Surya dan Bintang... takdir yang menyedihkan. Mereka nggak akan bisa ketemu...”
─Surya─
***
“Kamu menarik. Siapa nama kamu?” tanya Surya.
Aku 'pura-pura' tidak dengar, dan tidak lihat senyum Surya. Meski seberapa keras pun aku sembunyi, rasa senang ketika seseorang mengatakan aku menarik, tidak bisa meredakan debaran jantungku yang cepat. Jika bisa dibilang, ini adalah pertama kalinya seseorang mengatakan aku menarik. Seorang Bintang dengan aura suram yang mengelilinginya, menarik? Tapi, dilihat dari ekspresi Surya, itu tulus.
Sejak kecil, aku ingat semua pujian hanya untuk Naya. Gelar baik satu-satunya yang mengikutiku hanya ‘adik Naya’, yang lainnya sangat buruk. Mulai dari tatapanku yang katanya menyeramkan, ekspresi datarku, sikap pemalasku, dan serentetan sifat buruk lainnya. Jika aku bisa bela diri, mungkin aku juga akan di-cap berandalan, sekalipun tidak ada yang pernah melihatku berantem di jalan. Seperti itulah image-ku dari dulu. Jadi, ketika seseorang yang baru kutemui tidak takut pada tatapan dan wajah datarku, bahkan dia mengatakan ‘aku menarik’, sebagai orang normal, aku tersipu.
Mengalihkan rasa bahagia ini, aku menarik pelan tangan Surya, meletakkan di pahaku. Aku menunduk, menghindari tatapan Surya yang akan mengetahui wajah malu-malu ini. Fokus menatap luka di tangannya, yang ternyata cukup dalam juga, pasti terkena pecahan kaca.
“Nay, aku akan periksa guru yang cari mobil dulu, ya,” kata Adit. Nada suaranya agak tidak senang, mungkin karena dia harus melewatkan pelajaran sastra yang sangat disukainya hanya demi Surya, saingan cintanya. Entahlah, Adit itu kadang membingungkan.
“Aku ikut, deh.” Naya kemudian menyusul Adit keluar UKS.
Aku bernapas lega setelah mengirim mereka pergi. Setidaknya Naya sama Adit, bukan sama Surya.
Ketika menoleh kembali ke depan, aku mendapati senyum aneh Surya. “Kamu suka cowok itu?”
“Hah?” Dari mana muncul ide aku suka sama Adit? Orang ini banyak mengkhayal.
“Aku perhatikan sejak tadi kita ketemu, kamu selalu perhatikan dia. Pas aku minta maaf di depan kelas, kamu merhatiin dia. Pas aku minta tolong carikan orang lain untuk bantu aku, kamu narik cowok itu. Pas dia barusan pergi, kamu juga merhatiin dia. Kalau bukan tertarik sama dia, terus apa?”
Oke, itu tidak sepenuhnya salah, tapi tujuan aku melirik Adit untuk mengetahui perkembangan hubungannya sama Naya, bukan karena tertarik. Aku tidak berniat menjelaskan kepada orang ini. Dia tidak perlu tahu misiku.
Saat aku akan mengoleskan obat luka ke tangannya, Surya menekuk kaki kiri dan bertopang dagu di atas lututnya. Dia menatapku dengan senyuman yang katanya bisa meluluhkan hati wanita. Baiklah, senyumanya memang sangat manis.
“Apa udah ada yang pernah bilang kalau mata kamu itu cantik banget?”
Aku mendongak, mendapati iris gelap Surya yang seperti berkilau jenaka. Ini jelas kebohongan. Berbeda saat tadi dia mengatakan aku menarik. Apa yang dia harapkan dari omong kosong ini? Aku tersipu malu seperti cewek-cewek yang dia goda?
“Hahaha... Kamu unik banget, serius. Bisa gitu, wajah kamu tetap datar aja meski udah dapat pujian.” Surya menyeringai, berkata, “kita coba pendekatan lain,” kemudian menarik daguku.
Aku masih diam, dengan ekspresi datar seperti biasa. Meski begitu, aku tetap saja berdebar karena ini pertama kalinya seseorang menatapku dari jarak yang sangat dekat. Aku pun mulai bertanya-tanya, apakah aku benar-benar menarik di mata Surya? Atau dia hanya penasaran karena wajahku tidak memiliki banyak ekspresi? Aku akan percaya spekulasi yang terakhir. Lebih masuk akal.
Surya mendekatkan wajah sampai aku bisa merasakan embusan napasnya pada bibirku. Ketika jarak bibir kami kurang dari tiga senti, aku tidak tahan lagi menahan napas, jadi aku menekan luka di tangannya secara spontan.
“Auuhhh!” Surya memundurkan kepalanya, melepaskan daguku pula. “Kamu jahat banget! Ini tanganku luka, loh.”
Dengan begitu, aku mengembuskan napas, lalu tidak berminat lagi untuk mengobatinya. Meletakkan semua peralatan medis, aku pindah duduk di kursi dekat brankar, memakai earphone, lalu memasukkan permen karet ke mulut. Aku menatap ke arah pintu, mencoba menenangkan diri dari aksi-aksi Surya barusan.
Aku perlu menetapkan pikiranku pada tempatnya. Pertama, ini sentuhan fisik pertamaku dengan lawan jenis, jadi wajar jika aku berdebar. Itu bukan berarti aku tertarik sama Surya. Kedua, ini pertama kalinya ada orang asing yang tidak takut kepadaku. Adit saja sampai lari sembunyi di belakang Naya ketika kami pertama bertemu. Dia baru terbiasa denganku setelah dua minggu bertemu tiap hari denganku. Naya juga dulu ketakutan, dan sembunyi di belakang punggung ayahnya ketika pertama kali bertemu denganku. Naya butuh waktu seminggu untuk terbiasa denganku. Tapi Surya...? kenapa dia tidak takut kepadaku? Apa baginya, asal cewek, maka harus digaet? Apa kalau Adit pakai rok, Surya juga akan menggoda Adit?
“Hei, kamu! Kamu nggak tahu siapa aku? Kamu berani melukai tanganku?” teriak Surya.
Aku pura-pura tidak mendengar, padahal tidak ada musik yang sedang kudengar. Aku bukannya tidak tahu cowok playboy ini digilai banyak cewek dulu saat SMP (aku tahu ini dari mendengar gosip di sekitar saat pertarungan Naya-Surya di lapangan tadi), dan mungkin, aku adalah cewek pertama yang memperlakukannya dengan buruk sebanyak tiga kali di saat pertama jumpa; pertama dan kedua menjatuhkannya karena gagal memapah, yang ketiga barusan. Tapi sungguh, aku bukannya sengaja melakukan itu semua. Akan panjang kalau dijelaskan, jadi aku diam saja.
Setelah sekitar dua menit berlalu, Surya berkata, “Aku minta maaf tentang yang kemarin. Kamu tahu, itu pertama kalinya aku membuat seorang cewek menitikkan air mata...”
Tunggu, kapan aku menitikkan air mata? Ini cowok lagi halu, ya?
“... Selama ini aku memang selalu bermain-main dengan banyak cewek, tapi mereka juga bermain denganku. Kami sama-sama tahu kapan harus berhenti bermain, dan tidak ada yang keberatan dengan batas masa pacaran kami yang tidak lebih dari dua minggu. Memang ada yang menangis juga karena putus denganku, tapi aku rasa itu bukan salahku, karena aku sudah memperingatkannya sejak awal. Sementara sama kamu...” Helaan napas terdengar, ada nada penyesalan ketika dia berkata, “Maafkan aku.”
Aku tidak peduli dengan cewek-cewek itu, tapi saat mendengar nada penyesalannya, hatiku luluh juga. Surya juga awalnya hanya ingin minta maaf kepadaku, kan? Naya saja yang menghalanginya. Kalau Surya minta maaf, maka semua selesai, tidak perlu dia sampai cedera begini. Secara tidak langsung, ini juga salahku yang diam saja ketika Naya menghalangi permohonan maaf Surya.
“Hei,” kata Surya, dia menarik sebelah earphone-ku dengan tangan kirinya, lalu tersenyum manis. “Mari berteman.”
Entah karena senyum tulusnya atau gurat khawatir di wajahnya, aku merasa tergerak, dan sedikit simpatik. Ekspresi yang dia pasang saat ini benar-benar seperti anak kecil polos yang meminta maaf kepada ibunya karena terlalu banyak makan permen. Aku, tidak bisa membencinya, maka berkata, “Hm...” dengan lirih.
Surya tersenyum senang. Dia mengulurkan tangan kiri, berkata, “Aku Surya, Surya Atmadja.”
Kata orang, senyum itu menular, dan aku rasa itu benar. Saat melihatnya tersenyum tulus, entah mengapa, aku juga ingin tersenyum. Tapi seberapa keras pun aku tersenyum, itu hanya akan jadi seringai menyeramkan, jadi, aku menahan senyum.
Menjabat tangannya dengan tangan kiriku, aku berkata, “Bintang.”
Surya tiba-tiba tertawa aneh. “Surya dan Bintang... takdir yang menyedihkan. Mereka nggak akan bisa ketemu.”
Melihat wajah sedihnya, yang berbanding terbalik dengan ekspresi senang beberapa detik lalu, entah mengapa, membuatku ingin menghiburnya. “Kita udah ketemu. Lagipula, Surya adalah bintang yang paling terang.”
“Surya termasuk bintang?”
“Ya, karena dia memancarkan cahayanya sendiri.”
“Berarti kita adalah satu?”
“Terserahlah.”
Surya tertawa, lalu menarik tanganku.
Tidak menduga ini, aku tertarik ke depan, dan kami jatuh ke brankar. Untung aku masih bisa menghentikan diri dari menabrak bibir Surya. Tapi posisi ini tidak nyaman. Aku berada di atas tubuh Surya, satu tanganku di tahan tangan kiri Surya, tangan yang lain di sisi kuping Surya untuk menahan tubuhku.
Surya tertawa. “Akhirnya aku melihat ekspresi lain di wajahmu.”
***