Bab 7

1646 Kata
Tidak  gampang  meluluhkan  hati  batu Pak Arya dan sejak insiden tadi pagi, sampai siang ini Pak Arya tak kunjung keluar dari rumahnya. Aku dengan setia menunggu di warung depan rumahnya.   "Mbak, ini kopinya. Sudah tiga gelas loh, nggak baik untuk kesehatan," ujar ibu pemilik warung saat meletakkan segelas kopi lagi untukku.   "Ibu sudah lama jualan di sini?" tanyaku membuka percakapan agar tidak bosan menunggu Pak Arya, sekalian mencari info tentang kesehariannya Pak Arya, siapa tahu ibu pemilik warung tahu tentang kegiatan Pak Arya.   Ibu itu tersenyum dan duduk di sebelahku, "Sudah lebih dari dua puluh tahun Mbak, sudah lama banget ibu jualan di warung ini," jawabnya dengan bangga. "Wah, sudah lama juga ya Ibu jadi jualan di sini," aku sedikit kagum dengan kegigihan ibu ini dalam mencari nafkah. Warung ini tidak terlalu besar tapi isinya lumayan lengkap.   "Iya Mbak, bahkan sebelum Pak Arya pindah ke rumah ini. Pak Arya itu orang yang paling saya kagumi di komplek ini. Sifatnya sangat baik dan suka membantu warga yang membutuhkan. Bahkan tak jarang  membantu warga yang membutuhkan dana untuk sekolah anaknya, berobat, atau kebutuhan bernilai kecil pun."   Ini yang aku tunggu, aku akan mengorek informasi dari ibu pemilik warung ini untuk mencari tahu tentang diri pribadi Pak Arya.   "Oooo, Pak Arya tinggal sendirian Bu?"   Ibu itu mengangguk dan membuang napasnya, "Awalnya Pak Arya tinggal dengan Mas Rabian, anaknya. Tapi beberapa bulan belakangan Mas Rabian memutuskan tinggal di apartemen dan semenjak itu Pak Arya tinggal sendirian di rumah sebesar itu. Rumah yang tidak pernah tersentuh tangan wanita semenjak kejadian tragis lima belas tahun yang lalu," jawabnya.   Kejadian tragis?   Semakin menarik.   "Kejadian apa Bu?" tanyaku penasaran.   "Pak Arya ditinggalkan tunangannya saat ijab qabul dan kabur dengan sahabatnya, semenjak itu ibu tidak pernah melihat ada wanita datang atau tinggal di rumah itu. Pak Arya memutuskan melajang sejak kejadian itu, mungkin Pak Arya masih trauma."   Entah kenapa dadaku sesak mendengar cerita tentang masa lalu Pak Arya. Pak Arya sudah pernah mengalami kejadian menyedihkan seperti itu dan kini aku berniat jahat dengan menggunakan pernikahan untuk mengeruk hartanya.   Ya Tuhan, kenapa aku jadi sejahat ini. Tapi kesehatan Ibu lebih penting, aku memang jahat tapi aku janji tidak akan pernah meninggalkan Pak Arya sampai kapan pun, aku akan berbakti dan menjadi istri yang baik untuk membalas kebaikannya nanti. "Oh gitu ya Bu, menurut ibu kalau saya menjadi pengganti tunangan Pak Arya gimana?"   Ibu itu langsung tertawa terpingkal-pingkal lalu menatapku dari atas sampai bawah.   "Maaf Mbak, bukan maksud menghina atau merendahkan Mbak tapi Pak Arya nggak bakalan mau menikahi anak kecil seperti Mbak. Mbak mau tahu bentuk dan rupa mantan tunangan Pak Arya?" Ibu itu berdiri lalu masuk ke warungnya.   Aku mendengus dan melihat diriku dengan kaca kecil yang aku keluarkan dari dalam tas. Iya sih, wajahku masih terlihat seperti remaja labil ditambah wajahku tanpa olesan makeup tapi aku nggak mungkin juga memakai makeup hanya untuk menarik perhatian Pak Arya. Lagipula aku cuma punya lipstik dan bedak bayi. Aku lebih memilih menyimpan uang untuk biaya pengobatan ibu daripada membeli makeup yang harganya sangat mahal.   "Nah ini dia," Ibu itu meletakkan majalah di depanku lalu meletakkan jarinya di atas majalah. Terlihat artis dan model ternama di cover majalah itu. Mataku langsung membesar dan cukup shock saat tahu siapa wanita yang menyakiti Pak Arya bertahun-tahun yang lalu.   "Ibu serius? Jadi mantan tunangan Pak Arya itu Carenina Sutowo? Artis dan model ternama itu?" tanyaku lagi dengan mimik wajah serius.   Lagi-lagi ibu itu mengangguk dan mengambil majalah itu lagi, matanya berbinar menatap foto wanita bernama Carenina itu.   "Kamu tahu kan selera Pak Arya wanita seperti apa?"   Ya, tubuhku langsung lemah. Aku dibandingkan dengan Carenina sama seperti kucing dan tikus, jauhhhhhh dan nggak pantas dibandingkan.   "Terima kasih Bu," jawabku lemah.   Jalanku untuk menjadi istri Pak Arya semakin sulit.   ****   Sepatu high heel – Chek   Makeup  - Chek   Baju super sexy seperti yang dikenakan Carenina – Chek   Pagi ini aku memutuskan kembali mengejar Pak Arya dan warung Ibu Sari sudah menjadi tempat baruku. Untungnya Ibu Sari mengizikan aku menunggu Pak Arya di warungnya, asal aku tidak pelit membeli barang dagangannya.   "Gimana penampilan saya Bu? Sudah mirip Mbak Carenina belum?" tanyaku pagi ini saat menunggu Pak Arya keluar dari rumahnya.   "Cantik sih, tapi terlalu dibuat-buat. Nggak natural dan sedikit dewasa," balas ibu itu.   Ishhhh, ibu ini rese juga ya. Kemarin dia bilang aku kekanakan dan sekarang terlalu dewasa. Au ah, lebih baik aku coba dulu. Aku meninggalkan warung ibu Sari dan langsung bergegas menuju rumah Pak Arya. Kali ini aku mondar mandir di depan rumahnya dan sesekali menendang batu saking kesal dengan ucapan ibu Sari tadi.   Setelah setengah jam aku menunggu barulah Pak Arya keluar dari rumahnya. Pak Arya memakai baju santai dan sepertinya dia mau membersihkan mobilnya.   "Pagi Pak," sapaku di depan rumahnya. Pak Arya melihat ke arahku.   "Maaf Mbak, saya nggak ngerokok."   Buset! Dipikirnya aku SPG rokok kali ya! Menyebalkan!   "Ih Bapak, masa nggak kenalin calon istrinya sendiri sih. Saya Wida Pak, kesayangannya Bapak loh. Masa disamakan dengan SPG rokok, lagipula mana ada SPG secantik saya," jawabku dengan wajah sewot.   Pak Arya menghentikan kegiatannya dan melihatku dari atas sampai bawah. Wajahnya  semakin kesal dan jutek. "Pagi-pagi mata saya ternoda, buat apa sih kamu pakai baju kekurangan bahan seperti itu, ckckck, gumamnya kesal.   "Yah, kan cantik Pak. Ih mulut Bapak lemesss  juga ya sama calon istri sendiri. By the way, kok nyuci mobil sendiri? Nggak punya supir Pak? Mau saya bantuin nggak?" tanpa perlu menunggu jawabannya aku langsung merampas selang air dari tangannya.   Ribet sih kerja menggunakan dress sesexy ini tapi aku sudah berniat mengambil hati Pak Arya.   "Nggak usah, kamu bikin susah saya saja. Lagipula buat apa kamu ke sini setiap hari, lebih baik kamu bantu Ayunda mempersiapkan koleksi terbaru, bukannya godain om-om tua dan baju apa yang kamu pakai itu ..........................."   Pak Arya langsung mengomeliku dari A sampai Z, aku memilih diam dan tidak menjawab. Omelannya nggak salah sih, tapi aku senang aja diomeli Pak Arya tentang baik buruknya menggunakan pakaian sesexy ini. Itu tandanya Pak Arya mulai peduli denganku, meski mulutnya masih mencoba menolak keberadaanku.   "Sekarang lebih baik kamu pulang," Pak Arya mencoba merebut kembali selang itu.   "Nggak mau! Kalau pinggangnya Bapak sakit gimana? Saya nggak tega membiarkan Bapak jongkok-jongkok, jadi lebih baik Bapak duduk dengan tenang dan biarkan saya menyelesaikan pekerjaan ini," aku meletakkan selang di lantai dan mendorong tubuh Pak Arya untuk masuk kembali ke dalam rumah.   "Emosi saya sudah naik nih, jangan sampai saya menendang kamu keluar dari sini," ancamnya lagi.   "Ih kok tega sih sama calon istri sendiri tapi kalau tendangnya ke KUA, saya rela dunia akhirat Pak."   "Wida!"   "Iya sayang, mau apa? Mau teh atau kopi atau mau makan siang buatan saya? Oke, bapak lanjutkan cuci mobilnya dan saya akan masuk ke dalam untuk menyiapkan makan siang kita."   Tanpa malu aku langsung berlari masuk ke rumah Pak Arya, baru akan menginjakkan kaki di pintu masuk tiba-tiba aku merasakan pelukan hangat di pinggangku. Pelukan itu mencengkram erat pinggangku dan dalam sekejap tubuhku melayang tinggi.   Pak Arya mengendongku!   "Jangan harap bisa masuk ke dalam!" ujarnya dengan kasar. Aku meronta dan mencoba melepaskan diri darinya, sayangnya tenaganya lebih kuat.   Pak Arya membawaku menuju gerbang rumahnya dan barulah dia menurunkanku dengan kasar dalam posisi berdiri dan aku sampai terduduk dengan kaki sedikit terlipat di lantai depan rumahnya.   "Awwww," aku meringis menahan rasa sakit di kakiku.   "Jangan ngelunjak! Sampai kapanpun saya tidak akan pernah menikahi wanita seperti kamu," ujarnya keras sebelum masuk dan menutup gerbang rumahnya.   Aku mencoba untuk berdiri tapi rasa sakit ini membuatku kesulitan. Aku mencoba meminta bantuan ibu Sari tapi entah sejak kapan warung itu tutup. Komplek ini terlihat sepi dan sepertinya aku harus menolong diriku sendiri, pelan-pelan aku mencoba berdiri. Air mataku turun menahan rasa sakit di kaki ini.   "Nggak apa-apa, ini belum seberapa dibandingkan sakit yang dirasakan ibu. Sabar Wida."   Dengan sedikit terpincang-pincang aku berniat meninggalkan rumah Pak Arya. Sayangnya komplek ini tidak dilalui taksi dan aku terpaksa harus jalan kaki untuk mencari taksi.   Sebenarnya rumah Pak Arya dan gerbang komplek tidaklah terlalu jauh tapi kondisi kaki terkilir ini membuatku kesulitan berjalan meski aku sudah melepaskan kedua sepatuku.   Tertatih tatih sambil menahan sakit tidak membuatku menyerah mengejar Pak Arya. Suatu saat nanti aku akan masuk ke dalam rumah itu, aku akan menjadi wanita pertama yang masuk dan tinggal di rumah itu.   Aku menghentikan langkahku saat melihat sebuah mobil berhenti di sampingku. Mobil yang sangat amat aku kenali dalam beberapa hari ini.   Jendela mobil itu terbuka dan aku melihat Pak Arya di balik kemudi mobil itu. Senyum langsung muncul di wajahku, ternyata Pak Arya masih peduli denganku.   "Minggir, ganggu jalan orang saja kamu! Saya akan minta satpam mengusir kamu setiap kamu berani datang ganggu hidup saya," makinya sebelum berlalu meninggalkan aku. Mobil Pak Arya berhenti tepat di depan pos satpam, entah apa yang mereka bicarakan tapi aku yakin Pak Arya sudah mewanti-wanti satpam untuk mengusirku.   Pak Arya kembali masuk ke dalam mobilnya dan memutar mobil itu ke arahku dan jahatnya mobil itu melewatiku begitu saja. "Ih jahat banget!" teriakku kesal. Mobil Pak Arya berhenti lalu  mundur dan berhenti tepat di sampingku. Pak Arya membuka kaca mobil dan menjulurkan kepalanya ke arahku.   "Saya sebenarnya berbaik hati mengantar kamu pulang tapi saya batalkan karena setiap saya melihat kamu, bawaannya selalu kesallllll," ujarnya dengan mimik wajah serius.   Ini kesempatan langka. Lebih baik aku melanjutkan sandiwaraku.   "Tega ih sama calon istri sendiri, kaki saya sakit nih gara-gara Bapak main kekerasan. Bapak KDRT nih ... kekerasan dalam rumah tangga."   Aku melihat Pak Arya mencoba menahan senyumnya tapi sengaja dia tutupi dengan sikap sok dingin dan cueknya itu.    "Kamu ngayalnya ketinggian tapi berhubung saya baik, saya akan mengantar kamu pulang. Ayo masuk," tanpa ba bi bu aku langsung masuk dan duduk di sampingnya.   Pak Arya membuang napasnya dan membuka jaket yang dipakainya lalu meletakkan jaket itu agar menutupi bagian pahaku yang terbuka.   "Ih Bapak so sweet juga ya, saya semakin cinta deh sama Bapak. Makasih ya Pak," reflek aku mencium pipinya.   Wajahku dan Pak Arya langsung sama-sama merah, entahlah semakin hari aku semakin ingin menaklukkan Pak Arya.   "Saya tendang lagi nih kamu keluar dari mobil saya!"   ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN