tidak jadi tidur. Kuambil bantal dua buah dan berbaring di atasnya. Sepertinya jika posisi kepala dan lambung tidak sejajar masih aman. Rasa kantuk kembali mendera. Akhirnya aku tertidur dan kepalaku terkulai di sisi bantal. Tidak tahu berapa lama aku tertidur. Tiba-tiba aku terbangun akibat perutku terasa ditusuk. Ya Allah sakit sekali. Aku mulai merintih. Bersamaan dengan mama memasuki kamar.         “Lho, Puspa knapa? Kamu ketiduran ya tadi?”         “Sepertinya iya. Perutku sakit sekali, Ma. Melilit.”          Dewa yang juga baru masuk ke kamar, langsung mendekat padaku.         “Puspa kenapa, Ma?”         “Perutnya sakit melilit.”         Aku terus meringis kesakitan sambil memegangi perutku. Selama hamil, tak pernah sesakit ini.         “Coba minum Ranitidin dulu, Nak.” Mama menyodorkan pil dan gelas. Perutku yang melilit ini seperti membuat isinya bergerak naik ke tenggorokan. Aku ingin muntah.         “Tolong, plastik kresek!” Aku berseru. Dengan sigap Mas Dewa mengangsurkan plastik ke hadapanku.         Semua isi lambungku keluar. Mama memberiku minum air putih hangat. Aku meminum beberapa teguk. Namun, kembali perutku bergejolak dan muntah. Rasa sakit diperut dan lambung semakin kuat.         “Ya Allah sakit sekali, Ma. Puspa nggak kuat.”         “Istighfar, sayang. Tunggu sebentar ya. Kita akan ke rumah sakit, tapi sekarang tidak ada kendaraan. Tadi Om Tes dan Om Dion membawa pusaka itu ke rumah temannya. Sedangkan Papa dan Om Bowi pergi menemani Ustadz Azzam merukyah rumah kita. Hanya ada motor di sini.”         “Ma, Dewa barusan telpon, Om Bowi dan Papa baru saja sampe di Jalan Paris 2. Bakalan lama kalau menunggu beliau kembali ke sini.”         “Kalau begitu, coba kamu langsung telpon Rumah Sakit Antonius aja, Dewa. Biar Puspa dijemput pakai ambulans, lebih cepat.”         “Betul juga, Ma. Dewa telpon sekarang.”            Di sela rasa sakit yang mendera, aku memperhatikan Mas Dewa sibuk menekan layar ponsel, kemudian menempelkannya ke telinga kiri. Tak dapat kudengar apa yang dibicarakan. Rasa sakit diperutku menjalar naik. Dadaku mulai sakit seperti tertusuk.         “Ya Allah, Mas. Gimana ini? Dadaku seperti ditusuk. Nafasku sesak.”         Mama dan Mas Dewa tampak semakin panik. Mama menggosokkan minyak panas ke dadaku. Dewa memijat punggungku. Aku berbaring miring sambil melengkungkan tubuhku. Entah berapa lama aku didera rasa sakit ini. Tenggorokan mulai terasa panas, napas mulai terganggu, sesak, dan tak mampu menghirup udara dengan leluasa. Aku tak tahan lagi.         Suara ambulans meraung. Semakin mendekat dan berhenti di halaman rumah Om Bowi. Mas Dewa dan seorang petugas laki-laki bekerja sama menggendongku memasuki ambulans. Mama dan Dewa duduk di sisi brankar. Mas Dewa memegang tangan kiri dan Mama terdengar menelpon Papa.         “Mas, aku sesak nafas. Tenggorokanku panas.” Aku berkata dengan sisa tenaga.         “Sabar ya, Dek. Terus berdzikir.”         Aku berusaha mengucapkan dzikir La ilaaha illallah, tapi sungguh sulit. Nafasku terasa sesak, tubuhku ringan, dan melayang. Sayup kudengar suara suamiku berteriak dan menangis.         “Ma! Puspa, Ma. Nadinya melemah … Ya Allah.”         “Puspa! Ya Allah. Puspa! Bangun, Nak!”         “Pak, cepat. Istri saya nadinya melemah.”         Aku mendengar sayup teriakan Mama dan Mas Dewa. Aku dapat melihat tubuhku terbaring. Apakah rohku sudah terpisah dari jasad? Aku melihat Mas Dewa menepuk pipiku dengan kencang. Mama melantunkan dzikir dengan keras. Keduanya menangis.         Pada saat itu aku mendengar suara mereka berdua terus berdoa, memohon pada Allah untuk tidak mengambilku saat itu. Petugas mulai memasangkan oksigen pada hidungku. Aku merasakan ada yang mendorongku masuk kembali ke jasad yang sedang ditangisi Mama dan Mas Dewa. Aku menggerakkan kelopak mata. Memasuki halaman IGD nafas dan nadiku mulai pulih. Dengan sigap petugas menyambut di pintu ambulans dan mendorong masuk ke ruangan IGD.         Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan EKG. Perawat menyampaikan bahwa sebentar lagi akan datang dokter Spesialis Jantung. Dia yang akan membacakan hasil EKG dan memeriksa keadaanku. Mama dan Mas Dewa duduk di sisi kasur tempatku berbaring.         “Selamat siang.”         Kami bertiga menoleh ke arah suara.         “Siang, Dok. Ya Allah, malah ketemu di sini. Padahal rumahnya sebelahan ya, Dok.”         Mama dan dokter Teddy berbincang selama jadwal kunjungan dokter. Beliau adalah Spesialis Jantung senior di Pontianak. Kompleks perumahan Mama memang dihuni oleh beberapa Dokter, karena merupakan perumahan pertama di Jalan Paris Dua. Menurut pemeriksaan dokter Teddy, napas sesak dan nyeri menusuk di dadaku itu adalah akibat dari asam lambung yang tinggi, bukan karena kelainan jantung. Penjelasan yang sangat melegakan. Beliau berpesan agar aku mengisi lambung sedikit demi sedikit, jangan makan yang berasa pedas dan asam dulu.         Tak menunggu lama, aku segera dipindahkan ke ruang perawatan. Sampai di sana, seorang perawat menyapaku dan Mama. Aku mengenali kulit putih dan lesung pipitnya. Dia adalah Lia, teman sekelasku di SD Mekar II. Kami berpelukan dan berbincang. Sudah belasan tahun tak berjumpa, malah dipertemukan di sini. Lia menyuntikkan analgetik dan ranitine agar mengikuti aliran infus yang terpasang di tangan kananku. Kemudian dia berpamitan pada Mama. Aku tertidur entah berapa lama. Ketika terbangun perutku kembali terasa ditusuk dan dadaku sesak. Mama memanggil perawat dan meminta dokter memeriksa keadaanku.         Papa dan adik-adikku yang sudah ada di ruangan itu, ikut panik melihat aku yang terus mengeluh sakit dan sesak nafas. Gita sibuk mengoleskan minyak panas di punggungku. Rian memijat kakiku.         Seorang dokter masuk bersama Lia. Setelah memeriksa, beliau mengintruksikan agar Lia menambah dua macam obat lagi untuk diinjeksikan lewat infus. Aku tak tahu obat apa saja itu. Akhirnya aku pun bisa lebih tenang. Mama memaksaku untuk makan agar segera sehat. Mas Dewa memencet tombol remote untuk menegakkan sandaran kasur.         Leherku terasa kering. Haus sekali. Aku minta tolong Mas Dewa mengambilkan minum. Baru saja air memasuki lambung, rasa mual kembali melanda. Aku berteriak minta plastik dan memuntahkan kembali air putih itu. Selesai muntah, Papa mengangsurkan segelas air putih hangat. Kuminum perlahan. Lagi-lagi tak bertahan lama dan aku muntah kembali. Mama tampak panik dan memanggil Lia untuk melaporkan kondisiku ke dokter jaga. Tak berapa lama seorang dokter perempuan berambut sebahu masuk. Dia memeriksaku.         “Bagaimana, Dok?”         “Pasien sedang hamil berapa minggu, Bu?”          “Dua puluh minggu, Dok.”         “Terakhir kontrol ke dokter kandungan kapan ya, Bu?”         “Satu bulan yang lalu. Namun, baru beberapa hari lalu bidan memeriksa ke rumah.”         “Nanti sudah dijadwalkan untuk diperiksa oleh dr. Simon Sp.OG, Dok.” Lia menjelaskan pada dokter itu.         Aku mendengarkan sambil terus meringis menahan rasa sakit. Mama, Mas Dewa, dan Papa menceritakan kepada dokter tersebut, semua riwayat sebelum dibawa dengan ambulans. Mama bertanya, obat apa lagi yang bisa diberikan untuk menyembuhkan rasa sakit yang kuderita.         “Begini, Bu. Kondisi pasien yang sedang hamil muda membatasi kami untuk memberi obat. Tak banyak obat yang aman untuk diberikan kepada ibu hamil.”         “Jadi apa solusinya, Dok? Apakah Puspa akan sakit seperti ini terus? Saya tidak tega melihat tubuhnya yang makin kurus.”         “Iya, Pak. Saya memahami. Pasti banyak sekali ya bobot tubuh yang hilang? Saya sampai tak menyadari bahwa pasien sedang hamil, jika tak membaca rekam medis. Perutnya tidak seperti wanita yang hamil 20 minggu.”         Dokter cantik itu berhenti sejenak. Menghela napas panjang. “Mohon maaf jika tidak berkenan. Saya hanya memberi masukan. Apabila Bapak, Ibu, dan Mas ingin pasien tidak sakit lagi, berarti harus memilih. Apakah janin pasien terpaksa dikeluarkan atau pasien meneruskan kehamilan, dengan konsekuensi tersiksa selama hyperemesis bahkan bisa berujung kehilangan nyawanya sendiri. Sekali lagi maaf, ini pilihan yang sangat sulit. Silakan keluarga berdiskusi dulu. Saya pamit dulu ya, Bu, Pak.”         Keheningan melanda. Tak ada yang bersuara. Semua sibuk mencerna kata-kata dokter tadi. Aku melihat bahu Mas Dewa berguncang. Pasti dia sangat terpukul dengan ucapan dokter tadi, sehingga membuatnya menangis. Mama menatap dengan mata memerah, lalu Papa menghela nafas panjang dan merangkul Mas Dewa.         “Dewa, kita bicara di luar.”         Aku melihat Pama dan Mapa berjalan ke arah pintu. Mas Dewa mengikuti. Gita dan Rian mendekat ke arahku. Memijati kakiku. Hati ini sedih sekali. Aku tak mengira, rasa sakit ini baru berakhir setelah mengorbankan nyawa anakku. Naudzubillah min Dzalik. Aku tak bisa membayangkan hal mengerikan itu terjadi.         Aku menangis dalam pelukan adik-adikku, sehingga tak menyadari Mama sudah ada di dekatku. Papa dan Mas Dewa masih tak nampak di ruangan ini.          “Puspa. Kamu harus kuat ya, Nak. Kami nggak mungkin memilih kamu atau cucu kami. Puspa memang permata hati Papa dan Mama. Akan tetapi, bayi dalam kandunganmu adalah permata hatimu dan Dewa. Pasti berat untuk kita semua memilih. Dewa sedang menangis di luar. Papa menenangkannya.”             Hatiku terasa hancur mendengar kata-kata Mama.                                                                                                      *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN