“Kalau suka, kenapa nggak senyum?”
─Adit─
***
“Akhirnya aku melihat ekspresi lain di wajahmu.”
Aku menghidu aroma Oceanic dari leher Surya. Itu pasti aroma parfumnya. Aku suka wanginya yang segar dan alami seperti angin laut. Untuk beberapa alasan yang tidak kupahami, aku merasa nyaman di dekatnya.
Pada detik ini, Adit dan Naya kembali.
Aku melirik ke arah datangnya mereka, ekspresi kedua protagonis kita sangat rumit. Segera aku berdiri normal dan menjauh dari ranjang Surya
Naya mendekat, melayangkan jitakannya ke Surya. “Kamu berani gangguin adikku?!”
Surya tertawa. “Aku yang digodanya. Nggak lihat tadi posisi kami?” sebelah alisnya naik, senyumnya jahil.
Naya kembali melayangkan jitakannya. “Aku percaya adikku nggak kayak gitu. Pasti kamu yang memulainya.”
Surya tidak tertawa lagi, tapi memegang kepalanya. “Nay, kepalaku pusing...”
Lalu detik berikutnya, Surya pingsan.
Jitakan Naya memang mengerikan, tapi tidak sampai membuat orang jadi pingsan, kan?
Aku terpaku di tempat, menatap tubuh kaku Surya yang tidak bergerak.
“Oy, Surya, jangan bercanda.”
“Ayo bawa aja, Nay,” kata Adit, yang sudah memapah Surya.
Dia bercanda, 'kan? Tadi baik-baik aja kok.
Aku sendiri entah mengapa merasa sangat takut, dan kondisi Surya yang tadi tidak bergerak terus membayangiku.
Dia tidak bergerak.
Dia tidak bergerak.
Dia tidak bergerak.
Kalimat itu terus menggema dalam pikiranku.
Aku mengikuti Naya dan Adit, tapi koridor depan UKS, anehnya berubah...? Sejak kapan koridor sekolah jadi jalanan gelap? Ini di mana?
Aku jalan dengan ragu, tapi kemudian berlari.
Aku harus cepat. Aku harus mencari seseorang. Aku harus menolongnya. Tapi, kenapa tidak ada siapa pun?
Aku berhenti berlari, memilih berjalan perlahan. Semua gelap. Napasku mulai sesak. Aku meraba-raba ruang hampa di depanku.
Aku di mana?
Aku mencoba melangkah lagi, tapi terasa berat. Aku tetap memaksa melangkah. Hingga terdengar suara ambulance.
Aku mendengar suara bising kendaraan...
Aku mendengar suara ribut televisi.
Aku mendengar derap langkah orang banyak.
Aku mendengar suara anak perempuan yang berteria...
"Aaaaaa...."
Suara wanitadewasa; "Anak pembawa sial! Mati saja kau...."
“Aku menyesal telah melahirkanmu!”
“Kau hanya menjadi beban bagiku!”
Suara anak perempuan; "Aku benci sama kamu...."
"Aku nggak mau lihat kamu lagi..."
Suara anak perempuan; “Dia pergi! Dia nggak menginginkanmu lagi!”
Berulang kali suara itu bergema memekakan pendengaranku.
Lalu....
Tik... Tik.... Tik... Tik... Tik... Tik...
Seperti detik jam.
Awalnya pelan, semakin lama malah semakin kuat dan cepat. Aku mulai takut melangkah. Aku menutup telinga. Tapi suara itu terus berebut tempat di kepalaku.
Aku mengepalkan tangan kiri, meraba ruang hampa yang gelap di depan dengan tangan kanan, dan memaksakan diri mendengar semua suara itu.
Aku merasa semakin sesak. Sesekali memegang leher, dan memukul-mukul d**a dengan tangan kiri, berharap dapat bernapas normal kembali.
Lalu aku mendengar alunan piano beethoven yang sering kudengar. Tapi nadanya terdengar marah kali ini.
Aku mendengar suara jeritan dan tangisan anak perempuan lain; “Kenapa meninggalkanku? Kenapa pergi meninggalkanku?!”
Aku semakin merasa sesak, tubuhku rasanya sangat dingin seolah diguyur air hujan. Kakiku rasanya sangat sakit seolah berlari di aspal tanpa alas kaki.
"Aku mohon jangan tinggalkan aku...
"Kita berjanji akan selalu bersama, tapi kenapa kamu meninggalkanku? Huaaaa aaaa aaaa.... Hiks... Jangan pergi...
"Jangan tinggalkan aku!
“Bawa aku juga!”
Aku melihat seorang anak perempuan menangis histeris, duduk di aspal dingin di tengah hujan deras. Kakinya lecet dari lutut, betis sampai telapak kakinya yang tanpa alas. Pipinya dipenuhi air mata yang bercampur dengan air hujan. Dia menggigil kedinginan, tapi tetap mengawasi sebuah mobil yang telah pergi jauh.
Anak itu menjerit marah, melempar bebatuan di sekitarnya ke depan. Telapak tangannya tak jarang tergores batu tajam. Dia berteriak, “Pembohong! Kamu pembohong!”
Aku merasa sangat sakit melihat anak itu. Aku ingin memeluknya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Aku ingin mengatakan, berhenti melukai telapak tangan mungilmu. Aku ingin menghiburnya. Aku ingin duduk di sebelahnya, menemaninya, atau sekadar menangis bersamanya, hanya agar dia tidak merasa sedih dan kesepian. Sayangnya, kakiku seolah terpaku di aspal ini.
Aku terus mencoba melangkah dan tangan ini sudah terulur untuk meraih anak perempuan itu. Tapi .... tiba-tiba tempat itu menjadi terang dan ....
"... kamu mau mati? Kenapa nyeberang nggak lihat-lihat?"
Kudengar teriakan Adit.
Aku berkedip untuk membiasakan dengan cahaya, dan kulihat kami terduduk di taman, seberang sekolah. Kenapa aku bisa di sini? Kapan aku keluar sekolah? Tadi aku ingat mengikuti Adit dan Naya yang membopong Surya.
Adit menangkup wajahku dengan dua tangan besarnya, menghapus air mata di pipi lalu memeluk dan mengusap-usap punggungku.
Aku bahkan tidak tahu alasanku menangis.
"Kamu kenapa? Siapa yang berbohong ke kamu?"
Aku bahkan tidak sadar kalau aku menggumamkan, “Pembohong... Kamu pembohong...” sejak tadi.
“Siapa yang berbohong sama kamu?” tanya Adit.
Aku bungkam, menepis tangan yang merengkuh wajahku, lalu berdiri. Dan bisa ditebak apa yang terjadi kepadaku di detik berikutnya. Aku terjatuh karena tidak kokoh menapak taman.
Dengan sigap, Adit memegangi tanganku. "Kamu gemetar kayak gini. Kita ke UKS ya," bisiknya, mulai memapahku.
Aku menarik napas, menepis tangannya lagi. Aku tidak mau Naya salah paham jika melihat kepedulian Adit yang sebenarnya hanya kasihan kepadaku.
Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi tadi. Aku hanya merasa harus menolong anak perempuan itu. Ya Tuhan... Aku lupa dengan Surya.
“Bi, kamu nggak apa-apa?” tanya Naya, yang datang berlari dengan napas terengah-engah.
Aku mengangguk lemah.
Naya memelukku. “Ya, ampun, kamu bikin aku khawatir, tahu nggak? Kenapa tadi lari-larian di depan sekolah? Kamu hampir ditabrak mobil kalau Adit nggak lari nolong kamu.”
Aku diam saja karena memang tidak tahu mengapa aku memiliki penglihatan seperti itu. Apakah itu bagian dari masa laluku? Tapi kenapa ingatan itu baru muncul sekarang?
***
"Tokoh Antagonis, merupakan tokoh yang menjadi penentang cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh yang menentang cerita atau tokoh utama. Biasanya tokoh jenis ini berwatak jahat dan dibenci oleh pembaca dan pendengar."
Ting Tong... Waktunya jam istirahat. Ting Tong... Waktunya jam istirahat... Biasakan buang sampah pada tempatnya, dan jajanlah yang sehat sesuai ajaran guru dan orangtua...
Itu suara bel istirahat.
"Sudah bel istirahat. Nanti kita sambung lagi tentang penokohan," ujar bu Maya, guru Bahasa Indonesia.
Sosok gadis menyebalkan sudah berdiri di depan kelas, setelah bu Maya keluar. Ingat gadis menyebalkan yang di perpustakaan? Itu dia.
Dengan senyum sumringah, dia melambaikan tangan ke Adit.
"Adiiiiiit. Kita makan yuuk," teriaknya.
Seisi kelas menoleh ke gadis bersurai hitam pendek sedagu, dengan bando di atas kepala. Walau aku sebal melihat sikapnya, harus kuakui dia memang cantik. Ah tidak, mungkin masuk kategori imut.
Dhea Anggarini, nama gadis itu, si Antagonis. Dia melangkah masuk tanpa rasa malu dan mendatangi meja Adit. Mengabaikan lirikan tak suka dari beberapa gadis lain yang beranjak keluar kelas.
Dhea memanggil Adit dengan nada yang dibuat mendayu-dayu dan lebih panjang pada huruf 'i' nya. "Adiit, D bawa bekal buat kita. D laper nih. Kita makan di taman yuk. D juga belum sarapan tadi." Dhea meletakkan kotak bekalnya di atas meja Adit.
Lihat caranya memanggil dirinya dengan ‘D’ itu. Astaga, menjijikkan sekali.
Dhea berkedip berulang kali dengan kepala yang menggeleng ke kanan dan kiri, meminta perhatian Adit. Jangan lupakan senyum menyebalkannya.
Adit mengabaikan Dhea, seperti biasa. Dia pasti bosan harus meladeni Dhea yang kekanakan selama 3 tahun SMP nya. Ah, tidak. Mungkin sejak TK. Teman kecil yang menyebalkan, itu keluhan Adit saat kami bertanya tentang Dhea suatu waktu saat SMP. Gadis itu sangat tangguh, tidak pernah menyerah meski selalu ditolak Adit.
Naya mendengkus sebal. Dia bangkit, lalu menarik tanganku. "Kita ke kantin. Males liat cewek gatel."
Adit yang sudah berdiri, malah menyusul kami. "Tunggu dong, Nay. Aku juga laper. Mau makan apa?" tanyanya, mengalungkan tangan kanan ke leher Naya dengan senyuman khas yang tersungging di bibir.
"Cewekmu bising." Naya berkomentar, melepas rangkulan tangan Adit.
"Elah. Kayak nggak kenal si Kutu aja. Gatel kepalaku lihat dia. Udahlah, Nay, mending kita isi perut." Adit menggandeng tangan Naya, lebih tepatnya menggeret.
Aku melihat Naya tersenyum kecil walau detik berikutnya harus 'pura-pura' menggerutu. "Nggak usah geret-geret tanganku. Sakit, tahu." Padahal dia terlihat senang karena Adit lebih memilihnya daripada Dhea.
"Sakit atau suka?" Adit nyengir, kedua alisnya terangkat. “Oh, atau kamu mau kayak gini?” Adit kemudian menggenggam tangan Naya, menautkan setiap jemari mereka hingga tak meninggalkan sela di antaranya. “Kalau suka, kenapa nggak senyum?”
Naya tidak bisa lagi menahan senyum, atau pura-pura menggerutu.
"Adit. Tungguin Dhea. Adit lupa apa kata mama, ya?" Setelah Dhea berteriak seperti itu, tentu saja Adit menoleh dan terlihat kesal.
****