"Saya turun di sini saja Pak, nggak enak malam-malam pulang ke kos memakai baju seperti ini dan diantar laki-laki bermobil mewah pula. Bisa-bisa nanti mereka pikir saya baru pulang jual diri," pintaku sesaat setelah kami sampai di depan gang sempit menuju kosku. Pak Arya memilih diam dan sibuk memperhatikan kondisi tempat tinggalku, aku menyerahkan kembali jaket yang tadi dipinjamkannya.
"Nih Pak jaketnya, terima kasih sekali lagi. Saya tau kalo Bapak itu sudah jatuh cinta kan sama saya? Makanya rela jauh-jauh ngantarin meski rumah kita jaraknya jauhhhh banget," aku semakin percaya diri dan dibalas dengan lenguhan kesal meski tak ada omelan keluar setelahnya.
"Pakai saja, lagipula saya anti memakai barang yang sudah dipakai orang lain. Apalagi dipakai kamu, manusia paling percaya diri di dunia. Saya itu antar kamu pulang karena saya baik hati," ujarnya menolak pemberianku dan kali ini dilanjutkan dengan omelan khasnya.
"Hehehe iya deh, tapi sekali lagi terima kasih ya dan selamat malam Pak. Sampai jumpa besok lagi." Aku kembali mencium pipinya dengan cepat dan melambaikan tangan untuk berpamitan.
"Ckckck awas kamu!" makinya dan aku langsung bergegas masuk ke dalam gang sebelum Pak Arya ngamuk untuk kesekian kalinya meski kakiku masih terasa sakit.
Perlahan mobil Pak Arya meninggalkanku dan setelah itu barulah aku membuang napas berkali-kali. Ada rasa bersalah setiap aku bersikap nakal ke Pak Arya, tapi nasi sudah jadi kerak dan nggak akan bisa kembali menjadi nasi. Begitupun aku, aku sudah menebarkan umpan dan kini hanya campur tangan Tuhan yang bisa menghentikan ini semua.
"Maafin Wida ya Pak, tapi hanya ini satu-satunya jalan agar Wida bisa menolong ibu. Bagi Wida, ibu adalah napas dan juga nyawa, Wida harap Bapak bisa mengerti dan memaafkan Wida saat semuanya terungkap," ujarku lemah.
Aku pun melangkah dengan gontai menuju kos untuk melihat kondisi ibu setelah satu hari ini aku tinggalkan. Aku harap kondisinya masih stabil dan terkendali sampai Pak Arya menikahiku.
Pagi harinya.
Senyum terus mengambang di wajahku saat melihat Pak Arya pagi ini sudah ada di kantor, aku pikir dengan sikapku beberapa hari ini Pak Arya memutuskan untuk tidak datang ke kantor.
"Wida, kamu dipanggil Pak Arya," ujar Lani saat aku baru menginjakkan kaki di ruangan Mbak Ayunda.
"Oke," jawabku dengan antusias.
Wajah Lani langsung berubah, selama ini aku selalu kesal atau mengomel setiap Pak Arya memanggilku tapi kali ini wajahku terlihat antusias dan bahagia.
"Lo ada affair ya dengan Pak Arya?" tanya Lani dengan wajah penasaran.
"Ih kok nanyanya begitu? Lagian aku itu single dan Pak Arya juga single. Ada masalah kalo akhirnya aku dan Pak Arya jadi pasangan?" balasku dengan serius. Lani menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal lalu dia menggeleng pelan.
"Nggak sih, masa kamu sih jadi istrinya Pak Arya. kamu itu cocoknya jadi mantunya, gak seimbang dunia akhirat. Pak Arya malaikat sedangkan kamu itu kerak-kerak neraka wkwkwkw,"
Set dah segitu banget si Lani menghinaku, sejelek itukah? Rasanya aku nggak kalah cantik dibandingkan Carenina saat masih muda.
"Gue cabein juga mulut lemess lo ya!" makiku kesal, persetan dengan jabatannya sebagai sekretaris Pak Arya. Lani membuat tanda damai dengan jarinya sebelum aku membalasnya.
Aku membuang napas dan mengambil kaca untuk merapikan penampilanku.
"Semangat Wida," aku pun bergegas menuju ruang Pak Arya.
Tok tok tok
"Masuk."
Aku pun masuk dan melihat Pak Arya dan kepala HRD sedang berbincang dengan wajah serius, entah kenapa jantungku langsung berdetak kencang. Mungkinkah Pak Arya akan memecatku seperti ancamannya selama ini?
Ya Tuhan!
"Bapak memanggil saya?" tanyaku pelan. Keringat dingin mulai turun dan tanganku mulai bergetar hebat, semua rencanaku akan kacau kalau Pak Arya sampai memecatku.
"Silakan duduk," ujarnya dengan mimik wajah serius.
Melihat raut wajahku bisa dipastikan aku akan dipecat secara tidak hormat.
"Ada apa Pak? Kenapa bapak memanggil saya?" tanyaku membuka perbincangan. Pak Arya menoleh ke arah kepala HRD dan memberi kode dengan matanya. Kepala HRD mengangguk tanda mengerti dan mengeluarkan secarik kertas bertuliskan ‘Surat Keputusan’ dengan huruf lumayan besar.
"Saya dipecat Pak? Salah saya apa? Kenapa bapak tega memecat saya? Saya butuh pekerjaan ini, kerena tidak semua orang terlahir memiliki uang seperti bapak. Tega sekali bapak memecat saya hanya karena saya jatuh cinta sama bapak. Bapak ... Bapak ... hikssss," entah kenapa aku langsung tahu kalau surat itu adalah surat pemberhentianku dan reflek aku langsung menangis sedih.
Tangisanku sangat pilu dan menyayat hati, aku nggak tahu bagaimana hidupku dan ibu seandainya besok aku tak lagi bekerja.
"Siapa yang mau mecat kamu sih," ujar Pak Arya dengan wajah kesal menahan malu dan emosi.
"Hah! Hiksss ... jadi ... surat ... itu ..." aku menghapus air mata yang masih mengalir dan melirik kepala HRD yang sedari tadi menahan tawanya.
Sialan! Bilang kek daritadi dan aku nggak perlu buang-buang airmata seperti ini.
Aku mengambil surat itu dan mulai membacanya satu persatu kalimat. Mataku langsung melotot saat membaca kalau aku berhak tinggal di mess karyawan tanpa dipungut biaya dan gilanya lagi mess itu bukan hanya sekedar kamar kecil tapi sebuah apartemen yang terletak tak jauh dari kantor ini.
Beberapa kali aku mengucek mata untuk memastikan apa yang aku baca tadi tidak salah dan nyatanya ini bukan mimpi.
"Bapak serius?" tanyaku langsung kepada kepala HRD.
Sejak kapan kantor ini punya mess karyawan? Berbulan-bulan aku bekerja di sini dan baru kali ini aku tahu kalau ada mess untuk karyawan.
"Iya, sesuai perintah Pak Arya mulai hari ini kamu sudah bisa menempati mess karyawan. Selamat ya, kamu beruntung bisa mencicipi fasilitas bagus dari kantor ini," ujarnya terdengar penuh sindiran sebelum meninggalkan aku dan Pak Arya berdua.
Rasanya aku ingin bersorak sorai tapi langsung aku batalkan saat sadar kalau saat ini ibu ikut tinggal bersamaku. Aku nggak mungkin ninggalin ibu sendirian di kos tapi aku juga nggak mungkin membawa ibu ke apartemen itu. Satu-satunya jalan dengan membawa ibu bersamaku secara diam-diam dan jangan sampai Pak Arya tahu.
"Kamu harus giat bekerja atau saya tidak akan segan-segan menendang kamu keluar dari mess itu, paham!" ujarnya bagaikan perintah.
"Saya paham Pak, saya akan giat bekerja dan juga giat meluluhkan hati bapak. Semoga saya bisa menjadi karyawan terbaik kantor ini dan juga menjadi istri yang baik untuk Bapak," aku tersenyum tanpa malu meski wajah Pak Arya semakin kusam dan kesal.
"Terharu nggak Pak? Terharu donkkkk," rengekku manja.
"Lebih baik kamu kembali bekerja dan hentikan semua omong kosong tentang istri dan pernikahan. Sampai kapan pun saya ..."
Aku langsung membungkukkan badanku di depannya dan meletakkan jariku di bibirnya.
"Hati-hati termakan ucapan sendiri Pak, saya akan pastikan kalau Bapak sebentar lagi akan merasakan cinta baru di hidup Bapak. Suatu hari nanti Bapak akan mencintai saya seperti saya mencintai Bapak."
"Wida!"
"Iya Pak, saya di sini kok nggak usah teriak-teriak, ada apa? Bapak cinta ya sama saya? Jadi kapan kita nikah?" Aku semakin bahagia melihat wajahnya, terlihat unyu saat menahan emosi.
Baru aku sadari kalau ternyata Pak Arya itu punya lesung pipi dan itu semakin membuatnya terlihat tampan meski aura kesedihan sesekali masih terlihat di matanya.
"Mundur nggak!" perintahnya saat tubuhku tanpa sadar semakin mendekatinya, aku sedang mengagumi kerutan-kerutan kecil di wajahnya dan mengacuhkan perintahnya. Aku tetap di posisiku dan perlahan mengarahkan tanganku untuk menyentuh kerutan itu.
"Bapak sudah tua ternyata dan nggak baik menghabiskan masa tua sendirian. Pasti Bapak kesepian setiap malam cuma bisa meluk guling. Mending Bapak meluk saya dan saya janji semua rasa sepi Bapak bisa hilang," aku masih menggodanya meski aku yakin emosinya kian menggunung mendengar ucapanku.
"Ayah ..."
Sayangnya kekagumanku langsung sirna saat mendengar suara Pak Rabian memanggil Pak Arya dan suara itu membuat Pak Arya reflek mendorongku hingga jatuh dan membuat pantatku terhempas ke lantai.
"Maaf Rabian datang saat Ayah sedang sibuk ... dengan wanita muda," aku masih terduduk di lantai dengan wajah memerah, pasti Pak Rabian sedang berpikiran jelek.
"Ah nggak, ayah beruntung kamu datang." Pak Arya bergegas meninggalkan aku dan menarik tangan Pak Rabian keluar dari kantornya. Aku mendengus dan mencoba berdiri dengan wajah merah menahan malu.
"Ishhhh dasar Pak Arya jahat, calon istrinya jatuh malah ditinggalkan," teriakku cukup kencang agar Pak Rabian mendengarnya. Pak Rabian memalingkan wajahnya dan tertawa melihatku dan Pak Arya secara bergantian.
"Oh dia ya calon ibu aku?" tanyanya.
"Jangan mulai Rabian! Kepala ayah mau pecah meladeni dia dan kamu jangan ikut campur," balas Pak Arya.
"Oooo pantesan banyak fo ... hmfttttt yahhhh!" Aku melihat Pak Arya membungkam mulut Pak Rabian. Aku hanya bisa menggaruk kepala dan bingung dengan maksud ucapan Pak Rabian.
"Kalian berdua sama saja!"
****