“Kamu menarik. Siapa nama kamu?”
─Surya─
***
Naya yang akhirnya sadar posisi, langsung mendorong Surya. Dia bangkit, merapikan rok. Aku juga baru menyadari kalau sejak tadi dia berantem menggunakan rok.
Beberapa siswa bersorak senang mengatakan "Surya, aku padamu....", ada juga yang berteriak, "Princess kau sangat keren." Aku malas mendengar kalimat-kalimat lainnya. Sampai akhirnya tidak ada riuh lagi, karena seorang guru menghampiri lapangan.
Siswa berlarian dan bel pun terdengar. Aku masih mematung di tempat, melihat Naya yang kesulitan membantu Surya bangun. Oh tidak, Surya cedera.
Aku berlari ke tengah lapangan, mendekati Surya yang lengan kanannya berdarah. Itu tangan yang tadi dia gunakan untuk menjadi bantalan kepala Naya.
"Tanganku nggak bisa digerakin. Gara-gara kamu, nih, princess gagal."
"Tolong, ya, Surya, kayaknya kamu deh yang jatuh sendiri.”
“Menurutmu aku gila menjatuhkan diri sendiri tanpa sebab?”
“Terus kenapa?”
“Aku mau nolongin kamu!”
Swaaaaaaa
Seolah ada angin lewat, yang membekukan aktivitas sejenak.
Naya dan Surya saling pandang. Surya terkejut dengan kalimatnya, Naya tidak menduga Surya akan mengatakan itu. Aku juga bengong.
Perkembangan cerita macam apa ini? Kenapa Surya mengambil start berkata romantis sama Naya? Hei, Adit saja belum pernah seromantis ini!
Aku berdeham.
Naya lalu sadar situasi kemudian mengulurkan tangan ke Surya yang masih belum mengerti tujuan Naya. “Aku akan bantu kamu berdiri.”
Surya tersenyum samar, lalu menyembunyikan raut senangnya di balik wajah ketus. “Bagus kalau kamu tahu diri!”
“Nggak usah mulai ngajak gadoh, deh. Aku jatuhin juga nanti!”
Surya mengatupkan mulut, lalu mengaitkan tangan ke leher Naya. Tampak kesulitan berdiri juga sekarang. Dia meringis kesakitan, dengan keringat mengalir di leher.
“Sakit banget?” tanya Naya, mulai khawatir ketika memerhatikan ekspresi Surya.
Surya mengangguk lemah. Dia kemudian menoleh ke samping. “Astaga! Kamu ngagetin aku. Sejak kapan ngikutin?”
Aku diam saja. Segitu senangnya dia berduaan sama Naya, ya, sampai tidak menyadari aku di sini dari tadi! Adit, kalau kamu tidak melakukan sesuatu, protagonis wanitamu akan dicuri oleh antagonis ini! Tapi, maaf saja, Surya, kamu tidak bisa berduaan sama Naya, karena masih ada aku!
Aku berkata ke Naya, “Nay, biar aku aja yang bawa Surya. Kamu cari guru, minta izin juga.”
Surya protes. “Kenapa bukan kamu aja yang cari guru?”
“Aku terkenal malas. Kalau aku yang cari guru, mereka nggak akan percaya. Beda sama Naya yang terkenal baik di akademik.”
Surya manyun, tapi tidak membantah.
Aku menyeringai senang dalam hati. Jangan harap bisa dekatin kakakku! Dia milik Adit!
Naya agak ragu menyerahkan Surya kepadaku karena tahu sendiri fisikku yang lemah ini. Sebenarnya aku tidak selemah itu, hanya malas bergerak saja. Pernah dulu saat SMP, ketika disuruh bantuin angkat buku atau bawa kursi oleh guru, aku sengaja menjatuhkannya. Bukan apa-apa, nanti kalau memuaskan perintah mereka, para guru itu akan semakin menyuruhku. Jadilah aku terkenal karena fisik yang lemah ini, atau kemalasanku. Bahkan seorang Naya bisa tertipu.
“Jangan khawatir, aku kuat,” kataku, tersenyum kecil untuk meyakinkannya.
Naya tidak punya pilihan lain. Dia segera ke kantor untuk mencari guru yang bisa merawat Surya, sekalian minta izin tidak masuk ke guru yang akan masuk ke kelas kami.
Aku kesulitan membawa Surya. Dia sangat berat! Baru beberapa langkah, aku menjatuhkannya.
“Auh!” Surya bersungut kesal, menahan sakit dari tangannya yang tadi katanya tidak bisa digerakkan. “Kamu sengaja, ya?”
Aku menggeleng. “Kamu berat.”
“Kalau gitu, ngapain kamu maksa bawa aku?”
Aku diam saja, kembali mencoba memapahnya. Surya tidak mencemooh lagi, tapi setelah beberapa langkah, dia kembali kujatuhkan. Sumpah, aku tidak sengaja! Dia benar-benar berat!
“Kamu!”
“Ya?” tanyaku polos. Atau, pura-pura polos. Lucu juga melihat wajah kesal Surya. Sepertinya aku punya kebiasaan senang ketika melihat orang lain susah.
Surya mengembuskan napas, tampak menahan amarah. “Pergi cari guru atau siapa saja yang bisa bantu. Aku akan duduk di sini!”
Aku mengangguk. Tanpa ragu meninggalkan Surya di sana. Kupilih berlari ke kelas dan menarik Adit.
“Ada apa?” tanya Adit ketika kami sudah di luar kelas.
“Saingan cintamu mulai melakukan pergerakan.”
“Hah?”
Berdeham pelan, aku merevisi kalimat, “Surya butuh bantuan.”
“Oh... oke...” Adit yang semula agak bingung hanya pasrah mengikutiku.
Saat kami kembali ke lapangan tempat aku meletakkan Surya asal, Naya sudah kembali memapah Surya.
“Cepat sana bantuin Surya,” kataku, sedikit mendorong Adit.
“Udah ada Naya gitu yang bantuin, kok.”
Aku menyipitkan mata, seolah berkata, ‘bantuin atau kamu mati’. Adit paham makna tatapanku. Dia segera mengambil alih Surya dari Naya. Sementara figuran ini mengikuti mereka sampai ke UKS.
“Udah panggil perawat yang di UKS?” tanya Adit ke Naya.
“Perawat yang biasa di UKS nggak datang karena anaknya sakit. Wali kelas lagi cari mobil yang bisa dipinjam buat bawa Surya ke rumah sakit. Untuk sementara, kita obati tangannya yang berdarah dulu.” Naya menjelaskan sembari tangannya aktif mencari obat di kotak P3K dekat lemari di brankar ujung.
Terdapat beberapa brankar yang masing-masing terpisah oleh sebuah tirai. Adit hati-hati meletakkan Surya di salah satu brankar, sementara Naya langsung duduk di dekat Surya begitu mendapat obatnya. Dia hampir mau mengobati Surya saat aku menginterupsinya.
“Biar aku aja,” kataku.
Tentu saja tindakanku ini mendapat tatapan terkejut dari semua hadirin di sana. Terutama Naya dan Adit yang tidak pernah melihatku peduli kepada siapa pun sebelumnya.
Aku tidak bermaksud membantu Surya, hanya tidak ingin Naya dekat dengan antagonis ini. Terlebih ada Adit di sini, tapi tampaknya pihak lain salah paham.
“Kamu lagi nggak sakit, kan?” tanya Naya kepadaku.
“Kayaknya dia juga terbentur tadi, Nay,” balas Adit pula.
Hei, kalian berdua! Aku membantu kisah cinta kalian di sini! Tidak bisakah kalian biarkan saja aku menangani ini tanpa mengejek?!
Mengembuskan napas, aku langsung menarik Naya bangkit dari tepi brankar, mengambil alih kapas, dan botol alkohol mini dari tangannya. Setelah dua protagonis menghalangi, antagonis ini juga mendebatku.
Wajah Surya agak takut ketika aku duduk di tepi brankar. Dia menjauhkan tangannya dariku, berkata, “Tadi kamu menjatuhkanku pas mau memapah, sekarang aku khawatir kamu malah akan membuat tanganku semakin sakit.”
Aku menyipitkan mata, seolah berkata, ‘kalau mau hidup, serahkan tanganmu.’. Pesanku lewat tatapan mata ini tampaknya dimengerti pihak lain. Surya dengan enggan mengulurkan tangannya.
Aku mendengar Naya berbisik ke Adit, “Kok aku jadi nggak tega, ya lihat Surya disiksa adikku. Untuk orang awam yang baru ketemu adikku, sudah beruntung dia nggak pingsan di tempat, kan? Mata dia itu nyeremin, apalagi kalau lagi nyipit.”
Adit menanggapi, “Eum, kamu benar, Nay. Kita harus menyelamatkan Surya.”
Dengan begitu, Adit mencoba mengambil kapas dan botol dari tanganku. Sebelum dia berkata, ‘biar aku aja yang obati Surya,’ aku sudah memelototinya lebih dulu.
Kalau saat aku menyipitkan mata berarti menyeramkan, maka ketika memelototi mereka, itu lebih dari kata menakutkan. Coba saja menatapku, jika tidak bisa membuat mereka─yang pertama kali memandang─terkencing di celana, aku akan ganti nama. Inilah alasan utama kenapa aku jadi pemalas dan hobi tidur; orang-orang selalu takut ketika melihat mataku. Aku sendiri tidak begitu mengerti pada awalnya, tapi Naya menjelaskan kalau itu semua karena wajahku yang datar mendukung netra gelapku yang tajam, dan alis diagonal yang kumiliki, maka jadilah kombinasi yang menyeramkan seolah aku selalu kesal dengan setiap orang.
Aku menatap tajam Adit, seolah berkata, ‘coba saja bergerak sedikit lagi, kamu akan tahu akibatnya’.
Lalu seperti ada angin musim dingin yang melintas di antara kami.
Adit mundur, berdiri sejajar di sebelah Naya, seperti murid yang dihukum guru.
Di luar dugaan semua orang, Surya malah tertawa saat ini. “Hahahahaha... kamu lucu banget,” katanya.
Seriusan, dari mana lucunya?
“Kamu menarik. Siapa nama kamu?” tanya Surya.