Bab 5

1674 Kata
Hari  ini  tenagaku  benar-benar  terkuras habis gara-gara Pak Arya tidak berhenti mengejarku, untungnya aku berhasil lolos dan memilih  pulang daripada hidupku bertambah sial kalau masih berada satu gedung dengan Pak Arya.   Eits, jangan bayangkan adegan kejar-kejaran antara aku dan Pak Arya seperti adegan di film-film India, penuh keromantisan dan slow motion di bawah guyuran air hujan, yang ada Pak Arya mengejarku sambil mengacungkan tongkat sapu yang entah dari mana dia dapatkan. Aku beruntung bisa lari dan bersembunyi dari kejarannya atau aku akan berakhir seperti kasur kapuk yang dipukul dengan gagang sapu.   Untuk pertama kalinya kasur kapuk di lantai kamar kosku seperti springbed nyaman yang tak berhenti memanggilku untuk ditiduri. Rasa lelah membuatku ingin merebahkan badan, tanpa mengganti baju kerja aku langsung merebahkan badanku.   "Nyamannya," ujarku pelan sambil berusaha menutup mata.   Drttt drttt drtt   Saat mataku mulai terpejam tiba-tiba aku mendengar ponselku berdering. Awalnya aku mendiamkan dan tidak mengangkatnya tapi semakin lama bunyinya membuatku kesal dan rasa kantuk tadi perlahan hilang.   "Siapa sih! Ganggu orang tidur saja!" gerutuku sambil mengambil ponsel dari dalam tas. Rasanya aku ingin memaki siapa pun yang meneleponku tapi langsung aku batalkan saat melihat nama suster yang merawat ibuku.   "Halo,"   Entah kenapa jantungku berdetak tak karuan, rasanya akan ada berita tidak mengenakkan yang akan aku dengar dari mulut suster ini. "Mbak Wida, maaf saya mengganggu."   "Nggak apa-apa kok Sus, ada apa ya? Ibu baik-baik saja kan?"   "Itu Mbak ... aduh saya jadi nggak enak dengan Mbak Wida. Seharusnya saya menyuruh Ibu Kepala saja yang menghubungi Mbak langsung."   "Ada apa Sus? Hmmmm ... mungkinkah ada kaitannya dengan biaya rumah sakit ibu?"   "Iya Mbak, ibu kepala ingin saya menyampaikan kalau mulai bulan ini biaya perawatan ibu Mbak Wida naik menjadi delapan juta rupiah."   Ya Tuhan, biaya sebanyak itu aku dapat dari mana? Mengumpulkan tujuh juta saja rasanya aku mau mati, sekarang aku harus membayar delapan juta.   "Maaf Sus, sepertinya saya belum mampu membayar sebanyak itu untuk bulan ini. Bolehkah saya membawa ibu keluar dari rumah sakit untuk sementara waktu? Saya akan memikirkan langkah terbaik untuk kesembuhan ibu." Ya, aku terpaksa membawa Ibu keluar dari rumah sakit untuk sementara waktu sampai aku menemukan jalan keluar dari masalah biaya pengobatan Ibu.   "Maaf ya Mbak Wida, saya nggak bermaksud membuat Mbak Wida susah tapi pihak manajemen rumah sakit yang memutuskan hal tersebut."   "Nggak apa-apa kok Sus. Terima kasih atas infonya,"   Pembicaraanku dengan suster berakhir dengan  jatuhnya air mata tanpa aku sadari. Menangis mungkin satu-satunya cara melampiaskan kesedihanku. Aku merapatkan kedua kaki dan membenamkan wajahku di atasnya. Aku menangis tersedu-sedu dan mengutuk laki-laki yang membuat hidup ibu dan aku menderita seperti ini.   ****           Hari ini aku mengambil jatah cuti untuk menjemput ibu dari rumah sakit, aku beralasan sedang sakit dan untungnya Mbak Ayunda serta pihak HRD percaya dengan alasan yang aku buat. Rencananya hari ini aku akan menjemput ibu dan membawanya langsung ke kos untuk sementara waktu dan setelah itu aku akan mencari rumah kontrakan agar ibu bisa hidup lebih nyaman dan tidak mengganggu penghuni kos lainnya.   "Ibu mau nggak tidur sama aku?" tanyaku saat memakaikan baju ibu.   "Mau, Ibu janji nggak ngompol lagi."   "Iya, kalau ibu ngompol pun aku nggak akan marah kok. Nanti kita ganti saja spray kasurnya dan setelah itu ibu bisa tidur lagi," jawabku.   Tidak butuh waktu lama aku merapikan barang-barang ibu dan setelah menyelesaikan biaya terakhir aku pun membawa ibu keluar dari rumah sakit untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun rumah sakit ini menjadi rumah baru ibu.   "Mulai hari ini ibu nggak boleh sakit lagi ya, Ibu harus kuat demi aku."   Ibu mengangguk pelan dan mudah-mudahan resep obat yang aku tebus tadi bisa membuat ibu tidak kambuh sampai aku menemukan jalan keluar untuk pengobatan ibu selanjutnya.   Sepanjang perjalanan ibu seperti anak kecil, ibu tak berhenti bertanya tentang apa pun yang dilihatnya. Selama ini ibu terkurung dan jarang melihat dunia luar. Aku tersenyum dan menggenggam tangan ibu untuk memberitahunya kalau aku bernapas sampai detik ini hanya untuknya.   "Wida sayang ibu," bisikku saat menyandarkan kepala di bahunya.   "Ibu juga," jawabnya.   Mudah-mudahan ibu akan sehat seperti ini untuk selama-lamanya. Hanya itu permintaanku dan aku harap Tuhan mengabulkan doaku kali ini.   ****   Keesokan harinya.   "Wida pergi kerja dulu ya Bu, makanan untuk ibu sudah Wida siapkan dan ingat pesan Wida ya. Nggak boleh buka pintu dan keluar tanpa seizin Wida, kalau ibu bosan bisa nonton TV atau merajut, Wida sudah siapkan semua bahannya dan ibu bisa mulai membuatkan Wida syal seperti janji ibu dulu."   Aku sebenarnya ragu meninggalkan ibu sendirian tapi aku harus kembali kerja atau perusahaan bisa memecatku. Aku harap ibu tidak kambuh selama aku kerja.   Ibu mengangguk dan menghidupkan TV dan memintaku menukar ke siaran TV anak-anak. Sesekali ibu tertawa saat tontonannya menampilkan adegan konyol, aku pun ikut tertawa dan mencium kening ibu beberapa kali.   "Wida sayang ibu," bisikku pelan di telinganya.   "Ibu sayang Wida," jawabnya dengan mata berbinar.   Aku meninggalkan kamar kos dengan hati tidak karuan. Di satu sisi aku ingin kerja untuk mengumpulkan uang dan di satu sisi lagi aku takut meninggalkan Ibu sendirian untuk pertama kalinya.   Langkahku terasa berat dan rasanya ini pertama kalinya aku tidak punya semangat kerja. Pikiranku bercabang antara ibu dan pekerjaan. Aku harap waktu cepat berlalu dan aku bisa segera pulang.   "Woy! Ya elah dia malah bengong." Samar-samar aku mendengar suara Mbak Ayunda. Aku menghentikan langkahku dan melihat Mbak Ayunda sedang berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang.   "Pagi Mbak," sapaku lemah.   "Pa ... gi ... tumben kamu nggak bersemangat pagi ini. Kamu lagi ada masalah? Ada apa? Kamu habis nabrak anak kambing atau dijambret? Atau ... ayo cerita dulu," Mbak Ayunda terlihat khawatir dan mulai bertanya tanpa memberiku kesempatan menjawab pertanyaannya. Anehnya pertahanan diriku langsung hancur di depan Mbak Ayunda, aku langsung menangis tersedu-sedu untuk pertama kalinya di depan orang lain.   "Ya ampun, kok kamu nangis? Oke ... oke ... kita bicara di luar kantor saja." Mbak Ayunda menarik tanganku dan membawaku ke mobilnya. Aku pasrah dan butuh tempat untuk melampiaskan kesedihanku.   Mbak Ayunda membiarkan aku menangis sepuasnya dan setelah puas barulah dia kembali bertanya.   "Sudah puas nangisnya?" tanya Mbak Ayunda. Reflek aku menggeleng dan menghapus air mataku dengan tissue.   "Ya sudah, kamu nangis lagi aja. Mbak sabar menanti dan akan menemani sampai kamu puas nangisnya," jawabnya.   Aku tersenyum miris, "Sampai kapanpun airmata ini nggak akan berhenti mengalir Mbak," jawabku dengan nada pilu. Mbak Ayunda memegang tanganku dan menghapus air mataku yang masih tersisa di pipi.   "Mau cerita?" tanyanya dengan pelan.   "Aku sedih banget Mbak, aku nggak tahu harus berbuat apa untuk membantu ibu. Selama ini aku gagal menjadi anak yang berbakti kepada ibu. Aku gagal menjaga ibu dan rasanya aku ingin menggantikan posisi ibu." Aku mengeluarkan semua kesedihan di depan Mbak Ayunda. Orang asing yang baru beberapa tahun ini aku kenal, satu-satunya orang yang tahu tentang kondisi ibuku.   "Ya ampun, ibu kamu sakit? Parah?" tanyanya bertubi-tubi. Aku menggangguk pelan dan mulai menceritakan kisah tragis ibu dari awal sampai detik ini. Mbak Ayunda dengan sabar mendengar kisahku tanpa sedikitpun menyela atau menghakimi kami. Mbak Ayunda menjadi pendengar baik saat aku mulai berkeluh kesah tentang beratnya kehidupan kami.   "Mbak prihatin mendengar kisah keluarga kamu, Mbak bisa bantu apa?" tanyanya.   "Ah nggak perlu Mbak, Mbak mendengar curhatan aku saja sudah lebih dari cukup. Akhirnya beban di hati aku lepas dan rasanya aku bisa melangkah ke depan tanpa harus merasa aku sendirian tanpa teman."   "Kalau butuh apapun jangan sungkan memberitahu Mbak ya," ujarnya dengan tulus. Aku mengangguk dan tertawa pelan untuk menenangkan hatinya.   ****   Aku kembali melanjutkan pekerjaan seperti biasa, Mbak Ayunda pun bersedia menutup mulutnya dan tidak memberitahu orang lain perihal kondisi ibu. Syukurlah, aku memiliki atasan sebaik Mbak Ayunda.   "Wida, kamu dipanggil Pak Arya," ujar Lani dari balik pintu ruang desain.   "Kenapa lagi? Aku lagi nggak mood melihat wajahnya lagian bukannya Pak Arya sudah pensiun ya, kok betah banget ke kantor," ujarku lemah.   "Mana aku tau, buruan atau kamu bakal dipecat Pak Arya. Itu sih pesan Pak Arya tadi," balas Lani.   Sialan, moodku semakin memburuk dan mau tidak mau aku pun bergegas ke ruangan Pak Arya. Mudah-mudahan Pak Arya tidak mencari masalah denganku lagi.   Tok tok tok   "Masuk."   Aku membuka pintu dan melihat Pak Arya sedang bermain golf di ruangannya.   "Bapak manggil saya?" tanyaku langsung.   "Silakan duduk," ujarnya tanpa melihat ke arahku. Aku pun duduk di sofa dan melihatnya mengayunkan tongkat golf. Mungkinkah dia akan menghajarku dengan tongkat itu untuk membalas sikap kurang ajarku kemarin?       "Masih lama Pak? Saya banyak pekerjaan, saya nggak seperti Bapak yang sudah kaya dan  bisa santai tanpa harus berpikir bagaimana mencari uang untuk makan dan membayar tagihan," ujarku kesal setelah setengah jam Pak Arya masih sibuk dengan mainannya itu.   Pak Arya tetap acuh dan kembali memukul bola golf dengan tongkatnya. Emosi mulai naik ke ubun-ubun dan aku langsung berdiri.   Saat aku hendak pergi ponselku kembali berbunyi, aku melihat nomor asing di layar ponsel.   "Halo."   Suaraku ketus saat menjawab panggilan itu.   "Keluarganya Nyonya Sumarsih? Kami dari pihak rumah sakit ingin memberi Mbak kalau Nyonya Sumarsih mengalami kecelakaan dan kondisinya cukup parah. Kami akan melakukan tindakan operasi dan berharap pihak keluarga bisa segera datang ke rumah sakit untuk menyelesaikan biaya administrasi."   Shock! Ponsel di tanganku terlepas dan aku menatap Pak Arya yang masih sibuk dengan mainannya. Air mataku langsung tumpah, kabar tadi membuat nyawaku serasa dicabut malaikat maut. Aku terdiam beberapa saat, ibu kecelakaan dan nyawanya bisa tertolong kalau aku punya uang banyak. Pikiran gila langsung muncul di otakku, Bang Tagor! Ya hanya dia yang bisa menolongku tapi kenapa sampai detik ini dia belum memberi kabar tentang niatnya menjualku?   Dengan tangan bergetar aku mencoba menghubungi Bang Tagor dan sialnya ponselnya mati, aku mencoba menghubungi anak buahnya dan lagi-lagi tidak aktif. Tanganku semakin bergetar dan mataku melihat ke arah Pak Arya.   Ya, mungkin hanya dia yang bisa menolongku kini. Pak Arya mungkin satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ibu. Uangnya banyak dan aku bisa menyelamatkan dan menyembuhkan ibu kalau aku bisa mengambil hatinya. Aku berjalan mendekati Pak Arya dan pikiran jahat tadi menyuruhku memeluk Pak Arya dari belakang.   "Pak ... mau nggak nikah sama saya? Saya suka sama Bapak," ujarku dengan berani.   Aku rela menjual diriku demi ibu, menikah dengan Pak Arya satu-satunya jalan agar aku bisa menggunakan uangnya tanpa perlu berpikir panjang.   ****    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN