“Kamu siapa?” Tatapan tajam penuh selidik tertuju pada Mega.
Tatapan dan bagaimana cara wanita itu bicara tidak jauh berbeda Rei saat menatapnya. Penuh intimidasi.
“Saya,” menghadapi situasi yang mungkin saja bisa menimbulkan kesalahpahaman membuat Mega kebingungan harus menjawab seperti apa.
“Fanya!” Rei muncul entah dari mana, tapi dilihat dari langkahnya yang tergesa dan deru nafasnya yang memburu, sepertinya lelaki itu baru saja dari luar.
“Siapa wanita ini? Kenapa dia ada terkunci di dalam kamar kamu?!” Wanita itu menatap penuh selidik ke arah Rei, tapi jelas terlihat bahwa ia tidak menyukai keberdayaan Mega.
“Dia,”
“Saya asisten rumah disini,” Mega tersenyum seramah mungkin. “Saya hanya membersihkan rumah dan mencuci pakaian Pak Rei, hanya saja saya terkunci di dalam sana.”
Entah status apa yang terjalin di antara keduanya, tapi Mega beranggapan mereka dekat lebih dari sekedar teman biasa.
“Bener?!” Wanita yang tidak diketahui namanya itu menoleh ke arah Rei, rautnya jelas menunjukkan kecurigaan yang begitu besar.
“Benar. Dia hanya asisten rumah tangga, aku mempekerjakannya karena kasihan. Dia butuh uang, kehidupannya yang sangat memprihatinkan.”
Penjelasan Rei mendekati fakta, dimana kehidupan Mega saat ini memang sangat menyedihkan, tapi saat kalimat itu terlontar dari bibir Rei, tiba-tiba saja Mega dilanda rasa tidak terima dan tersinggung.
“Hanya karena kasihan?”
Tipe wanita yang tidak mudah percaya pada pasangannya, yang membuat Mega menghela lemah. Tapi Mega tidak berani mengatakan apapun kecuali diam.
“Iya. Hanya kasihan.” Tegas Rei. “Aku menemukannya di salah satu kelab, saat seseorang hendak menjualnya.”
Mega menoleh, merasa tidak percaya Rei mengatakan kisahnya pada wanita itu. Memang semuanya benar, tidak ada kebohongan yang ditutupi Rei dari pasangannya tapi Mega merasa harga dirinya kembali terjatuh hingga ke dasar jurang saat nasib buruknya diceritakan oleh orang lain yang mungkin saja hanya dijadikan sebagai salah satu alasan untuk mengamankan hubungannya.
“Dia sudah mau pulang, jangan hiraukan dia Fanya. Ayo, kita makan.” Ajak Rei, sambil menarik tangan wanita yang bernama Fanya itu.
“Kasihan sekali dia,”
Mega mendengar wanita bernama Fanya itu mengatakan hal serupa beberapa kali, sebelum keduanya duduk di meja makan.
Mega menatap ke arah keduanya, sesak dan kesal memenuhi hatinya. Apalagi saat Rei menoleh ke arahnya dengan satu alis terangkat seolah apa yang dilakukan lelaki itu bukan hal yang bisa melukai hati Mega.
Jika keduanya memang saling berhubungan dalam arti lain mereka adalah sepasang kekasih, tidak menjadi masalah untuk Mega.
Mega tidak punya hak untuk cemburu apalagi melarang mereka berpacaran di hadapannya. Ini wilayah kekuasaan Rei, wilayah yang bisa digunakannya sesuka hati. Tapi ada sesaat yang tiba-tiba merayap masuk ke dalam hatinya dan menekan kuat jantungnya, saat Rei tidak sedikitpun merasa bersalah karena telah mengurungnya tanpa alasan bahkan saat Mega menuntut janji yang sudah mereka sepakati.
Jumlah uang yang sangat Mega harapkan mungkin hanya sebagian kecil dari uang yang dimiliki Rei, atau bisa saja uang yang dihasilkan Mega selama satu bulan hanya sekedar uang yang dikeluarkan Rei untuk makan malamnya kali ini bersama Fanya.
Jumlah yang tidak seberapa tapi sangat berarti untuk Mega.
“Saya pamit pulang, Pak Rei dan Bu Fanya.” Ucap Mega, pamit pulang.
Ia tidak menunggu jawaban dari keduanya dan langsung pergi begitu saja, padahal Mega masih memiliki beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi suasana hatinya sudah terlanjur buruk dan tidak bisa dipaksakan lagi.
“Dia nggak kelihatan seperti wanita miskin, Rei. Penampilannya sangat terawat dan bersih.” Tanya Fanya, sesaat setelah Mega pergi.
“Memangnya harus berpakaian compang-camping dan kumuh untuk masuk dalam kategori miskin?” Rei balik bertanya.
“Nggak juga, Rei. Tapi apa nggak bahaya mempekerjakan wanita muda disini?!”
Rei menoleh, menatap penuh selidik. “Dia bukan tipeku,”
“Sekarang mungkin iya, tapi bisa saja nanti berubah pikiran.”
“Nggak mungkin!” Sangkal Rei.
“Nggak ada yang nggak mungkin Rei, buktinya aja kamu jungkir balik menyukai Venus, yang dulu sempat kamu cemooh karena terlalu kaku dan tidak menarik.”
Serangan Fanya tepat sasaran, saat Rei kalah telak oleh fakta dimana ia menyukai Venus yang dulu sempat ia cemooh.
“Kamu nggak lupa kan, dulu Oma menjodohkanmu dan Venus tapi kamu justru memilih untuk melarikan diri.” sindir Fanya.
“Itu dulu, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama.”
“Manusia cenderung melakukan hal yang serupa, disadari atau tidak tapi faktanya kita memang berputar pada kebiasaan yang kita lakukan berulang kali.”
“Aku tidak begitu.” Rei tetap menyangkal.
“Aku tidak mempermasalahkan keberadaan wanita itu disini, hanya saja Tante Nia mungkin tidak akan tinggal diam saat anak semata wayangnya tinggal satu rumah dengan seorang wanita tidak dikenal.”
Rei terdiam sejenak. “Jangan bicarakan apapun pada Mamah.”
Fanya tertawa. “Takut?”
Goda Fanya.
“Tidak! Mamah sudah pernah bertemu Mega sebelumnya, dia tidak mungkin menganggap wanita itus sebagai ancaman.”
Nia, pernah bertemu Mega beberapa waktu lalu saat kejadian Surabaya terjadi. Saat dimana Mega bersekongkol dengan ibu Regan.
“Jadi Tante Nia sudah tahu wanita itu?”
“Hanya tahu, tapi tidak saling mengenal dengan baik. Jangan bahas dia lagi, aku tidak suka.” Pungkas Rei yang membuat Fanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya.
“Baiklah, semoga saja wanita itu tidak akan menimbulkan masalah khususnya untuk kita berdua.”
Rei hanya menggumam pelan sebagai jawaban sambil mengaduk-aduk makanan di hadapannya. Rasa laparnya tiba-tiba saja menghilang setelah melihat tatapan sedih yang terlihat dari raut wajah Mega.
Apakah ucapannya menyakiti hatinya?
Rei mencoba untuk tidak menghiraukannya tapi perasaan itu begitu mengganggu dan rasanya sangat tidak nyaman.
Setelah berhasil membujuk Fanya agar pulang lebih cepat, Rei pun langsung mencari keberadaan Mega yang tidak diketahuinya itu.
Rei tidak tahu dimana Mega tinggal kecuali minimarket tempat terakhir wanita itu bekerja.
Kemana ia harus mencari keberadaan Mega apalagi Rei tidak memiliki kontak nomor yang bisa dihubungi.
Satu-satunya cara yang dilakukannya Rei adalah mengunjungi minimarket tempat terakhir Mega bekerja. Rei berharap bisa mendapat informasi dari salah satu pekerja yang mungkin saja sudah berteman dengan Mega.
“Selamat datang, selamat berbelanja.” Sambutan khas langsung terdengar saat Rei masuk ke dalam minimarket.
Agar kehadirannya tidak terlalu mencurigakan, Rei mengambil beberapa cemilan dan minuman soda sebelum akhirnya ia menuju ke bagian pembayaran.
“Totalnya dua puluh lima ribu rupiah.” Ucap si wanita yang bekerja di bagian kasir.
Rei mengeluarkan uang kertas berwarna merah dan proses pembayaran pun berlangsung singkat. Rei harus segera bertanya sebelum antrian berganti dengan seorang wanita paruh baya yang berada persis di belakangnya.
“Terima kasih, jangan lupa datang kembali.”
Ucap wanita itu, sebagai ucapan terakhir sebelum antrian berganti. Tapi Rei tetap diam, meski transaksi jual beli sudah selesai.
“Ada yang kurang, Pak?” Tanya wanita itu pada Rei yang tidak kunjung beranjak dari tempatnya berdiri.
“Kamu tahu dimana Mega?” Akhirnya Rei memberanikan diri.
“Mega siapa?” Tanya wanita itu dengan tatapan bingung.
“Mega yang bekerja di tempat ini,
Kening wanita itu mengerut, “maaf, saya karyawan baru disini, jadi saya tidak kenal pegawai sebelumnya kecuali Mbak Tina.”
“Kamu cari Mega?” Tiba-tiba wanita yang bernama Tina muncul.
“Itu!” Tunjuk Tina ke arah luar dimana Rei melihat Mega berada disalah satu kursi yang disediakan pihak minimarket.
Wanita itu tengah menikmati mie dalam cup dengan minuman botol yang berada di atas meja. Ia sendirian, menikmati mie instan.