Mungkin hanya aku di dunia ini melakukan hal segila ini saat mendengar ibu mengalami kecelakaan, menyatakan cinta dan minta dinikahi oleh laki-laki yang usianya jauh di atasku.
"Kamu mabuk?" tanya Pak Arya dengan wajah menyeramkan. Wajah sedih dan shock saat mendengar berita tentang kecelakaan ibu sengaja aku tutupi agar Pak Arya tidak tahu alasan aku melamarnya hanya karena aku butuh uangnya.
"Nggak, saya melamar Bapak dengan sadar sesadar-sadarnya. Saya mau bapak nikahi saya secepatnya, anggap saja ganti rugi karena bapak sudah merenggut ciuman pertama saya. Mana ada laki-laki lain mau menikahi saya yang bibirnya sudah terjamah bapak. Kalau saya nggak laku seumur hidup siapa yang rugi? Saya dan bapak juga kan?" Ocehku panjang lebar.
Tanpa sempat menarik napas panjang. Aku pun melanjutkan usahaku membujuknya, meski sulit tapi tidak ada salahnya mencoba.
"Ayolah, seharusnya bapak bersyukur saya mau menikahi bapak. Bapak nggak akan rugi loh yang ada malah untung. Keuntungan pertama yaitu bapak bisa melepaskan kejombloan bapak. Keuntungan kedua, bapak menikah dengan perawan ting ting yang teruji klinis belum terjamah tangan laki-laki lain alias masih segel luar dalam kecuali bagian ini ..." aku meletakkan tanganku di bibir yang beberapa hari lalu diciumnya, "keuntungan ketiga, bapak punya istri secantik saya nggak bakalan rugi. Malah bapak bisa membanggakan diri bisa memiliki istri seperti saya," lanjutku seperti SPG saat 'menjual' barang dagangannya.
Perlahan tongkat golf yang dipegang Pak Arya mulai mengarah ke arahku. Aku tidak peduli meski Pak Arya akan membunuhku dengan tongkat itu, yang jelas aku akan pastikan Pak Arya menikahiku.
"Kamu sepertinya benar-benar mabuk, semua ucapakan kamu mulai ngelantur. Pernikahan itu bukan untuk dipermainkan, baru sekali ini saya mendengar hal sekonyol itu. Tanggung jawab karena merenggut ciuman pertama? Kamu benar-benar sudah gila!" makinya dengan kesal.
"Ya! Saya memang sudah gila! Saya tergila-gila dengan bapak, di mata saya bapak itu laki-laki sempurna."
Aku memang sudah gila tapi apa pun akan aku lakukan asal Pak Arya mau memberikan sedikit uangnya untuk kesembuhan ibu dan menjadi istrinya akan memudahkanku menggunakan uangnya.
Perlahan Pak Arya mendekatiku lalu dia meletakkan tangannya di dahiku.
"Nggak panas, jadi kamu nggak sakit dan saya pun tidak mencium aroma minuman keras. Fix kamu sakit jiwa, sebaiknya kita ke psikolog. Saya akan antar kamu ke psikolog terbaik di kota ini. Jangan khawatir, saya tidak akan potong gaji kamu. Saya ikhlas menolong asal kamu kembali sehat seperti dulu." Pak Arya menggenggam tanganku dengan tangan hangatnya.
Aku nggak butuh psikolog! Aku butuh uang Bapak! Ya Tuhan, bagaimana lagi caranya supaya Pak Arya mau menikahiku, gumamku dalam hati.
"Ishhhh, saya sehat kok Pak. Saya nggak butub psikolog tapi yang saya butuhkan itu bapak. Bapak mau ya nikahi saya, saya akan berbakti dunia akhirat saat menjadi istri bapak. Ya ... ya ... ya ... please," rengekku manja sambil menggoyangkan tangannya. Sikapku seperti anak kecil saat meminta es krim ke ayahnya.
Pak Arya menggelengkan kepalanya dan melihatku dari atas sampai bawah.
"Saya semakin malas untuk menikah, saya tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi seandainya kamu menjadi istri saya. Jadi, hentikan semua omong kosong ini dan kembalilah kerja agar otak kamu yang konslet itu bisa kembali benar." Pak Arya melepaskan tangannya dan kembali melanjutkan permainan golfnya.
Cukup sulit mengubah pendiriannya tapi aku tidak akan semudah itu menyerah. Aku akan terus berusaha sampai Pak Arya akhirnya luluh dan mau menikahiku.
"Oke, tapi aku nggak akan nyerah. Aku akan kejar Bapak sampai dapat atau namaku bukan Wida!" ujarku dengan nada berapi-api. Aku mengambil ponsel yang terjatuh tadi dan tiba-tiba ponselku kembali berdering.
Nomor asing yang tidak aku kenal, aku langsung menjawab telepon itu. Mungkin pihak rumah sakit tadi menghubungi aku lagi.
"Halo,"
"Keluarganya Bapak Oscar? Kami dari pihak rumah sakit ingin memberi Mbak kalau Bapak Oscar mengalami kecelakaan dan kondisinya cukup parah. Kami akan melakukan tindakan operasi dan berharap pihak keluarga bisa segera datang ke rumah sakit untuk menyelesaikan biaya administrasi."
Tunggu dulu! Suara wanita ini sama dengan suara yang memberitahuku tentang kecelakaan ibu. Hanya saja dia menyebut nama laki-laki yang sudah mencampakkan aku dan ibu bertahun-tahun yang lalu. Kata-katanya pun sama, hanya nomor teleponnya saja yang berbeda.
Jangan-jangan telepon tadi dan sekarang ini bentuk penipuan yang mulai marak terjadi lagi? Pura-pura menjadi suster untuk menipu pihak keluarga yang panik untuk mengeruk uang?
Ya ampun! Ya ampun!
"Salah sambung!" teriakku kesal setelah sadar semua ini hanya penipuan sekelompok orang untuk menguras uangku.
Aduh! Apa yang harus aku lakukan? Aku terlanjur melamar Pak Arya dan mau letak di mana muka ini seandainya aku menarik semua ucapanku tadi. Bisa-bisa Pak Arya menganggapku benar-benar sudah gila.
"Ckckck," gerutu Pak Arya setelah mendengar teriakanku barusan, "saya akan ikutan gila seandainya saya menikahi kamu," sambungnya dengan decak kesal.
"Maaf Pak," aku kehilangan kata-kata dan memutuskan keluar dari ruangannya.
Gila! Apa yang harus aku lakukan? Melanjutkan rencana gila ini atau mengakhirinya sampai di sini?
"Arghhhhh! Penipu sialan!" teriakku sambil mengacak rambutku.
****
Fiuhhhhh, akhirnya aku bisa bernapas dengan santai setelah melihat ibu sedang tertidur di depan TV dengan bahan rajutan di tangannya. Pelan-pelan aku mengambil rajutan itu dan menyimpannya di tempatnya. Aku mencium kening ibu dan menyelimuti tubuh rentanya dengan selimut.
"Hari ini aku benar-benar sial Bu, tapi aku bersyukur itu semua hanya penipuan. Hanya saja ... semua itu bisa terjadi suatu saat nanti kalau kondisi ibu belum sembuh total. Ibu harus kembali ke rumah sakit, di sana ibu bisa menerima pengobatan dan aku pun bisa tenang tanpa harus takut meninggalkan ibu sendiri," aku membuang napas beberapa kali.
"Kenapa kita harus menderita seperti ini hanya karena laki-laki itu? Seandainya aku punya uang. Uang bisa membantu kesulitan kita. Aku tidak akan pusing memikirkan biaya pengobatan Ibu, hutang di rentenir pun bisa aku lunasi, apa yang harus aku lakukan, Bu?"
Cukup panjang curahan hati yang selama ini tidak pernah aku keluarkan di depan Ibu. Ibu adalah nyawaku, kesembuhan Ibu adalah kebahagiaanku.
Tok tok tok
Curahan hatiku berhenti saat mendengar ketukan di pintu.
"Siapa?" tanyaku.
"Bolon," jawabnya.
Ya ampun! Tagihan rentenir lain selain Bang Tagor bulan ini belum sempat aku bayar.
"Sebentar Bang," aku mengambil dompet dan ternyata uang di dompetku tidak cukup untuk membayar tagihan Bang Bolon. Aku baru ingat kalau uang terakhir yang aku punya digunakan membayar tagihan rumah sakiti.
"Maaf bang, bulan ini aku nggak bisa bayar."
"Hah! Nggak bayar lagi? Kau pikir duit itu punya nenek moyang kau? Dasar bodat kau!" Makinya dengan kasar.
"Maaf Bang, hanya saja ..."
Prakkkk!
Bang Bolon menghantam pintu kamar kos dengan kasar dan keras. Aku menggigil ketakutan dan berharap ibu tidak bangun dan ketakutan melihat Bang Bolon.
"Aku nggak mau tau, aku kasih kau waktu satu bulan lagi untuk melunasi semua hutang kau dan kalau kau sampai ingkar lagi,awas saja kau! Aku nggak akan segan-segan menghancurkan hidup kau? Paham!" ancamnya. Reflek aku mengangguk saking takutnya melihat wajah Bang Bolon.
"I ... iya Bang," jawabku terbata-bata.
Bang Bolon akhirnya pergi dan setelah kepergiannya aku langsung menutup pintu kamar kos dengan cepat.
Kepalaku rasanya mau pecah, belum masalah ini selesai eh datang lagi masalah baru dan kini aku hanya punya waktu satu bulan untuk melunasi hutang Bang Bolon.
"Satu bulan, bahkan gajiku nanti tidak bisa membayar sepertiga hutangku dengan Bang Bolon. Ya Tuhan, bisa nggak Kau berikan aku sekoper uang? Aku lelah menghadapi ini semua, apa yang harus aku lakukan? Mungkinkah Kau ingin aku melakukan hal jahat? Menggunakan pernikahan untuk mendapatkan uang? Haruskah aku memikat dan membuat Pak Arya menikahiku?" ujarku pelan sambil diiringi helaan napas panjang.
Ya, hanya itu satu-satunya rencana yang bisa aku lakukan untuk menyelesaikan semua masalahku. Membuat Pak Arya mau menikahiku dalam waktu satu bulan ini dan setelah itu aku bisa melunasi hutang rentenir dan membawa Ibu kembali ke rumah sakit.
"Besok aku akan menunjukkan siapa Wida sebenarnya, Pak Arya akan mencintaiku dan akhirnya menikahiku!"
****
Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari tahu tentang diri Pak Arya. Dari A sampai Z, bahkan aku tidak melewatkan setitik info pun tentang dirinya, termasuk kegiatan sehari-harinya di luar kantor.
Contohnya pagi ini, aku sengaja menunggunya berjam-jam di depan gerbang rumahnya.
"Nah itu dia!" Aku melihat Pak Arya sedang bersiap-siap lari pagi. Aku merapikan baju lariku dan sengaja muncul dari balik pohon.
"Pagi Pak," sapaku yang sengaja berlari di sampingnya. Pak Arya terlihat kaget melihatku dan dia menghentikan larinya.
"Kenapa kamu bisa di sini?" tanyanya heran.
"Menemani Bapak lari pagi, sebagai calon istri yang baik sudah seharusnya saya menemani Bapak, sekalian saya bawa sarapan dan minuman untuk Bapak." Aku menunjukkan kotak bekal dan juga botol air yang sengaja aku bawa dari rumah.
"Gila!" makinya sebelum berlari meninggalkan aku.
"Ho oh, saya gila karena mencintai Bapak. Bapak sayang tunggu saya donkkkk," aku sengaja melontarkan kalimat super duper lebay. Beberapa pelari lain terlihat berbisik-bisik, sedangkan Pak Arya berusaha menutupi wajahnya dengan handuk kecil di lehernya.
Sekarang Bapak boleh sok jual mahal tapi sampai kapan Bapak bertahan?
"Sayangnya aku pelan-pelan dong larinya, nggak takut encoknya kumat?" panggilku lagi.
Pak Arya menghentikan larinya saat beberapa pelari lain semakin penasaran tentang hubungan kami.
"Hahaha maaf, kami bukan pasangan kok, gadis muda ini halu-nya ketinggian." Pak Arya berusaha menjelaskan siapa aku ke para pelari itu.
Aku bergegas menghampiri Pak Arya dan sengaja meletakkan tanganku di tangannya.
"Jangan malu Pak, kenapa sih Bapak malu mengakui kalau saya ini calon istri bapak? Oh iya perkenalkan saya Wida calon istri Pak Arya," ujarku tanpa malu.
"Wida!"
"Iya sayang, ih unyu banget sih sayangku ini."
Pelari itu menunjukkan sikap mau muntah melihat sikap super lebayku.
"Selamat ya Pak Arya, calon istrinya lucu dan masih muda ya, saya pikir anaknya loh!" ujar pelari itu.
Wajah Pak Arya semakin murka dan dia meninggalkan aku tanpa sepatah kata pun.
Pak Arya ngambek!
*****