15. Siapa kamu?

1144 Kata
Satu Minggu berlalu tanpa ada sekalipun Mega bertemu Rei. Usai resmi menjadi asisten rumah tangganya, setiap hari Mega datang untuk memeriahkan rumah lelaki itu. Berangkat pukul enam pagi, dan pulang pukul delapan malam, begitu saja setiap harinya. Tapi setelah tujuh hari berlalu, Mega tidak bertemu Rei sekalipun. Kemana lelaki itu pergi? Bahkan kondisi rumah nyaris tidak berubah setiap harinya yang artinya tidak ada tanda-tanda kepulangan Rei. “Kamana dia?” Gumam Mega saat ia berada di depan pintu kamar Rei. Rasanya sedikit aneh saat lelaki itu tidak ada disekitarnya, apalagi Mega datang dan pergi setiap hari ke rumahnya sementara si tuan rumah tidak ada. “Apa dia meninggal di dalam?” Mega mendekat, menempelkan hidungnya tepat di pintu. Mengendus bau yang mungkin saja mencurigakan. Sudah hari ke tujuh, dan lelaki itu tidak kunjung menunjukan batang hidungnya. “Apa dia meninggal dan tinggal tengkorak saja?” Lanjutnya sambil terus mengendus pintu yang tidak tercium apapun kecuali bau khas kayu tentu saja. “Kalau beneran meninggal, aku bisa jadi salah satu tersangka karena membiarkan mayatnya membusuk di dalam.” Pikiran-pikiran aneh mulai berdatangan. Mega akhirnya memberanikan diri memegang gagang pintu, jika sebelumnya pintu tersebut terkunci dan tidak bisa dibuka, tapi kali ini begitu satu tarikan saja pintu langsung terbuka. Mega terkejut. “Kenapa bisa terbuka?!” Ia kebingungan sendiri. “Lebih bahaya lagi kalau aku masuk dan nantinya dianggap pencuri.” Mega hendak kembali menutup pintu kamar, saat seorang lelaki muncul dari balik pintu kamar mandi. Sosok lelaki yang hanya mengenakan handuk pendek yang membungkus tubuhnya dari sebatas pinggang sampai lutut. “Ngapain?” Tanyanya, sementara kedua mata Mega terbuka lebar dengan mulut menganga. “Itu,,,” Mega segera memalingkan wajah. “Saya kira Pak Rei meninggal di dalam kamar. Ternyata masih hidup, maaf.” Mega langsung menutup pintu dengan cukup keras dan berlari menuju arah dapur. Jantungnya berdetak kencang dengan rasa panas yang menjalar hingga ke wajah. Mega menepuk-nepuk wajahnya, mengusir rasa panas yang membuatnya tidak nyaman. “Ceroboh banget sih, Me!” Umpatnya pada diri sendiri. “Setelah ini Lo malu sendiri karena udah lihat Pak Rei nyaris bugil.” Gumamnya. Rei adalah definisi ketampanan yang sempurna. Wajah serta fisik yang begitu menawan, tubuh atletis dengan otot perut yang menggoda untuk disentuh. Tatapan matanya tajam, kalimat-kalimat tajam yang terlontar dari bibirnya serta senyum yang sangat mahal dan sulit terlihat membuat pesona lelaki itu kian meningkat tajam. Jika saja bentuk Yana seperti Rei mungkin Mega tidak perlu melarikan diri, ia hanya perlu pasrah dan menikmati profesinya saja sebagai wanita pemuas nafsu Yana. Sayangnya lelaki tua itu bertubuh tambun, perut buncit dengan bau badan yang membuat Mega hampir muntah. “Kalau tamunya sekeren dia mungkin aku bisa menikmati sedikit profesiku sebagai wanita penghibur, sayangnya Yana lebih mirip genting air.” Ucapnya sambil tersenyum. “Kamu belum pernah melihat tubuh lelaki tanpa pakaian?” Suara Rei membuyarkan lamunan Mega. Ia segera menoleh dan mendapati lelaki itu berdiri tak jauh dari tempatnya berada. “Mengingat profesimu sebelumnya, aku rasa kamu sudah pernah melihat berbagai bentuk tubuh lelaki.” Sebuah sindiran yang mengusik hati Mega. “Maksud Pak Rei?” Selidik Mega. “Kamu bekerja di kelab milik Yana, yang artinya kamu sudah.” “Dengar,” untuk pertama kalinya Mega menyela ucapan Rei, dia tidak akan membiarkan Rei menuduhnya sebagai w************n meski beberapa kali Rei menemukannya dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. “Saya dan Pak Yana belum sempat begituan dan perlu Pak Rei tahu sampai detik ini saya masih perawan! Oh iya, saya lupa untuk apa kasih tahu Pak Rei masalah ini, Pak Rei nggak akan percaya kan?” Mega segera berbalik meninggalkan Rei menuju tempat mencuci pakaian dimana ia melihat banyaknya tumpukan pakaian di dalam bak besar berwarna hitam. Mega menyesali kebodohannya sendiri karena sudah mengkhawatirkan lelaki itu. Lelaki yang selalu menganggapnya sebagai w************n. “Padahal kalau dia mati beneran lebih bagus,” umpatnya. Hari ini berhubung Rei ada di rumah, Mega berencana untuk menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat. Kekesalan yang dirasakannya tidak bisa hilang begitu saja, ia masih kesal karena Rei menganggapnya w************n. “Aku tarik pujianku tadi. Tubuhnya jelek!” Mega melipat pakaian dengan kasar. “Bersihkan kamarku!” suara lelaki itu kembali terdengar. Padahal sebelumnya Mega sempat melihat Rei tengah duduk bersantai di sofa sambil menonton acara televisi. Kalau dipikir-pikir lagi lelaki itu lebih mirip hantu, kedatangannya tidak terdeteksi. “Ikut aku.” Ucapnya lagi. Mega tidak membantah, tidak juga membalas ucapan Rei, ia mengikuti langkah lelaki itu menuju kamarnya Satu-satunya area yang tidak pernah tersentuh olehnya sejak bekerja di rumah ini. “Bersihkan,” titahnya lagi. Rei tidak meninggalkan kamar tersebut, ia justru duduk di salah satu sofa yang ada di kamarnya seolah ingin memastikan Mega bekerja dengan baik atau mungkin Rei ingin memastikan Mega tidak mengambil barang berharga miliknya. Mega tidak peduli dengan penilaian lelaki itu lagi, seburuk apapun tuduhan yang ditujukan padanya Mega tidak lagi berkewajiban untuk menjelaskan. Saat ini yang paling utama adalah bekerja dan mendapatkan gaji. Seperti yang sudah dijanjikan Rei, setelah satu Minggu percobaan lelaki itu akan memberikan separuh gaji padanya. Rencananya Mega akan mentraktir Nela dan Tama. Rei duduk sambil memainkan ponsel, sementara Mega melakukan pekerjaannya dari mulai membersihkan kamar mandi, tempat tidur hingga memastikan tidak ada debu yang menempel di setiap sudut kamar Rei. Ternyata membersihkan kamar lelaki itu butuh waktu lebih lama daripada mencuci pakaian atau menyetrika. Entah mungkin karena ada Rei yang memperhatikannya atau mungkin kamar tersebut terlalu luas. “Sudah selesai, Pak Rei.” Mega menghela sambil mengusap keringat di keningnya. Meskipun pendingin udara tidak dimatikan tapi Mega merasa sedikit kepanasan, mungkin karena terlalu banyak bergerak membuat Mega merasa sedikit kepanasan. “Silahkan keluar.” Mega menganggukan kepalanya, tapi sebelum itu ia harus memastikan sesuatu dulu yaitu gaji. “Begini Pak Rei, saya sudah satu Minggu bekerja disini dan saya mau minta,” tiba-tiba saja sebelum Mega menyelesaikan ucapannya Rei mengangkat satu tangannya. “Diam!” Ucapnya. Lelaki itu tidak menjelaskan alasan mengapa lelaki itu menyuruhnya diam. “Tapi Pak Rei,” “Diam dan jangan pergi kemanapun.” Ucapnya lagi sebelum akhirnya lelaki itu pergi meninggalkan Mega di dalam kamarnya. Sialnya, lelaki itu mengunci Mega di dalam kamarnya yang membuat Mega tidak bisa pergi kemanapun selain menunggu. Satu jam berlalu, membuat Mega bosan dan ingin segera keluar dari dalam kamar tersebut, tapi usaha yang dilakukannya untuk membebaskan diri sia-sia saja sebab Rei menguncinya dari luar. Dua jam berlalu, tapi Rei tidak kunjung membuka pintunya. “Pak Rei! Buka!” Teriak Mega dari dalam kamar, dengan harapan Rei akan membuka pintunya. “Pak! Buka!” Teriak Mega lagi. Tidak ada tanda-tanda Rei akan datang membuka pintu, hingga akhirnya Mega mendengar suara dimana pintu tersebut terbuka. “Pak Rei!” Mega segera berlari menuju pintu yang sudah terbuka dengan tatapan kesal tapi yang dilihatnya bukankah Rei tapi seorang wanita muda cantik yang sama terkejutnya dengannya. “Siapa kamu?!” Tanyanya pada Mega.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN